31 Oktober 2009

FILSAFAT ILMU DALAM KONSEP KETUHANAN

Tuhan sebagai Tujuan dan Kesempurnaan Akhir Manusia
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Di dalam hakekatnya manusia adalah makhluk yang berfilsafat. Karena hanya manusia yang memiliki pikiran dan selalu bertanya tentang dunia yang tak dilihat atau ditangkap oleh panca indera. Menurut Alisyahbandono(Burhanuddin:201), filsafat dapat memberi ketenangan pikiran dan kemantapan hati. Dari pendapat tersebut dapat dikatakan manfaat filsafat adalah mencari kebenaran sesuatu, baik dalam logika (kebenaran berpikir), etika (berperilaku), maupun metafisika (hakekat keaslian).
Manusia selalu mencari kebenaran yang hakiki. Konsep ketuhanan bagi manusia adalah kebenaran yang mutlak. Di dalam pencarian akan Tuhan manusia melakukan penyelidikan dan mencari dasar-dasar yang menjadi konsep Tuhan itu. Mungkin konsep ketuhanan sudah ada pada agama karena agama didasari pada keyakinan. Berbeda dengan filsafat, walaupun yakin bahwa Tuhan itu ada, tetapi para filosof masih selalu mempertanyakan tentang hal-hal yang menyangkut Tuhan.
Manusia adalah maujud penyempurna, bukan maujud statis yang tak berkembang dan permanen. Hal ini telah tertera dalam kitab suci Al-Quran yang artinya: ”sesungguhnya telah Kami ciptakan manusia dalam struktur yang sebaik-baiknya…….”(Q.S:95:4-6). Jadi tak heran jika manusia menginginkan kesempurnaan yang hakiki dalam hidupnya. Karena manusia bermula dari Dzat Yang Maha Sempurna dan dengan fitrahnya mencintai segala jenis kesempurnaan.
Oleh karena itu akan timbul berbagai pertanyaan mengenai fitrah manusia ini, yaitu bagaimana caranya menuju kesempurnaan tersebut, sementara kesempurnaan absolut hanya ada pada Dzat Tuhan? Apakah kesempurnaan absolut (baca: Tuhan) itu dapat dicapai manusia? Dan apakah itu merupakan tujuan dan kesempurnaan akhir manusia?
B. PEMBAHASAN
1. Siapakah manusia?
“Apakah dan siapakah manusia?”. Pertanyaan ini sangat menarik untuk dipahami. Untuk menjawab pertanyaan ini, sering terjadi berbenturan pendapat karena keterbatasan manusia dalam memahami dirinya sendiri.
Konsep manusia adalah konsep sentral bagi setiap disiplin ilmu sosial kemanusiaan yang menjadikan manusia sebagai objek formal dan materialnya. Agar memahami manusia sesuai kodratnya diciptakan, semestinya kita bertanya kepada Sang Pencipta manusia yaitu Allah SWT. Caranya dengan menafsirkan wahyu-wahyu yang diberikan kepada manusia melalui kitab suci Al Quran. Gambaran manusia menurut Al Quran adalah sebagai berikut:
a. Menggunakan kata yang terdiri dari huruf alif, nun dan sin, semacam kata insan, ins, nas atau unas.
b. Menggunakan kata basyar.
c. Menggunakan kata Bani Adam atau Zuriyat Adam.


Kata basyar terambil dari kata yang ada mulanya berarti “menampakkan sesuatu dengan baik dan indah”, dari kata yang sama lahir kata basyarah yang berarti kulit. Manusia dinamai basyar karena memiliki kulit yang jelas, dan berbeda dengan kulit binatang yang lain. Proses kejadian manusia sebagai basyar, melalui tahap-tahap sehingga mencapai tahap kedewasaan. Sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya: ”Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Allah menciptakan kamu dari tanah dan ketika kamu menjadi basyar, kamu bertebaran.”(Q.S Ar-Rum ayat 20).
Kata insan terambil dari kata uns yang berarti jinak dan tampak. Kata insan digunakan Al-Quran untuk menunjukkan kepada manusia dengan segala totalitasnya, jiwa dan raga. Manusia adalah makhluk unik, yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Perbedaan ini terjadi karena perbedaan fisik, mental dan kecerdasan.
Ciri-ciri manusia dalam pandangan Al-Quran:
Adalah benar bahwa manusia bukanlah suatu entitas yang homogen, tetapi kebalikannya, yaitu heterogen. Berdasarkan Al-Quran manusia memiliki potensi-potensi (Cecep Syamsul:12) yang meliputi:
1) Manusia memiliki raga dengan bentuk yang sebaik-baiknya.
2) Manusia itu sebaik-baiknya dari segi fitrah. Ciri utama fitrah adalah menerima Allah sebagai Tuhan.
3) Ruh. Al-Quran secara tegas menyatakan bahwa kehidupan manusia bergantung pada wujud ruh dan wujud badan.
4) Kebebasan, kemauan atau kebebasan kehendak, yaitu kebebasan memilh tingkah laku sendiri kebaikan atau keburukan.
5) Akal. Akal dalam pengertian islam, bukan otak tetapi daya berpikir yang terdapat dalam jiwa manusia. Akal dalam islam mempunyai pijakan pada tiga unsur yakni pikiran, perasaan, dan kemauan (cipta, rasa dan karsa).
6) Nafs. Nafs atau nafsu seringkali dikaitkan dengan gejolak atau dorongan yang terdapat dalam diri manusia.
Potensi-potensi yang diberikan Tuhan tersebut, sehingga manusia berbeda dengan makhluk lainnya. Selain unsur tanah dan ruh, di dalam tubuh manusia sebenarnya ada juga unsur-unsur lainnya yang mendukung potensi-potensi tersebut, diantaranya adalah unsur fitrah, nafs, qalb, dan ruh (Ruhullah:124). Unsur-unsur tersebut biasanya disebut unsur immaterial.
a. Fitrah
Fitrah adalah bentuk dan sistem yang diwujudkan oleh Allah pada setiap makhluk. Fitrah yang berkaitan dengan manusia adalah apa yang diciptakan Allah pada manusia uang berkaitan dengan jasmani dan akalnya (serta ruh-nya). Termasuk di dalamnya kesempurnaan.
b. Nafs
Al-Quran menegaskan bahwa nafs berpotensi positif dan negatif. Pada hakikatnya potensi positif manusia lebih kuat dari potensi negatifnya, hanya saja daya tarik keburukannya lebih kuat daripada daya tarik kebaikannya.



c. Qalb
Kata qalb bermakna “membalik”. Karena sering berbolak-balik, terkadang senang terkadang susah, kadang kala setuju, kadang kala menolak. Qalb amat berpotensi untuk tidak konsisten.
d. Ruh
Memaknai ruh, Al-Quran membicarakanna beraneka ragam, sehingga sulit untuk menetapkan makna dan subtansinya.
e. Akal
Kata akal berasal dari Aql, kata benda ini justru tidak ditemukan dalam Al-Quran, tetapi kata ini ditemukan dalam kata kerja. Dari segi bahasa kata Aql berarti tali pengikat atau penghalang. Dan akal ini merupakan sebuah kesempurnaan manusia.
2. Tuhan sebagai Tujuan dan Kesempurnaan Akhir Manusia
Kesempurnaan (al-kamal) merupakan sebuah karakter (yaitu suatu kualitas positif) yang berada di dalam wilayah eksistensi. Kesempurnaan hakekat suatu eksistensi apapun sesungguhnya lebih merupakan sifat, atau sifat-sifat yang menjadi tuntutan atas suatu aktualisasi akhir dari suatu eksistensi.
Jika kita mengamati berbagai motif yang ada dalam jiwa dan kecenderungan-kecenderungannya kita akan menemukan bahwa kebanyakan motif utama tersebut adalah keinginan meraih kesempurnaan. Kita tidak akan menemukan seorang pun yang menyukai kekurangan pada dirinya. Manusia senantiasa berusaha sekeras mungkin untuk menghilangkan berbagai cela dan cacat dirinya. Sampai ia mendapat kesempurnaan yang diinginkan.
Sebelum menghilangkan segala kekurangan itu. Ia berusaha sedapat mungkin untuk menutupinya dari pandangan orang lain. Apabila motif ini berjalan sesuai dengan nalurinya yang sehat, ia akan meningkatkan kesempurnaannya Baik yang bersifat materi maupun spiritual. Namun, bila motif ini menyimpang dari jalannya yang lama lantaran faktor-faktor dan kondisi tertentu justru akan melahirkan sifat-sifat yang buruk seperti congkak, sombong, ria, dll (Muchtar:13).
Dengan demikian dapat kita ketahui bahwa ingin sempurna merupakan faktor yang kuat di dalam jiwa setiap manusia. Kesempurnaan khas manusia pada hakikatnya terletak pada ruh yang dapat dicapai melalui kehendaknya dan arahan-arahan akalnya yang sehat yaitu akal yang telah mengenal berbagai tujuan dan pandangan yang benar.
Secara fitrah manusia memiliki kecenderungan berusaha menemukan kesempurnaan insaninya dengan melakukan perbuatan-perbuatan. Akan tetapi untuk memilih perbuatan yang dapat menyampaikannya pada tujuan-tujuan yang diinginkan, terlebih dahulu ia harus mengetahui puncak kesempurnaannya. Puncak kesempurnaannya ini akan dapat diketahui manakala ia telah mengenal hakikat dirinya, awal dan akhir perjalan hidupnya.
Kemudian ia harus mengetahui hubungan yang baik maupun negatif diantaranya berbagai perbuatan dengan aneka ragam jenjang kesempurnaan, sehingga ia dapat menemukan jalannya yang tepat. Oleh karenanya, kesempurnaan absolut hanya ada pada Dzat Tuhan SWT. Maka setiap insan disadari atau tidak fitrahnya ia mencintai dan mencari Tuhan. Maka Tuhan adalah tujuan dan kesempurnaaan akhir manusia (Muchtar:98).
Jadi kesempurnaan manusia terletak pada tindakan manusia menuju Tuhan dan mendekatkan diri kepadanya. Karena itu adalah kebahagiaan, kesempurnaan, menyembah kepada-Nya dan berjalan menuju kepada-Nya.
3. Ibadah adalah Alat Menuju Tuhan
Fitrah manusia selalu menyukai kesempurnaan dan selalu mengajak manusia menuju kepada kesempurnaan. Oleh karenanya, manusia harus mendengar ajakan fitrah tersebut dan harus sampai kepada kesempurnaan pada titik yang paling akhir dengan pergerakan dan perjalanan atas dasar ikhtiar-nya. Kesempunaan manusia dan pendekatan dirinya kepada Tuhan harus melalui perbuatan yang positif. Karenanya, meninggalkan penyembahan berhala dan taat kepada selain-Nya tidak bisa dihitung sebagai jalan pendekatan diri terhadap Tuhan dengan melihat sisi negatif dari pekerjaan tersebut.
Jadi, ibadah yang paling murni adalah pekerjaan yang dilakukan dengan kebebasan hati dan kesadaran penuh guna meraih sesuatu yang diinginkan oleh fitrah. Satu-satunya jalan yang benar adalah setia pekerjaan yang dilakukan oleh manusia dalam hidupnya harus dilakukan dengan niat ibadah dan berusaha untuk mencapai kualitas ibadah yang lebih, dalam setiap pekerjaan yang dilakukan (pekerjaan yang tidak dilarang oleh Tuhan).
Dikarenakan kesempurnaan absolut hanyalah milik Allah saja, dan atas dasar tuntutan fitrah manusia yang selalu mengajak manusia mencari semua jenis kesempurnaan. Maka manusia disadari atau tidak, ia telah diajak fitrahnya untuk menuju Allah (kesempurnaan). Menuju Allah tidak mungkin akan terwujud tanpa ibadah, karena hukum kausalitas pun berlaku di sini-maka ibadah dijadikan sebagai sarana untuk mendekat dan terus mendekat kepada Dzat Allah.
Dari penjelasan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa ibadah yang kita lakukan adalah kembali kepada kita, Karena hanya dengan ibadahlah kita dapat meraih tujuan yang harus kita raih yaitu bertemu dengan Dzat Yang Maha absolut sehingga melalui pertemuan itulah kita akan mampu mendapat kesempurnaan eksistensial kita. Semakin dekat dengan sumber cahaya maka akan tampak lebih bercahaya, apalagi jika telah menyatu (fana) dengan sumber cahaya tersebut. Dia adalah cahaya alam semesta. Cahaya sendiri terang lagi menerangi. Tidak ada yang terang daripada cahaya. Dia adalah cahaya diatas segala cahaya.
Apakah istilah "Allah" hanya milik umat Islam saja?

SEORANG perempuan beragama Kristen saat ini sedang menggugat pemerintah Malaysia dengan alasan telah melanggar haknya atas kebebasan beragama (baca International Herald Tribune, 29/11/2008). Mei lalu, saat balik dari kunjungan ke Jakarta, Jill Ireland, nama perempuan itu, membawa sejumlah keping DVD yang berisi bahan pengajaran Kristen dari Jakarta. Keping-keping itu disita oleh pihak imigrasi, dengan alasan yang agak janggal: sebab dalam sampulnya terdapat kata "Allah".
Sejak tahun lalu, pemerintah Malaysia melarang penerbitan Kristen untuk memakai kata "Allah", sebab kata itu adalah khusus milik umat Islam. Umat lain di luar Islam dilarang untuk menggunakan kata "Allah" sebagai sebutan untuk Tuhan mereka. Pemakaian kata itu oleh pihak non-Muslim dikhawatirkan bisa membingungkan dan "menipu" umat Islam (Catatan: Sedih sekali ya, umat Islam kok mudah sekali tertipu dengan hal-hal sepele seperti itu?)

Pertanyaan yang layak diajukan adalah: apakah kata "Allah" hanyalah milik umat Islam saja? Apakah umat lain tidak boleh menyebut Tuhan yang mereka sembah dengan kata "Allah"? Apakah pandangan semacam ini ada presedennya dalam sejarah Islam? Kenapa pendapat seperti itu muncul?
Sebagai seorang Muslim, terus terang saya tak bisa menyembunyikan rasa geli, tetapi juga sekaligus jengkel, terhadap pandangan semacam ini. Sikap pemerintah Malaysia ini jelas bukan muncul dari kekosongan. Tentu ada sejumlah ulama dan kelompok Islam di sana yang menuntut pemerintah mereka untuk memberlakukan larangan tersebut.
Di Indonesia sendiri, hal serupa juga pernah terjadi. Beberapa tahun lalu, ada seorang pendeta Kristen di Jakarta yang ingin menghapus kata "Allah" dalam terjemahan Alkitab versi bahasa Indonesia. Menurut pendeta itu, istilah "Allah" bukanlah istilah yang berasal dari tradisi Yudeo-Kristen. Nama Tuhan yang tepat dalam tradisi itu adalah Yahweh bukan Allah.
Jika usulan untuk melarang penggunaan kata Allah berasal dari dalam kalangan Kristen, tentu saya, sebagai orang luar, tak berhak untuk turut campur. Tetapi jika pendapat ini datang dari dalam kalangan Islam sendiri, maka saya, sebagai seorang Muslim dan "orang dalam", tentu berhak mengemukakan pandangan mengenainya.
Pandangan bahwa istilah Allah hanyalah milik umat Islam saja, menurut saya, sama sekali tak pernah ada presedennya dalam sejarah Islam. Sejak masa pra-Islam, masyarakat Arab sendiri sudah memakai nama Allah sebagai sebutan untuk salah satu Tuhan yang mereka sembah. Dalam Quran sendiri, bahkan berkali-kali kita temui sejumlah ayat di mana disebutkan bahwa orang-orang Arab, bahkan sebelum kedatangan Islam, telah mengakui Allah sebagai Tuhan mereka (baca QS 29:61, 31:25, 39:37, 43:87). Dengan kata lain, kata Allah sudah ada jauh sebelum Islam sebagai agama yang dibawa Nabi Muhammad lahir di tanah Arab.
Begitu juga, umat Kristen dan Yahudi yang tinggal di kawasan jazirah Arab dan sekitarnya memakai kata Allah sebagai sebutan untuk Tuhan. Para penulis Kristen dan Yahudi juga memakai kata yang sama sejak dulu hingga sekarang. Seorang filosof Yahudi yang hidup sezaman dengan Ibn Rushd di Spanyol, yaitu Musa ibn Maimun (atau dikenal di dunia Latin sebagai Maimonides [1135-1204]) menulis risalah terkenal, Dalalat al-Ha'irin (Petunjuk Bagi Orang-Orang Yang Bingung). Kalau kita baca buku itu, kita akan jumpai bahwa kata Allah selalu ia pakai untuk menyebut Tuhan.
Semua Bibel versi Arab memakai kata Allah sebagai nama untuk Tuhan. Ayat pertama yang terkenal dalam Kitab Kejadian diterjemahkan dalam bahasa Arab sebagai berikut: Fi al-bad'i khalaqa Allahu al-samawati wa al-ard (baca Al-Kitab al-Muqaddas edisi The Bible Society in Lebanon). Dalam terjemahan versi Lembaga Alkitab Indonesia (LAI), ayat itu berbunyi: "Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi".
Tak seorangpun sarjana Islam yang memakai bahasa Arab sebagai bahasa ibu mereka, entah pada masa klasik atau modern, yang mem-beslah atau keberatan terhadap praktek yang sudah berlangsung ratusan bahkan ribuan tahun itu. Tak seorang pun ulama Muslim yang hidup sezaman dengan Maimonides yang memprotes penggunaan kata Allah dalam buku dia di atas.
Polemik antara Islam dan Kristen sudah berlangsung sejak masa awal Islam, dan, sejauh pengetahuan saya, tak pernah kita jumpai seorang "mutakallim" atau teolog Muslim yang terlibat perdebatan dengan teolog Kristen atau Yahudi karena memperebutkan kepemilikan atas kata Allah. (Survei terbaik tentang sejarah polemik Islam-Kristen sejak masa awal Islam hingga abad ke-4 H/10 M adalah buku karangan Abdul Majid Al-Sharafi, "Al-Fikr al-Islami fi al-Radd 'Ala al-Nashara", 2007).
Dalam perspektif historis, pandangan sejumlah ulama Malaysia yang kemudian diresmikan oleh pemerintah negeri jiran itu, jelas sangat aneh dan janggal sebab sama sekali tak ada presedennya. Dipandang dari luar Islam, pendapat ulama Malaysia itu juga bisa menjadi bahan olok-olok bagi Islam. Sebab, pandangan semacam itu tiada lain kecuali memperlihatkan cara berpikir yang sempit di kalangan sebagian ulama. Jika para ulama di Malaysia itu mau merunut sejarah ke belakang, kata Allah itu pun juga bukan "asli" milik umat Islam. Kata itu sudah dipakai jauh sebelum Islam datang. Dengan kata lain, umat Islam saat itu juga meminjam kata tersebut dari orang lain.
Yahudi, Kristen, dan Islam adalah tiga agama yang lahir dari rahim yang sama, yaitu dari tradisi Ibrahim. Islam banyak sekali mewarisi tradisi dan ajaran dari kedua agama itu. Karena asal-usul yang sama, dengan sendirinya sudah lumrah jika terjadi proses pinjam-meminjam antara ketiga agama itu. Selama berabad-abad, ketiga agama itu juga hidup berdampingan di jazirah Arab dan sekitarnya. Tak heran jika terjadi proses saling mempengaruhi antara ketiga tradisi agama Ibrahimiah tersebut. Tradisi Kristiani, misalnya, mempunyai pengaruh yang besar dalam proses pembentukan Islam, terutama dalam tradisi pietisme atau mistik (baca, misalnya, buku karangan Tarif Khalidi, "The Muslim Jesus: Saying and Stories in Islamic Literature", 2001).
Quran sendiri banyak meminjam dari tradisi lain, termasuk dalam konteks istilah-istilah yang berkaitan dengan peribadatan. Hampir semua istilah-istilah ritual yang ada dalam Islam, seperti salat (sembahyang) , saum (puasa), hajj, tawaf (mengelilingi ka'bah), ruku' (membungkuk pada saat salat) dsb., sudah dipakai jauh sebelum Islam oleh masyarakat Arab.

Dengan kata lain, proses pinjam-meminjam ini sudah berlangsung sejak awal kelahiran Islam. Pandangan ulama Malaysia itu seolah-olah mengandaikan bahwa semua hal yang ada dalam Islam, terutama istilah-istilah yang berkenaan dengan doktrin Islam, adalah "asli" milik umat Islam, bukan pinjaman dari umat lain. Sebagaimana sudah saya tunjukkan, pandangan semacam itu salah sama sekali.
JIKA demikian, bagaimana kita menjelaskan pendapat yang janggal dari Malaysia itu? Saya kira, salah satu penjelasan yang sederhana adalah melihat masalah ini dari sudut dinamika internal dalam tubuh umat Islam sendiri sejak beberapa dekade terakhir. Sebagaimana kita lihat di berbagai belahan dunia Islam manapun, ada gejala luas yang ditandai oleh mengerasnya identitas dalam tubuh umat. Di mana-mana, kita melihat suatu dorongan yang kuat untuk menetapkan batas yang jelas antara Islam dan non-Islam. Kekaburan batas antara kedua hal itu dipandang sebagai ancaman terhadap identitas umat Islam.
Penegasan bahwa kata "Allah" hanyalah milik umat Islam saja adalah bagian dari manifestasi kecenderungan semacam itu. Pada momen-momen di mana suatu masyarakat sedang merasa diancam dari luar, biasanya dorongan untuk mencari identitas yang otentik makin kuat. Inilah tampaknya yang terjadi juga pada umat Islam sekarang di beberapa tempat. Kalau kita telaah psikologi umat Islam saat ini, tampak sekali adanya perasaan terancam dari pihak luar. Teori konspirasi yang melihat dunia sebagai arena yang dimanipulasi oleh "kllik" tertentu yang hendak menghancurkan Islam mudah sekali dipercaya oleh umat. Teori semacam ini mudah mendapatkan pasar persis karena bisa memberikan justifikasi pada perasaan terancam itu.

Keinginan untuk memiliki identitas yang otentik dan "beda" jelas alamiah belaka dalam semua masyarakat. Akan tetapi, terjemahan keinginan itu dalam dunia sehar-hari bisa mengambil berbagai bentuk. Ada bentuk yang sehat dan wajar, tetapi juga ada bentuk yang sama sekali tak masuk akal bahkan lucu dan menggelikan. Pandangan ulama Malaysia yang kemudian didukung oleh pemerintah negeri itu untuk melarang umat Kristen memakai istilah "Allah" adalah salah satu contoh yang tak masuk akal itu. Sebagaimana saya sebutkan di muka, secara historis, pandangan semacam ini sama sekali tak ada presedennya. Selain itu, proses saling meminjam antara Islam, Kristen dan Yahudi sudah berlangsung dari dulu.
Bayangkan saja, jika suatu saat ada kelompok Yahudi yang berpikiran sama seperti ulama Malaysia itu, lalu menuntut agar umat Islam tidak ikut-ikutan merujuk kepada nabi-nabi Israel sebelum Muhammad -- apakah tidak runyam jadinya. Orang Yahudi bisa saja mengatakan bahwa sebagian besar nabi yang disebut dalam Quran adalah milik bangsa Yahudi, dan karena itu umat Islam tak boleh ikut-ikutan menyebut mereka dalam buku-buku Islam. Sudah tentu, kita tak menghendaki situasi yang "lucu" dan ekstrem seperti itu benar-benar terjadi.
Selama ini umat Islam mengeluh karena umat lain memiliki pandangan yang negatif tentang Islam, dan karena itu mereka berusaha sekuat mungkin agar citra negatif tentang agama mereka itu dihilangkan. Masalahnya adalah bahwa sebagian umat Islam sendiri melakukan sejumlah tindakan yang justru membuat citra Islam itu menjadi buruk. Menurut saya, pendapat ulama dan sikap pemerintah Malaysia itu adalah salah satu contoh tindakan semacam itu. Jika umat Islam menginginkan agar umat lain memiliki pandangan yang positif tentang agama mereka, maka langkah terbaik adalah memulai dari "dalam" tubuh umat Islam sendiri. Yaitu dengan menghindari tindakan yang tak masuk akal.
Tak ada gunanya umat Islam melakukan usaha untuk mengoreksi citra Islam, sementara mereka sendiri memproduksi terus-menerus hal-hal yang janggal dan tak masuk akal.[]
Subject: Re: [parapemikir] Apakah istilah "Allah" hanya milik umat Islam saja?
Secara Bahasa mungkin sama tapi maknanya berbeda. Berikut penjelasannya. _"Tuhan Kita: Allah!"
Kaum Pluralis mengatakan, semua agama menuju Tuhan yang satu. Padahal kelompok-kelompok Kristen berbeda penggunaan nama Tuhan mereka. Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke-162
Salah satu pandangan yang senantiasa dilempar oleh kaum Pluralis Agama dalam 'mengelirukan' pemikiran kaum Muslim, adalah mengatakan, "semua agama adalah jalan yang berbeda-beda menuju Tuhan yang satu".
Mereka mengatakan, soal nama "Yang Satu" itu tidaklah penting.. Yang Satu itu dapat dinamai Allah, God, Lord, Yahweh, The Real, The Eternal One, dan sebagainya. Bagi mereka, nama Tuhan tidak penting. Ada yang menulis: "Dengan nama Allah, Tuhan Yang Maha Pengasih, Tuhan Yang Maha Penyayang, Tuhan Segala agama."
Kita ingat, dulu, ada cendekiawan terkenal yang mengartikan kalimat syahadat dengan: "Tidak ada tuhan (dengan t kecil), kecuali Tuhan (dengan T besar).
Tradisi yang tidak tahu dan tidak mempersoalkan nama Tuhan bisa kita telusuri dari tradisi Yahudi. Kaum Yahudi, hingga kini, masih berspekulasi tentang nama Tuhan mereka.
Dalam konsep Judaism (agama Yahudi), nama Tuhan tidak dapat diketahui dengan pasti. Kaum Yahudi modern hanya menduga-duga, bahwa nama Tuhan mereka adalah Yahweh. The Concise Oxford Dictionary of World Religions menjelaskan 'Yahweh' sebagai "The God of Judaism as the ‘tetragrammaton YHWH, may have been pronounced. By orthodox and many other Jews, God’s name is never articulated, least of all in the Jewish liturgy."
Karena tidak memiliki tradisi sanad yang sampai kepada Nabi Musa a.s. maka kaum Yahudi tidak dapat membaca dengan pasti empat huruf "YHWH". Mereka hanya dapat menduga-duga, empat huruf konsonan itu dulunya dibaca Yahweh. Karena itu, kaum Yahudi Ortodoks tidak mau membaca empat huruf mati tersebut, dan jika ketemu dengan empat konsonan tersebut, mereka membacanya dengan Adonai (Tuhan).
Spekulasi Yahudi tentang nama Tuhan ini kemudian berdampak pada konsepsi Kristen tentang "nama Tuhan" yang sangat beragam, sesuai dengan tradisi dan budaya setempat. Di Mesir dan kawasan Timur Tengah lainnya, kaum Kristen menyebut nama Tuhan mereka dengan lafaz "Alloh", sama dengan orang Islam; di Indonesia mereka melafazkan nama Tuhannya menjadi "Allah"; dan di Barat kaum Kristen menyebut Tuhan mereka dengan "God" atau "Lord".
Bagi orang Kristen, "Allah" bukanlah nama diri, seperti dalam konsep Islam. Tetapi, bagi mereka, "Allah" adalah sebutan untuk "Tuhan itu" (al-ilah). Jadi, bagi mereka, tidak ada masalah, apakah Tuhan disebut God, Lord, Allah, atau Yahweh. Yang penting, sebutan itu menunjuk kepada "Tuhan itu". Ini tentu berbeda dengan konsep Islam.
Di Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir, muncul kelompok-kelompok Kristen yang menolak penggunaan nama "Allah" untuk Tuhan mereka dan menggantinya dengan kata "Yahwe". Tahun 1999, muncul kelompok Kristen yang menamakan dirinya Iman Taqwa Kepada Shirathal Mustaqim (ITKSM) yang melakukan kampanye agar kaum Kristen menghentikan penggunaan lafaz Allah. Kelompok ini kemudian mengganti nama menjadi Bet Yesua Hamasiah (BYH). Kelompok ini mengatakan: "Allah adalah nama Dewa Bangsa Arab yang mengairi bumi. Allah adalah nama Dewa yang disembah penduduk Mekah.''
Kelompok ini juga menerbitkan Bibel sendiri dengan nama Kitab Suci Torat dan Injil yang pada halaman dalamnya ditulis Kitab Suci 2000. Kitab Bibel versi BYH ini mengganti kata "Allah" menjadi "Eloim", kata "TUHAN" diganti menjadi "YAHWE"; kata "Yesus" diganti dengan "Yesua", dan "Yesus Kristus" diubah menjadi "Yesua Hamasiah".
Berikutnya, muncul lagi kelompok Kristen yang menamakan dirinya "Jaringan Gereja-gereja Pengagung Nama Yahweh" yang menerbitkan Bibel sendiri dengan nama "Kitab Suci Umat Perjanjian Tuhan ini". Kelompok ini menegaskan, "Akhirnya nama "Allah" tidak dapat dipertahankan lagi." (Tentang kontroversi penggunaan nama Allah dalam Kristen, bisa dilihat dalam buku-buku I.J. Setyabudi, Kontroversi Nama Allah, (Jakarta: Wacana Press, 2004); Bambang Noorsena, The History of Allah, (Yogya: PBMR Andi, 2005); juga Herlianto, Siapakah Yang Bernama Allah Itu? (Jakarta: BPK, 2005, cetakan ke-3).
Itulah tradisi Yahudi-Kristen dalam soal penyebutan nama Tuhan. Sayangnya, oleh sebagian kaum Muslim atau orientalis Barat, tradisi Yahudi dan Kristen ini kemudian dibawa ke dalam Islam. Pada berbagai terjemahan Al-Quran dalam bahasa Inggris, kita menemukan tindakan yang tidak tepat, yaitu menerjemahkan semua lafaz Allah dalam Al-Quran menjadi "God". Dalam konsep Islam, Allah adalah nama diri (ismul 'alam/proper name)dari Dzat Yang Maha Kuasa.
Maka, seharusnya, lafaz "Allah" dalam Al-Quran tidak diterjemahkan ke dalam sebutan lain, baik diterjemahkan dengan "Tuhan", "God", atau "Lord".
Beberapa terjemahan Al-Quran bahasa Inggris telah menerjemahkan lafaz Allah menjadi God. Misalnya, Abdullah Yusuf Ali – dalam The Holy Qur'an -- menerjemahkan "Bismillah" dengan "In the name of God".
Begitu juga, "Alhamdulillah" diterjemahkan dengan "Praise be to God", dan "Qul Huwallahu ahad" diterjemahkan dengan "Say: He is God, the One and Only". Kasus yang sama – penerjemahan nama Allah menjadi God – juga bisa dilihat dalam Terjemah al-Quran bahasa Inggris yang dilakukan oleh J.M.
Rodwell (terbitan J.M. Dent Orion Publishing Group, London, 2002. Terbit pertama oleh Everyman tahun 1909). Harusnya, kata Allah dalam al-Quran tidak diterjemahkan, karena "Allah" adalah nama. Seperti halnya kita tidak boleh menerjemahkan kata "President Bush" dengan "Presiden semak", atau nama Menlu AS "Rice" dengan "Menteri Nasi".
Menurut Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, sesuai dengan konsep Pandangan Hidup Islam (Islamic worldview) yang bersifat otentik dan final, maka konsep Islam tentang Tuhan, juga bersifat otentik dan final. Itu disebabkan, konsep Tuhan dalam Islam, dirumuskan berdasarkan wahyu dalam Al-Quran yang juga bersifat otentik dan final.
Konsep Tuhan dalam Islam memiliki sifat yang khas yang tidak sama dengan konsepsi Tuhan dalam agama-agama lain, tidak sama dengan konsep Tuhan dalam tradisi filsafat Yunani; tidak sama dengan konsep Tuhan dalam filsafat Barat modern atau pun dalam tradisi mistik Barat dan Timur. (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysic of Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995).
Bait pertama dalam Aqidah Thahawiyah yang ditulis oleh Abu Ja'far ath-Thahawi (239-321H), dan disandarkan pada Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf, Imam Syaibani, menyatakan: "Naquulu fii tawqiidillaahi mu'taqidiina – bitawfiqillaahi: Innallaaha waahidun laa syariikalahu." Dalam Kitab Aqidatul Awam – yang biasa diajarkan di madrasah-madrasah Ibtidaiyah – ditulis bait pertama kitab ini: "Abda'u bismillaahi wa-arrahmaani—wa bi-arahiimi daa'imil ihsani." Ayat pertama dalam al-Quran juga berbunyi "Bismillahirrahmaanirrahiimi", dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Tuhan, dalam Islam, dikenal dengan nama Allah. Lafaz 'Allah' dibaca dengan bacaan yang tertentu. Kata "Allah" tidak boleh diucapkan sembarangan, tetapi harus sesuai dengan yang dicontohkan Rasulullah saw, sebagaimana bacaan-bacaan ayat-ayat dalam Al-Quran.
Dengan adanya ilmul qiraat yang berdasarkan pada sanad – yang sampai pada Rasulullah saw – maka kaum Muslimin tidak menghadapi masalah dalam penyebutan nama Tuhan. Umat Islam juga tidak berbeda pendapat tentang nama Tuhan, bahwa nama Tuhan yang sebenarnya ialah Allah.
Dengan demikian, "nama Tuhan", yakni "Allah" juga bersifat otentik dan final, karena menemukan sandaran yang kuat, dari sanad mutawatir yang sampai kepada Rasulullah saw. Umat Islam tidak melakukan 'spekulasi filosofis' untuk menyebut nama Allah, karena nama itu sudah dikenalkan langsung oleh Allah SWT – melalui Al-Quran, dan diajarkan langsung cara melafalkannya oleh Nabi Muhammad saw.
Dalam konsepsi Islam, Allah adalah nama diri (proper name) dari Dzat Yang Maha Kuasa, yang memiliki nama dan sifat-sifat tertentu. Sifat-sifat Allah dan nama-nama-Nya pun sudah dijelaskan dalam al-Quran, sehingga tidak memberikan kesempatan kepada terjadinya spekulasi akal dalam masalah ini. Tuhan orang Islam adalah jelas, yakni Allah, yang SATU, tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tidak ada sesuatu pun yang
serupa dengan Dia. (QS 112). Dan syahadat Islam pun begitu jelas: "La ilaha illallah, Muhammadur Rasulullah" -- Tidak ada tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah". Syahadat Islam ini tidak boleh diterjemahkan dengan "Tidak ada tuhan kecuali Tuhan dan Yang Terpuji adalah utusan Allah".
Kaum Muslim di seluruh dunia – dengan latar belakang budaya dan bahasa yang berbeda – juga menyebut dan mengucapkan nama Allah dengan cara yang sama. Karena itu, umat Islam praktis tidak mengalami perbedaan yang mendasar dalam masalah konsep 'Tuhan'. Karen

Armstrong menulis dalam bukunya:
"Al-Quran sangat mewaspadai spekulasi teologis, mengesampingkannya sebagai zhanna, yaitu menduga-duga tentang sesuatu yang tak mungkin diketahui atau dibuktikan oleh siapa pun. Doktrin Kristen tentang Inkarnasi dan Trinitas tampaknya merupakan contoh pertama zhanna dan tidak mengherankan jika umat Muslim memandang ajaran-ajaran itu sebagai penghujatan." (Karen Armstrong, Sejarah Tuhan (Terj), 2001), hal. 199-200).
Bagi kaum Pluralis Agama, siapa pun nama Tuhan tidak menjadi masalah, karena biasanya mereka memandang, agama adalah bagian dari ekspresi budaya manusia yang sifatnya relatif. Karena itu, tidak manjadi masalah, apakah Tuhan disebut Allah, God, Lord, Yahweh, dan sebagainya. Mereka juga mengatakan, bahwa semua ritual dalam agama adalah menuju Tuhan yang satu, siapa pun nama-Nya. Nurcholish Madjid, misalnya, menyatakan, bahwa:
"... setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang sama. Ibarat roda, pusat roda itu adalah Tuhan, dan jari-jari itu adalah jalan dari berbagai Agama." (Lihat, buku Tiga Agama Satu Tuhan, (1999), hal. xix).
Seorang Pluralis pendatang baru, juga menulis dalam buku terbarunya, "Semua agama itu kembali kepada Allah. Islam, Hindu, Budha, Nasrani, Yahudi, kembalinya kepada Allah."
Pandangan yang menyatakan, bahwa semua agama menyembah Tuhan yang sama, yaitu Allah, adalah pandangan yang keliru. Hingga kini, sebagaimana dipaparkan sebelumnya, di kalangan Kristen saja, muncul perdebatan sengit tentang penggunaan lafal "Allah" sebagai nama Tuhan. Sebagaimana kaum Yahudi, kaum Kristen sekarang juga tidak memiliki 'nama Tuhan' secara khusus. Kaum Hindu, Budha, dan pemeluk agama-agama lain juga tidak mau menggunakan lafaz "Allah" sebagai nama Tuhan mereka.
Kaum musyrik dan Kristen Arab memang menyebut nama Tuhan mereka dengan "Allah" sama dengan orang Islam. Nama itu juga kemudian digunakan oleh Al-Quran. (Al-Quran memang menyebutkan, jika kaum musyrik Arab ditanya tentang siapa yang menciptakan langit dan bumi, maka mereka akan menyebut "Allah". (Lihat QS 29:61, 43:87).
Tetapi, perlu dicatat, bahwa Al-Quran menggunakan kata yang sama namun dengan konsep yang berbeda. Bagi kaum musyrik Arab, Allah adalah salah satu dari Tuhan mereka, disamping tuhan Lata, Uza, Hubal, dan sebagainya. Karen Armstrong menyebut, ketika Islam datang, 'Allah' dianggap sebagai 'Tuhan Tertinggi dala keyakinan Arab kuno'. (Lihat, Karen Armstrong, op cit, hal. 190).
Karena itu, dalam pandangan Islam, mereka melakukan tindakan syirik terhadap Allah. Sama dengan kaum Kristen, yang dalam pandangan Islam, juga telah melakukan tindakan syirik dengan mengangkat Nabi Isa sebagai Tuhan. Karena itulah, Nabi Muhammad saw – sesuai dengan ketentuan QS al-Kafirun – menolak ajakan kaum musyrik Quraisy untuk melakukan penyembahan kepada Tuhan masing-masing secara bergantian.
Jadi, tidak bisa dikatakan, bahwa orang Islam menyembah Tuhan yang sama dengan kaum kafir Quraisy. Jika menyembah Tuhan yang sama, tentulah Nabi Muhammad saw akan memenuhi ajakan kafir Quraisy.

"Katakan, hai orang-orang kafir! Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi peyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku." (QS 109).
QS al-Kafirun ini menjadi dalil bahwa karena konsep Tuhan yang berbeda – meskipun namanya sama, yaitu Allah -- dan cara beribadah yang tidak sama pula, maka tidak bisa dikatakan bahwa kaum Muslim dan kaum kafir Quraisy menyambah Tuhan yang sama. Itu juga menunjukkan, bahwa konsep Tuhan kaum Quraisy dipandang salah oleh Allah dan Rasul-Nya. Begitu juga cara (jalan) penyembahan kepada Allah. Karena itulah, nabi Muhammad dilarang mengikuti ajakan kaum kafir Quraisy untuk secara bergantian menyembah Tuhan masing-masing.
Sebagai Muslim, kita meyakini, Islam adalah agama yang benar. Tuhan kita Allah, yang nama-Nya diperkenalkan langsung dalam Al-Quran. Tidaklah patut kita membuat teori-teori yang berasal dari spekulasi akal, dengan menyama-nyamakan Allah dengan yang lain, atau menserikatkan Allah dengan yang lain, sebagaimana dilakukan oleh orang-orang yang mengaku Pluralis Agama. Wallahu a'lam. (Bojonegoro, 15 September 2006/www.hidayatullah.com ).
Catatan Akhir Pekan adalah hasil kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan www.com
Apakah istilah "Allah" hanya milik umat Islam saja?
Saya sepakat bahwa Istilah Allah BUKAN milih orang Islam saja..buktinya?
Ayahanda Nabi Muhammad SAW bernama Abdullah...artinya Hamba Allah
Jadi tidak perlu rumit2 untuk menerangkan ini.
Apakah istilah "Allah" hanya milik umat Islam saja?
silakan Allah dipakai untuk menyebut Tuhan dalam agama apa pun. yang
jelas, konsepsi tentang Tuhan di setiap agama berbeda-beda dan tidak
mungkin disamakan.
kaum musyrikin Makkah telah menggunakan istilah Allah sejak Nabi belum
lahir. Islam datang untuk meluruskan konsepsi tentang Allah yang telah
disekutukan dengan para makhluk-Nya oleh kaum musyrik Arab.
Apakah istilah "Allah" hanya milik umat Islam saja?
Penjelasan wikipedia:
Allah (bahasa Arab Allāhu الله) adalah
kata dalam bahasa arab yang merujuk pada "tuhan". Kata ini lebih banyak
dikenal sebagai sebutan tuhan oleh penganut agama Islam. Kata ini
sendiri dikalangan para penutur bahasa arab, adalah kata yang umum untuk
menyebut tuhan, terlepas dari agama mereka, termasuk penganut Yahudi dan
Kristen arab. Konsekuensinya, kata ini digunakan dalam terjemahan kitab
suci agama Kristen dan Yahudi yang berbahasa arab, sebagaimana pula
terjemahan Alkitab dalah bahasa Indonesia dan Turki.

PENUTUP
1. Kesimpulan
Dari pembahasan tersebut, dapat kita ambil kesimpulan bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki fitrah. Fitrah manusia selalu menyukai kesempurnaan dan selalu mengajak manusia menuju kesempurnaan. Kesempurnaan manusia dan pendekatan dirinya kepada Tuhan harus melalui perbuatan yang positif, misalnya saja dengan beribadah (yang merupakan tujuan pendek manusia). Sehingga pada akhirnya tercapailah tujuan utamanya yaitu pertemuan dengan Allah.

Manusia ingin menyempurnakan hidupnya dengan Tuhan. Sebagai tujuan akhir dari segala masalah yang ada di dunia ini. Kesempurnaan tujuan hanya dapat dicapai jika manusia itu berusaha keras, dan yakin bahwa segala sesuatu itu akan kembali kepada Yang Maha Sempurna. Kesemua itu sebagai keselarasan seluruh perjalanan hidup manusia itu sendiri.
2. Saran
Penulis menyarankan, agar kita sebagai manusia menyadari bahwa fitrah kita selalu menuntut kesempurnaan. Namun, janganlah melakukan hal-hal yang negatif untuk menuju ke tujuan dan kesempurnaan akhir kita. Karena jalan yang benar menuju kesempurnaan adalah penambahan kualitas secara bertahap dan sesuai dengan kemampuan serta sarana yang kita miliki.
Jadi, hal yang perlu kita lakukan adalah beribadah, karena hanya dengan ibadah kita dapat meraih tujuan yang harus kita raih. Yaitu bertemu dengan Dzat Yang Maha Absolut, sehingga melalui pertemuan itu, kita akan mampu mendapatkan kesempurnaan eksistensial kita.
DAFTAR PUSTAKA
Hari,Cecep Syamsul. 1997. Spiritualitas dan Keberbagaian Agama. Jakarta: Zikrul Hakim
Luthfi, Muchtar. 2007. Kritik Atas Humanisme Eksistensialis. Jakarta: Rajawali Press
Salam, Burhanuddin. 1994. Pengantar Filsafat. Bandung: Bumi Aksara.
Asad, Muhammad. 2007. Islam di Simpang Jalan. Jakarta: Rajawali Press
Syams, Ruhullah. 2007. Nubuwwah dan Jalan Kesempurnaan. Yogyakarta: Andi Offset

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tulis Komentar Anda demi Perbaikan dan Kesempurnaan Blogs ini