06 November 2010

“Profesionalisme Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Mutu pendidikan”

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejalan dengan tantangan kehidupan global, pendidikan merupakan hal yang sangat penting karena pendidikan salah satu penentu mutu Sumber Daya Manusia. Dimana dewasa ini keunggulan suatu bangsa tidak lagi ditandai dengan melimpahnya kekayaan alam, melainkan pada keunggulan Sumber Daya Manusia (SDM). Dimana mutu Sember Daya Manusia (SDM) berkorelasi positif dengan mutu pendidikan, mutu pendidikan sering diindikasikan dengan kondisi yang baik, memenuhi syarat, dan segala komponen yang harus terdapat dalam pendidikan, komponen-komponen tersebut adalah masukan, proses, keluaran, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana serta biaya.
Mutu pendidikan tercapai apabila masukan, proses, keluaran, guru, sarana dan prasarana serta biaya apabila seluruh komponen tersebut memenuhi syarat tertentu. Namun dari beberapa komponen tersebut yang lebih banyak berperan adalah tenaga kependidikan yang bermutu yaitu yang mampu menjawab tantangan-tantangan dengan cepat dan tanggung jawab. Tenaga kependidikan pada masa mendatang akan semakin kompleks, sehingga menuntut tenaga kependidikan untuk senantiasa melakukan berbagai peningkatan dan penyesuaian penguasaan kompetensinya. Pendidikan yang bermutu sangat membutuhkan tenaga kependidikan yang professional.
Tenaga kependidikan mempunyai peran yang sangat strategis dalam pembentukan pengetahuan, ketrampilan, dan karakter peserta didik. Oleh karena itu tenaga kependidikan yang professional akan melaksanakan tugasnya secara professional sehingga menghasilkan tamatan yang lebih bermutu. Menjadi tenaga kependidikan yang profesional tidak akan terwujud begitu saja tanpa adanya upaya untuk meningkatkannya, adapun salah satu cara untuk mewujudkannya adalah dengan pengembangan profesionalisme ini membutuhkan dukungan dari pihak yang mempunyai peran penting dalam hal ini adalah kepala sekolah, dimana kepala sekolah merupakan pemimpin pendidikan yang sangat penting karena kepala sekolah berhubungan langsung dengan pelaksanaan program pendidikan di sekolah.
Ketercapaian tujuan pendidikan sangat bergantung pada kecakapan dan kebijaksanaan kepemimpinan kepala sekolah yang merupakan salah satu pemimpin pendidikan. Karena kepala sekolah merupakan seorang pejabat yang profesional dalam organisasi sekolah yang bertugas mengatur semua sumber organisasi dan bekerjasama dengan guru-guru dalam mendidik siswa untuk mencapai tujuan pendidikan. Dengan keprofesionalan kepala sekolah ini pengembangan profesionalisme tenaga kependidikan mudah dilakukan karena sesuai dengan fungsinya, kepala sekolah memahami kebutuhan sekolah yang ia pimpin sehingga kompetensi guru tidak hanya mandeg pada kompetensi yang ia miliki sebelumnya, melainkan bertambah dan berkembang dengan baik sehingga profesionalisme guru akan terwujud.
Karena tenaga kependidikan profesional tidak hanya menguasai bidang ilmu, bahan ajar, dan metode yang tepat, akan tetapi mampu memotivasi peserta didik, memiliki keterampilan yang tinggi dan wawasan yang luas terhadap dunia pendidikan. Profesionalisme tenaga kependidikan juga secara konsinten menjadi salah satu faktor terpenting dari mutu pendidikan. Tenaga kependidikan yang profesional mampu membelajarkan murid secara efektif sesuai dengan kendala sumber daya dan lingkungan. Namun, untuk menghasilkan guru yang profesional juga bukanlah tugas yang mudah. Guru harus harus lebih dinamis dan kreatif dalam mengembangkan proses pembelajaran siswa. Agar proses pendidikan dapat berjalan efektif dan efisien, guru dituntut memiliki kompetensi yang memadai, baik dari segi jenis maupun isinya.
Namun banyak faktor penghambat tercapainya kualitas keprofesionalan kepemimpinan kepala sekolah seperti proses pengangkatannya tidak trasnparan, rendahnya mental kepala sekolah yang ditandai dengan kurangnya motivasi dan semangat serta kurangnya disiplin dalam melakukan tugas, dan seringnya datang terlambat, wawasan kepala sekolah yang masih sempit , serta banyak faktor penghambat lainnya yang menghambat tumbuhnya kepala sekolah yang professional untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Ini mengimplikasikan rendahnya produktivitas kerja kepala sekolah yang berimplikasi juga pada mutu (input, proses, dan output) Berdasarkan uraian tersebut penulis tertarik untuk mengkaji “Profesionalisme Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Mutu pendidikan”
B. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang ingin dicapai adalah dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana gambaran Profesionalisme Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Mutu pendidikan
2. Untuk mengetahui bagaimana tugas yang dijalankan oleh kepala sekolah
3. Untuk memahami peran kepala sekolah
4. Untuk mengaetahui masalah-masalah yang dihadapi dalam merealisasikan keprofesionalan kepala sekolah
5. Untuk mengetahui dan memahami upaya pemecahan dalam merealisasikan peningkatan profesionalisme kepala sekolah.
C. Manfaat Penulisan
1. Dapat mengetahui bagaimana gambaran Profesionalisme Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Mutu pendidikan
2. Dapat mengetahui bagaimana tugas yang dijalanka oleh kepala sekolah
3. Dapat memahami peran kepala sekolah
4. Dapat mengaetahui masalah-masalah yang dihadapi dalam merealisasikan keprofesionalan kepala sekolah
5. Dapat mengetahui dan memahami upaya pemecahan dalam merealisasikan peningkatan profesionalisme kepala sekolah.
BAB II
PROFESIONALISME GURU DAN KEPALA SEKOLAH
A. Pengertian Profesionalisme
Profesionalisme berasal dari kata sifat yakni jabatan yang berarti pencaharian dan sebagai kata benda yang berarti orang yang mempunyai keahlian. Jadi profesionalisme adalah suatu pekerjaan yang dilakukan oleh mereka yang khusus dipersiapkan untuk itu, dan bukan pekerjaan yang dilakukan oleh mereka yang tidak dapat memperoleh pekerjaan lain (Sudjana, 1988:14).
Guru adalah orang yang memberikan pengetahuan kepada anak didik (Djamarah, 2000:31).
Jadi profesionalisme guru yang dimaksud penulis adalah guru yang mengajar tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya pada bidang keahlian yang diajarkannya yakni guru kelas di SDN Sukatani III Kecamatan Rajeg Kabupaten Tangerang
B. Tuntutan Profesionalisme Guru
Usaha untuk meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan tugas besar dan berjangka waktu panjang karena menyangkut pendidikan bangsa dan masa depan suatu bangsa banyak ditentukan oleh negara itu, yakni manusia berkualitas hasil produk pendidikan, oleh karena itu pendidikan pun harus berkualitas.
Dalam dunia pendidikan, pendidik pada umumnya diistilahkan sebagai guru, sebagai pengajar atau pendidik. Guru merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan dalam setiap upaya pendidikan, khususnya dalam kurikulum dan peningkatan sumber daya manusia yang dihasilkan dari upaya pendidikan selalu bermuara pada faktor guru. Hal ini menunjukkan betapa eksisnya peran guru dalam dunia pendidikan.
Guru adalah unsur manusiawai, dalam figur manusia sumber yang menempati posisi dan peranan penting dalam pendidikan. Ketika semua orang mempersoalkan masalah dunia pendidikan, figur guru selalu terlibat dalam agenda pembicaraan, terutama yang menyangkut persoalan pendidikan formal di sekolah. Hal itu tidak dapat disangkal, karena lembaga pendidikan formal adalah dunia kehidupan guru.(Djamarah,2000:1)
Oleh sebab itu, mengacu kepada tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam Undang-undang No. 2 Tahun 1983 dalam sistem pendidikan nasional, yakni :
1. Bahwa Undang-undang Dasar 1945 mengamanatkan upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa serta agar pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran yang diatur dengan undang-undang;
2. Bahwa pembangunan nasional di bidang pendidikan adalah upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia Indonesia dalam mewujudkan masyarakat yang maju, adil dan makmur serta memungkinkan para warganya mengembangkan diri, baik berkenaan dengan aspek jasmani maupun rohaniah berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945;
3. Bahwa untuk mewujudkan pembangunan nasional di bidang pendidikan, diperlukan peningkatan dan penyempurnaan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Maka dari pada itu peningkatan kualitas manusia Indonesia sebagaimana yang diinginkan tersebut, tidak akan tercapai jika faktor pendukung tidak ditingkatkan. Salah satu faktor pendukung tersebut yang sangat berperan dominan adalah faktor guru.
Dalam menjalankan proses pendidikan dan mengajar perlu diperhatikan kualitas mengajar guru. Berbicara mengenai kualitas guru berarti berbicara pula mengenai lembaga pendidikan guru. karena pendidikan dan pembinaan guru perlu ditingkatkan. Pentingnya mengenai kualitas mengajar guru disebabkan karena eksistensi guru bagi suatu bangsa sangat esensial, apalagi bagi bangsa Indonesia di tengah-tengah situasi dan kondisi yang terus mengalami perubahan zaman dan teknologi yang kian canggih.
Seorang guru harus menyadari bahwa untuk dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, selain mampu merencanakan pengajaran, juga dituntut banyak membaca, menyerap informasi dan mengembangkan ilmunya guna meningkatkan kualitas mengajarnya.
Semakin akurat para guru melaksanakan fungsinya, semakin terjamin, tercipta dan terbina kesiapan dan keandalan seseorang sebagai manusia pembangunan. Dengan kata lain potret dan wajah diri bangsa tercermin dengan potret guru di masa kini dan gerak dinamika kehidupan bangsa berbanding lurus citra para guru di tengah-tengah masyarakat (Usman, 1997 : 7).
Sistem pendidikan guru sebagai suatu sub sistem pendidikan nasional merupakan faktor kunci dan memiliki peranan yang sangat strategis. Pada hakekatnya penyelenggaraan dan keberhasilan proses pendidikan pada semua jenjang dan semua satuan pendidikan ditentukan oleh faktor guru, di samping perlunya unsur-unsur penunjang lainnya. Kualitas kemampuan guru yang rendah akan berdampak pada rendahnya mutu pendidikan. Sedangkan derajat kemampuan guru sejak semula disiapkan pada suatu lembaga pendidikan guru, baik secara berjenjang maupun secara keseluruhan.
Derajat keualitas pendidikan guru ditentukan oleh tingkat kualitas semua komponen yang memberikan kontribusi terhadap sistem pendidikan guru secara keseluruhan. Komponen-komponen tersebut adalah siswa calon guru, pendidikan, pembimbing calon guru, kurikulum, strategi pembelajaran, media instruksional, sarana dan prasarana, waktu dan ketersediaan, serta masyarakat dan sosial budaya. Semuanya memberikan pengaruh dan warna terhadap proses pendidikan guru dalam upaya mencapai tujuan pendidikan guru, yang hasil atau lulusannya dapat diketahui melalui komponen evaluasi secara menyeluruh dan berkesinambungan.
Profesi guru banyak dibicarakan orang atau masih saja dipertnyakan orang,baik dikalangan para pakar pendidikan bahkan selama dasawarsa terakhir ini hamper setiap hari,media masa khususnya,baik media cetak harian atau mingguan memuat cerita tentang guru.
Kita akui bahwa profesi guru mudah tercemar dalam arti masih saja ada orang yang memaksakan diri menjadi guru walaupun sebenarnya yang bersangkutan tidak dipersiapkan untuk itu.Hal ini disebabkan karena adanya pandangan sebagian masyarakat bahwa siapapun boleh menjadi guru asalkan berpengetahuan.Rendahnya pengetahuan masyarakat terhadap profesi guru disebabkan oleh beberapa factor sebagai berikut:
1. Adanya pandangan masyarakat bahwa siapapun boleh menjadi guru asalkan dia berpengetahuan.
2. Kekurangan guru didaerah terpencil memberikan peluang untuk mengangkat seseorang yang tidak mempunyai keahlian untuk menjadi guru.
3. Banyak guru yang belum menghargai profesinya,apalagi mengembangkan profesinya itu,perasaan rendah diri karena menjadi guru penyalahgunaan profesi dari profesinya sehingga wibawa guru suka merosot.(Sudjana,1998)
Faktor lain yaitu kelemahan yang terdapat pada diri guru itu sendiri diantaranya,rendahnya tingkat kompetensi profesionalnya yang disebabkan karena latar belakang pendidikan guru tidak sesuai dengan profesi yang diberikan,sehingga target pengajaran tidak tercapai secara maksimal dengan katalian apa yang diajarkan guru tersebut tidak dikuasai oleh siswa dengan baikkarena sang guru tidak menguasai secara substansial.
Proses intraksi belajar mengajar adalah inti dari kegiatan pendidikan,sebagai inti dari kegiatan pendidikan,proses intraksi belajar mengajar adalah suatu upaya untuk mencapai tujuan pendidikan,tujuan pendidikan tidak akan tercapai bila proses interaksi belajar mengajar tidak pernah berlangsung dalam pendidikan,guru dan siswa adalah dua unsure yang terlibat langsung dalam prose situ.Oleh karena itu disinilah peranan guru diperlukan sebagaimana menciptakan intrasi belajar mengajar yang kondusif.Untuk itu seorang guru perlu memahami ciri-ciri intraksi belajar mengajar dalam rangka mencapai tujuan pengajaran.
Masalah kompetensi guru tidak semua guru dapat menguasai dengan baik.Jangankan untuk guru yang belum pengalaman,guru yang sudah pengalaman cukup lama belum tentu dapat menguasainya dengan baik.Namun penguasaan dengan baik belum tentu dapat melaksanakannya dalam proses interaksi belajar mengajar dengan baik pula,sesuai dengan situasi dan kondisi di SDN Sukatani III UPT.Pendidikan Kecamatan Rajeg sering terjadi proses pembelajaran yang tidak sesuai dengan yang diharapkan misalnya perencanaan dan pelaksanaan kurikulum dikelas harus memperhatikan komponen isi,komponen metode,komponen evaluasi.Disampina keempat komponen tersebut perlu diperhatikan pula bimbingan dan penyuluhan ,komponen administrasi pendidikan dan supervise serta sarana.Karena itulah,komponen guru bukanlah suatu masalah yang berdiri sendiri,tetapi dipengaruhi oleh factor-faktor lain,yakni latar belakang pendidikan dan pengalaman mengajar.
Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa permasalahan profesionalisme guru pada latar belakang pendidikan dan pengalaman mengajarnya menjadi sangat penting karena menyangkut kemampuan guru dalam mencapai target pengajaran disekolah.
C. Tuntutan Profesionalisme Guru Kepala Sekolah
Paradigma baru manajemen pendidikan dalam rangka meningkatkan kualitas secara efektif dan efisien, perlu didukung oleh Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas. Dalam hal ini, pengembangan SDM merupakan proses peningkatan kemampuan manusia agar mampu melakukan pilihan-pilahan. Proses pengembangan SDM tersebut harus menyentuh berbagai bidang kehidupan yang tercermin dalam pribadi pimpinan, termasuk pemimpin pendidikan, seperti kepala sekolah.
Kepala sekolah merupakan salah satu komponen pendidikan yang paling berperan dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 12 ayat 1 PP 28 tahun 1990 bahwa: “Kepala sekolah bertanggungjawab atas penyelenggaraan kegiatan pendidikan, administrasi sekolah, pembinaan tenaga kependidikan lainnya, dan pendayagunaan serta pememliharaan sarana dan prasarana”.
Namun kenyataan dilapangan masih banyak kepala sekolah yang tidak menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pemimpin pendidikan ini disebabkan karena dalam proses pengangkatannya tidak ada trasnfaransi, rendahnya mental kepala sekolah yang ditandai dengan kurangnya motivasi dan semangat serta kurangnya disiplin dalam melakukan tugas, dan seringnya datang terlambat serta banyak faktor penghambat lainnya untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang mengimplikasikan rendahnya produktivitas kerja kepala sekolah yang berimplikasi juga pada mutu (input, proses, dan output)
Berdasarkan uraian di atas penyusun sangat tertarik untuk membahas Profesionalisme Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Mutu pendidikan. Untuk mempermudah dalam pemahaman pemabahasan ini, berikut penyusun sajikan kerangka teoritisnya.

D. Pengertian Profesionalisme, Kepemimpinan, dan Kepala Sekolah
1. Profesionalisme
Kusnandar (2007:46) mengemukakan bahwa “Profesionalisme adalah kondisi, arah, nilai, tujuan, dan kualitas suatu keahlian dan kewenangan yang berkaitan dengan mata pencaharian sesseorang”. Selanjutnya Profesionalisme menurut Mohamad Surya (2007:214) adalah: Sebutan yang mengacu pada sikap mental dalam bentuk komitmen dari para anggota asuatu profesi untuk senantiasa mewujudkan dan meningkatkan kualitas profesionlanya. Sementara Sudarwan Danin (2002:23) mendefinisikan bahwa: “Profesionalisme adalah komitmen para anggota suatu profesi untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya dan terus-menerus mengmbangkan strategi-strategi yang digunakanny dalam melakukan pekerjaan sesuai dengan profesinya itu Kemudian Freidson (1970) dalam Syaiful Sagala (2005:199) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan profesionalisme adalah “sebagai komitmen untuk ide-ide professional dan karir”.
Jadi dapat disimpulkan bahwa profesionalisme adalah suatu bentuk komitmen para anggota suatu profesi untuk selalu meningkatkan dan mengembangkan kompetensinya yang bertujuan agar kualitas keprofesionalannya dapat tercapai secara berkesinambungan.
2. Kepemimpinan
Kepemimpinan merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam suatu organisai karena sebagian besar keberhasilan dan kegagalan suatu organisasi ditentukan oleh kepemimpinan dalam organisasi tersebut. Pentingnya kepemimipinan seperti yang dikemukakan oleh James M. Black pada Manajemem: a Guide to Executive Command dalam Sadili Samsudin (2006:287) yang dimaksud dengan “Kepemimpinan adalah kemampuan meyakinkan dan menggerakkan orang lain agar mau bekerja sama di bawah kepemimpinannya sebagai suatu tim untuk mencapai suatu tujuan tertentu”.
Sementara R. Soekarto Indrafachrudi (2006:2) mengartikan “Kepemimpinan adalah suatu kegiatan dalam membimbing suatu kelompok sedemikian rupa sehingga tercapailah tujuan itu”. Kemudian menurut Maman Ukas (2004:268) “Kepemimpinan adalah kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk dapat mempengaruhi orang lain, agar ia mau berbuat sesuatu yang dapat membantu pencapaian suatu maksud dan tujuan”. Sedangkan George R. Terry dalam Miftah Thoha (2003:5) mengartikan bahwa “Kepemimpinan adalah aktivitas untuk mempengaruhi orang-orang supaya diarahkan mencapai tujuan organisasi”.
Berdasarkan beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan yang dimiliki seseorang dalam mempangaruhi orang lain untuk mau bekerja sama agar mau melakukan tindakan dan perbuatan dalam mencapai tujuan bersama.
3. Kepala Sekolah
Kepala sekolah bersal dari dua kata yaitu “Kepala” dan “Sekolah” kata kepala dapat diartikan ketua atau pemimpin dalam suatu organisasi atau sebuah lembaga. Sedang sekolah adalah sebuah lembaga di mana menjadi tempat menerima dan memberi pelejaran. Jadi secara umum kepala sekolah dapat diartikan pemimpin sekolah atau suatu lembaga di mana temapat menerima dan memberi pelajaran. Wahjosumidjo (2002:83) mengartikan bahwa: “Kepala sekolah adalah seorang tenaga fungsional guru yang diberi tugas untuk memimpin suatu sekolah di mana diselenggarakan proses belajar mengajar, atau tempat di mana terjadi interaksi antara guru yang memberi pelajaran dan murid yang menerima pelajaran. Sementara Rahman dkk (2006:106) mengungkapkan bahwa “Kepala sekolah adalah seorang guru (jabatan fungsional) yang diangkat untuk menduduki jabatan structural (kepala sekolah) di sekolah”.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kepala sekolah adalah sorang guru yang mempunyai kemampuan untuk memimpin segala sumber daya yang ada pada suatu sekolah sehingga dapat didayagunakan secara maksimal untuk mencapai tujuan bersama.
Jadi Profesionalisme Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Mutu pendidikan berarti suatu bentuk komitmen para anggota suatu profesi untuk selalu meningkatkan dan mengembangkan kompetensinya yang bertujuan agar kualitas keprofesionalannya dalam menjalankan dan memimpin segala sumber daya ayang ada pada suatu sekolah untuk mau bekerja sama dalam mencapai tujuan bersama.
E. Profesionalisme Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Mutu pendidikan
Kepala sekolah merupakan salah satu komponen pendidikan yang paling berperan dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Untuk itu kepala sekolah harus mengetahui tugas-tugas yang harus ia laksankan. Adapun tugas-tugas dari kepala sekolah seperti yang dikemukakan Wahjosumidjo (2002:97) adalah:
1. Kepala sekolah bekerja dengan dan melalui orang lain.
Kepala sekolah berperilaku sebagai saluran komunikasi di leingkungan sekolah.
a. Kepala sekolah bertanggung jawab dan mempertanggungjawabkan. Kepala sekola bertindak dan bertanggungjawab atas segala tindakan yang dilakukan oleh bawahan. Perbuatan yang dilakukan oleh para guru, siswa, staf, dan orang tua siswa tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawab kepala sekolah
b. Dengan waktu dan sumber yang terbatas seorang kepala sekolah harus mampu menghadapi berbagai persoalan.Dengan segala keterbatasan, seorang kepala sekolah harus dapat mengatur pemberian tugas secara cepat serta dapat memprioritaskan bila terjadi konflik antara kepentingan bawahan dengan kepentingan sekolah.
c. Kepala sekolah harus berfikir secara analitik dan konsepsional. Kepala sekolah harus dapat memecahkan persoalan melalui satu analisis, kemudian menyelesaikan persoalan dengan satu solusi yang feasible. Serta harus dapat melihatsetiap tugas sebagai satu keseluruhan yang saling berkaitan.
d. Kepala sekolah adalah seorang mediator atau juru penengah. Dalam lingkungan sekolah sebagai suatu organisasi di dalamnya terdiri dari manusia yang mempunyai latar belakang yang berbeda-beda yang bisa menimbulkan konflik untuk itu kepala sekolah harus jadi penengah dalam konflik tersebut.
e. Kepala sekolah adalah seorang politisi. Kepala sekolah harus dapat membangun hubungan kerja sama melalui pendekatan persuasi dan kesepakatan (compromise). Peran politis kepala sekolah dapat berkembang secara efektif, apabila: (1) dapat dikembangkan prinsip jaringan saling pengertian terhadap kewajiban masing-masing, (2) terbentuknya aliasi atau koalisi, seperti organisasi profesi, OSIS, BP3, dan sebagainya; (3) terciptanya kerjasama (cooperation) dengan berbagai pihak, sehingga aneka macam aktivitas dapat dilaksanakan.
f. Kepala sekolah adalah seorang diplomat. Dalam berbagai macam pertemuan kepala sekolah adalah wakil resmi sekolah yang dipimpinnya.
g. Kepala sekolah mengambil keputusan-keputusan sulit. Tidak ada satu organisasi pun yang berjalan mulus tanpa problem. Demikian pula sekolah sebagai suatu organisasi tidak luput dari persoalan dn kesulitan-kesulitan. Dan apabila terjadi kesulitan-kesulitan kepala sekolah diharapkan berperan sebagai orang yang dapat menyelesaikan persoalan yang sulit tersebut.
Dalam menjalankan kepemimpinannya, selain harus tahu dan paham tugasnya sebagai pemimpin, yang tak kalah penting dari itu semua seyogyanya kepala sekolah memahami dan mengatahui perannya. Adapun peran-peran kepala sekolah yang menjalankan peranannya sebagai manajer seperti yang diungkapkan oleh Wahjosumidjo (2002:90) adalah: (a)Peranan hubungan antar perseorangan; (b) Peranan informasional; (c) Sebagai pengambil keputusan.
Dari tiga peranan kepala sekolah sebagai manajer tersebut, dapat penulis uraikan sebagai berikut:
a. Peranan hubungan antar perseorangan
1) Figurehead, figurehead berarti lambang dengan pengertian sebagai kepala sekolah sebagai lambang sekolah.
2) Kepemimpinan (Leadership). Kepala sekolah adalah pemimpin untuk menggerakkan seluruh sumber daya yang ada di sekolah sehingga dapat melahirkan etos kerja dan peoduktivitas yang tinggi untuk mencapai tujuan.
3) Penghubung (liasion). Kepala sekolah menjadi penghubung antara kepentingan kepala sekolah dengan kepentingan lingkungan di luar sekolah. Sedangkan secara internal kepala sekolah menjadi perantara antara guru, staf dan siswa.
b. Peranan informasional
1) Sebagai monitor. Kepala sekolah selalu mengadakan pengamatan terhadap lingkungan karena kemungkinan adanya informasi-informasi yang berpengaruh terhadap sekolah.
2) Sebagai disseminator. Kepala sekolah bertanggungjawab untuk menyebarluaskan dan memabagi-bagi informasi kepada para guru, staf, dan orang tua murid.
3) Spokesman. Kepala sekolah menyabarkan informasi kepada lingkungan di luar yang dianggap perlu.
c. Sebagai pengambil keputusan
1) Enterpreneur. Kepala sekolah selalu berusaha memperbaiki penampilan sekolah melalui berbagai macam pemikiran program-program yang baru serta malakukan survey untuk mempelajari berbagai persoalan yang timbul di lingkungan sekolah.
2) Orang yang memperhatikan gangguan (Disturbance handler). Kepala sekolah harus mampu mengantisipasi gangguan yang timbul dengan memperhatikan situasi dan ketepatan keputusan yang diambil.
3) Orang yang menyediakan segala sumber (A Resource Allocater). Kepala sekolah bertanggungjawab untuk menentukan dan meneliti siapa yang akan memperoleh atau menerima sumber-sumber yang disediakan dan dibagikan.
4) A negotiator roles. Kepala sekolah harus mampu untuk mengadakan pembicaraan dan musyawarah dengan pihak luar dalam memnuhi kebutuhan sekolah.
Seperti halnya diungkapkan di muka, banyak faktor penghambat tercapainya kualitas keprofesionalan kepemimpinan kepala sekolah seperti proses pengangkatannya tidak trasnparan, rendahnya mental kepala sekolah yang ditandai dengan kurangnya motivasi dan semangat serta kurangnya disiplin dalam melakukan tugas, dan seringnya datang terlambat, wawasan kepala sekolah yang masih sempit , serta banyak faktor penghambat lainnya yang menghambat tumbuhnya kepala sekolah yang professional untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Ini mengimplikasikan rendahnya produktivitas kerja kepala sekolah yang berimplikasi juga pada mutu (input, proses, dan output)
Berdasarkan masalah-masalah tersebut, adapun pemecahannya adalah:
1. Pembinaan kemampuan profesional kepala sekolah
Wadah-wadah yang telah dikembangkan dalam pembinaan kemampuan profesional kepala sekolah adalah Musyawarah Kepala Sekolah (MKS) , kelompok kerja kepala sekolah (KKKS), Pusat Kegiatan Kepala Sekolah (PKKS). Disamping itu peningkatan dapat dilakukan melalui pendidikan, dengan program sarjana atau pasca sarjana bagi para kepala sekolah sesuai dengan bidang kehaliannya, sehingga tidak terlepas dari koridor disiplin ilmu masing-masing.
2. Revitalisasi KKG, MGMP dan MKKS di sekolah
Melalui MGMP dan MKKS dapat dipikirkan bagaimana menyiasati kurikulum yang padat dan mencari alternatif pembelajaran yang tepat serta menemukan berbagai variasi metoda dan variasi media untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.
Dengan mengefektifkan MGMP dan MKKS semua kesulitan dan permasalahan yang dihadapi oleh guru dan kepala sekolah dalam kegiatan pendidikan dapat dipecahkan, dan diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan di sekolah.


3. Peningkatan disiplin
Dalam menumbuhkan kepala sekolah profesional dalam paradigma baru manajemen pandidikan di sekolah diperlukan adanya peningkatan disiplin untuk menciptakan iklim sekolah yang lebih kondusif dan dapat memotivasi kerja, serta menciptakan budaya kerja dan budaya disiplin para tenaga kependidikan dalam melakukan tugasnya di sekolah.
4. Pembentukan kelompok diskusi profesi
Kelompok diskusi profesi dapat dibentuk untuk mengatasi tenaga kependidikan yang kurang semangat dalam melakukan tugas-tugas kependidikan di sekolah yang melibatkan pengawas sekolah, komite sekolah atau orang lain yang ahli dalam memecahkan masalah yang dihadapi kepala sekolah dan tenaga kependidikan.
5. Peningkatan layanan perpustakaan dan penambahan koleksi
Salah satu sarana peningkatan profesionalisme kepala sekolah adalah tersedianya buku yang dapat menunjang kegiatan sekolah dalam mendorong visi menjadi aksi. Karena akan sangat sulit dapat mengembangkan dan meningkatkan profesionalisme kepala sekolah jika tidak ditunjangkan oleh sumber belajar yang memadai.
Peningkatan Profesionalisme Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Mutu pendidikan harus dilakukan melalui suatu strategi.
Melalui strategi perbaikan mutu inilah diharapkan dapat mengatasi masalah rendahnya pendidikan mutu pendidikan yang mengoptimalkan segala sumber daya yang terdapat di sekolah.
Upaya peningkatan profesionalisme kepala sekolah merupakan proses keseluruhan dan organisasi sekolah serta harus dilakukan secara berkesinambungan karena peubahan yang terjadi selalu dinamis serta tidak bisa diprediksi sehingga kepala sekolah maupun tenaga kependidikan harus selalu siap dihadapkan pada kondisi perubahan. Ada istilah seorang tenaga pendidik yang tadinya professional belum tentu akan terus professional bergitupun sebaliknya, tenaga kependidikan yang tadinya tidak professional belum tentu akan selamanya tidak professional. Dari pernyataan itu jelas kalau perubahan akan selalu terjadi dan menuntut adanya penyasuaian sehingga kita dapat mengatasi perubahan tersebut dengan penuh persiapan.
Dalam upaya peningkatan mutu sekolah dan profesionalisme kepala sekolah harus ada pihak yang berperan dalam peningkatan mutu tersebut. Dan yang berperan dalam peningkatan profesionalisme kepala sekolah adalah pengawas sekolah yang juga merupakan pemimpin pendidikan yang bersama-sama kepala sekolah memiliki tanggung jawab terhadap perkembangan sekolah.
Selain itu kepala sekolah harus memiliki visi dan misi, serta strategi manajemen pendidikan secara utuh yang berorientasi kepada mutu. Strategi ini dikenal dengan manajemen mutu terpadu (MMT) atau kalau dunia bisnis dikenal dengan nama total quality management (TQM). Yang merupakan usaha sistematis dan terkoordinasi untuk secara terus-menerus memperbaiki kualitas layanan.
Sedikitnya terdapat lima sifat layanan yang harus diwujudkan oleh kepala sekolah agar “pelanggan” puas; yakni layanan sesuai dengan yang dijanjikan (reliability), mampu menajmin kualitas pembelajaran (assurance), iklim sekolah yang kondusif (tangible), memberikan perhatian penuh kepada peserta didik (emphaty), dan cepat tanggap terhadap kebutuhan peserta didik (responsiveness)




F. Profesionalisme Kepala Sekolah Melakukan Supervisi Klinis Untuk Meningkatkan Profesionalisme Guru
1. Pengertian Supervisi Klinis
Supervisi klinis merupakan salah satu jenis supervisi yang paling intensif dibandingkan dengan supervisi-supervisi lain. Jenis supervisi ini dikenal sebagai supervisi yang paling akhir dikenal di Indonesia. Para ahli di bidang ini memberikan pengertian supervisi klinis dengan kalimat yang berbeda, walaupun apa yang mereka maksudkan tidak jauh berbeda. Perbedaan itu seringkali hanya disebabkan penekanan pada aspek-aspek tertentu dari supervisi sendiri. Berikut ini akan dikemukakan beberapa pengetian supervisi klinis dari para ahli. Waller (dalam Purwanto, 2002) mendefinisikan tentang supervisi klinis adalah :
“Clinical supervision may be defined as supervision focused upon the improvement of instruction by means analysis of sistimatic cycles of planning, observation and intensive intelectual anaylis of actual teaching perfomances in the interest of rational modification”.
Dalam definisinya di atas Waller menjelaskan bahwa supervisi klinis difokuskan pada perbaikan pengajaran dengan melalui siklus yang sistematis dari tahap perencanaan, pengamatan, dan analisis intelektual yang intensif terhadap penampilan mengajar sebenarnya dengan tujuan untuk mengadakan modifikasi rasional.”
Pengertian di atas senada dengan pengertian yang diungkapkan oleh Keith dan Moudith (dalam Azhar, 1996) yang mengemukakan batasan tentang supervisi klinis yaitu: “Proses membantu guru memperkecil jurang antara tingkah laku mengajar yang nyata dan tingkah laku mengajar yang ideal”. Dari pengertian diatas memberikan indikasi bahwa supervisi klinis adalah suatu proses bimbingan yang bertujuan untuk membantu mengembangkan profesional guru/calon guru yang bersangkutan dalam penampilan mengajar berdasarkan observasi dan analisis data secara teliti dan obyektif sebagai pegangan untuk perubahan tingkah laku mengajar tersebut.
Selain itu pula bahwa supervisi klinis dapat pula diartikan sebagai suatu upaya supervisor memecahkan masalah belajar mengajar yang dihadapi oleh guru. Hal itu sesuai dengan ungkapan yang dikemukakan oleh Pidarta (1999) yang menjelaskan bahwa “supervisi klinis itu merupakan satu model supervisi untuk menyelesaikan masalah tertentu yang sudah diketahui sebelumnya”. Sedangkan Sahertian (2000) memberi definisi supervisi klinis adalah suatu proses pembimbingan dalam pendidikan yang bertujuan membantu pengembangan profesional guru dalam pengenalan mengajar melalui observasi dan analisis data secara obyektif, teliti sebagai dasar untuk usaha mengubah perilaku mengajar guru.
Dari beberapa pengertian diatas maka dapat disimpulan bahwa supervisi klinis adalah suatu tehnik supervisi yang dilakukan oleh supervisor untuk membantu guru mengatasi masalah yang dihadapi dalam proses belajar mengajar melalui bimbingan yang intensif yang disusun secara sistematis guna memperbaiki perilaku mengajar sekaligus meningkatkan profesionalisme guru.
2. Ciri-Ciri Supervisi Klinis
Para ahli pada umumnya memberikan ciri-ciri yang berbeda mengenai supervisi klinis, tatapi pada prinsipnya mempunyai tujuan yang sama yaitu meningkatkan profesionalisme guru. Di bawah ini akan dikemukakan beberapa ciri-ciri supervisi klinis yang dikemukakan oleh para ahli yang relevan dengan tulisan ini.
Salah satu ahli yang telah banyak memberikan kontribusi dalam bidang supervisi klinis adalah Pidarta (1999) yang menyebutkan beberapa ciri supervisi klinis yaitu:
a. Ada kesepakatan antara supervisor dengan guru yang akan disupervisi tentang aspek perilaku yang akan diperbaiki.
b. Yang disupervisi atau diperbaiki adalah aspek- aspek perilaku guru dalam proses belajar mengajar yang spesifik, misalnya cara menertibkan kelas, teknik bertanya, teknik mengendalikan kelas dan metode keterampilan proses, teknik menangani anak membandel, dan sebagainya.
c. Memperbaiki aspek perilaku diawali dengan pembuatan hipotesis bersama tentang bentuk perbaikan perilaku atau cara mengajar yang baik. Hipotesis ini biasa diambil dari teori-teori dalam proses belajar mengajar.
d. Hipotesis di atas diuji dengan data hasil pengamatan supervisor tentang aspek perilaku guru yang akan diperbaiki ketika sedang mengajar. Hipotesis ini mungkin diterima, ditolak atau direvisi.
e. Ada unsur pemberian penguatan terhadap perilaku guru terutama yang sudah berhasil diperbaiki. Agar muncul kesadaran betapa pentingnya bekerja dengan baik serta dilakukan secara berkelanjutan.
f. Ada prinsip kerja sama antara supervisor dengan guru yang saling mempercayai dan sama-sama bertanggung jawab.
g. Supervisi dilakukan secara kontinyu, artinya aspek-aspek perilaku itu satu per-satu diperbaiki sampai guru itu biasa bekerja dengan baik. Atau kebaikan bekerja guru itu dipelihara agar tidak kumat jeleknya.
Sedangkan Suhertian (2000) menyebutkan ada delapan ciri supervisi klinis yaitu:
1) Dalam supervisi bantuan yang diberikan bukan bersifat instruksi atau perintah, tetapi menciptakan hubungan manusiawi, sehingga guru-guru memiliki rasa aman. Dengan timbulnya rasa aman diharapkan adanya kesediaan untuk menerima perbaikan.
2) Apa yang disupervisikan timbul dari harapan dan dorongan dari guru sendiri karena dia memang membutuhkan bantuan itu.
3) Satuan tingkah laku mengajar yang di miliki guru merupakan satuan yang terintegrasi. Harus dianalisis sehingga terlihat kemampuan apa, keterampilan apa yang spesifik yang harus diperbaiki.
4) Suasana dalam pemberian supervisi adalah suasana yang penuh kehangatan, kedekatan dan keterbukaan.
5) Supervisi yang diberikan tidak saja pada keterampilan mengajar tapi juga mengenai aspek-aspek kepribadian guru, misalnya motivasi terhadap kegairahan mengajar.
6) Instrumen yang digunakan untuk diobservasi disusun atas dasar kesepakatan antar supervisor dan guru.
7) Balikan yang diberikan harus secepat mungkin dan sifat obyektif.
8) Dalam percakapan balikan seharusnya datang dari pihak guru lebih dahulu bukan supervisor.
Berbeda dengan pendapat ahli diatas Purwanto (1999) mengemukakan pendapatnya tentang ciri-ciri supervisi klinis, sebagai berikut:
a) Bimbingan supervisor kepada guru/calon guru bersifat bantuan, bukan perintah atau instruksi.
b) Jenis keterampilan yang akan disupervisi diusulkan oleh guru atau calon guru yang akan disupervisi, dan disepakati melalui pengkajian bersama antara guru dan supervisor.
c) Meskipun guru menggunakan berbagai keterampilan mengajar secara integrasi, sasaran supervisi hanya pada beberapa keterampilan tertentu saja.
d) Instrumen supervisi dikembangkan dan disepakati bersama antara supervisor dengan guru berdasarkan kontrak atau kesepakatan bersama.
e) Balikan diberikan dengan segera dan secara obyektif.
f) Meskipun supervisor telah menganalisis dan mengintegrasi data yang direkam oleh instrumen observasi, di dalam diskusi atau pertemuan-balikan guru diminta terlebih dahulu menganalisis penampilannya.
g) Supervisor lebih banyak bertanya dan mendengar daripada memerintah dan mengarahkan.
h) Supervisi berlangsung dari suasana intim dan terbuka.
i) Supervisi berlangsung dalam siklus yang meliputi perencanaan, observasi dan diskusi/pertemuan balikan.
j) Supervisi klinis dapat dipergunakan untuk pembentukan atau peningkatan dan perbaikan keterampilan mengajar dipihak lain dipakai dalam konteks pendidikan prajabatan maupun dalam jabatan.
Dari beberapa pendapat yang telah diuraikan diatas, dapat disimpulkan beberapa ciri utama supervisi klinis yaitu:
1) Suasana supervisi yang penuh keakraban, kehangatan, kedekatan, keterbukaan dan saling pengertian antara supervisor dengan guru yang disupervisi.
2) Supervisi yang dilakukan berorientasi pada perbaikan perilaku guru yang sangat lemah dalam proses belajar mengajar, bukan mencari kesalahan guru yang selama ini terjadi.
3) Perilaku diperbaiki satu persatu
4) Perilaku yang akan diperbaiki telah disepakati bersama antara supervisor dengan guru yang disupervisi. Hal ini dilakukan untuk menghindari agar tidak perlu dilakukan supervisi terhadap tingkah laku yang tidak perlu diperbaiki.
5) Didahului dengan pembuatan hipotesis
6) Dilakukan secara sistematis dan adanya umpan balik dari supervisor.
3. Langkah-Langkah Supervisi Klinis
Sebagaimana dikatakan diatas bahwa supervisi klinis dilakukan secara sistematis dan terencana; artinya bahwa untuk melaksanakan supervisi klinis harus dilakukan beberapa tahap pelaksanaan. Tahapan pelaksanaan atau langkah tersebut dapat dilakukan secara berurutan. Para ahli supervisi membuat tahapan yang berbeda dalam melaksanakan supervisi klinis. Ada sebagian ahli yang membuat tahapan supervisi klinis dengan singkat dan pula sebagian ahli yang menjabarkan tahapan secara rinci.
Sahertian (2000), misalnya, hanya menawarkan tiga langkah atau tahap dalam supervisi klinis yaitu: pertemuan awal, observasi, dan pertemuan akhir. Lebih jauh, Soetjipto dan Kosasi (1999) membuat lima tahap/langkah yaitu: pembicaraan pra observasi, melaksanakan observasi, melakukan analisis dan menentukan strategi, melakukan pembicaraan tentang hasil supervisi, dan melakukan analisis setelah pembicaraan.
Penjelasan yang lebih rinci tentang langkah-langkah yang ditempuh dalam pelaksanaan supervisi klinis dikemukakan oleh Pidarta (1992) adalah sebagai berikut:
a. Pertemuan awal atau perencanaan yang terdiri dari:
1) Menciptakan hubungan yang baik dengan cara menjelaskan makna supervisi klinis sehingga supervisi klinis sehingga partisipasi guru meningkat.
2) Menemukan aspek-aspek perilaku apa dalam proses belajar mengajar yang perlu diperbaiki.
3) Membuat prioritas aspek-aspek perilaku yang akan diperbaiki.
4) Membentuk hipotesis sebagai cara atau bentuk perbaikan pada sub topik bahan pelajaran tertentu.
b. Persiapan, yang terdiri dari:
1) Bagi guru tentang cara mengajar yang baru hipotesis.
2) Bagi supervisor tentang cara dan alat observasi seperti tape-recorder, video- tape recorder, daftar cek, catatan anekdotal dan sebagainya.

c. Pelaksanaan yang terdiri dari:
1) Guru mengajar dengan tekanan khusus pada aspek perilaku yang diperbaiki.
2) Supervisor mengobservasi.
d. Menganalisis hasil mengajar secara terpisah.
e. Pertemuan akhir, yang terdiri dari:
1) Guru memberi tanggapan / penjelasan / pengakuan.
2) Supervisor memberi tanggapan/ulasan.
3) Menyimpulkan bersama hasil yang telah dicapai: Hipotesa diterima, ditolak atau direvisi.
f. Menentukan rencana berikutnya, dengan cara:
1) Mengulangi memperbaiki aspek tadi.
2) Meneruskan untuk memperbaiki aspek - aspek yang lain.
Selanjutnya paparan tentang langkah-langkah yang ditempuh dalam pelaksanaan supervisi klinis diatas dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Tahap Pertemuan Awal.
Dalam tahap pertemuan awal ini yang terpenting dibahas oleh supervisor dan guru yang akan disupervisi adalah rencana keterampilan yang akan diobservasi dan dicatat. Tahap pertemuan awal ini sesungguhnya mengandung arti sebagai pendekatan yang mendasar terutama sekali jika dikaitkan dengan sifat supervisi yang harus dijalankan secara demokratis, sehingga dengan demikian secara bersama-sama supervisor dan guru dapat mengidentifikasikan fokus perhatian yang utama yang menjadi sasaran.
Untuk terlaksananya tahap awal sebagai pendahuluan pertemuan yang baik, Bolla (1984) menjelaskan ada lima (5) langkah yang diperlukan dalam pertemuan pendahuluan yaitu:
1) Menciptakan suasana akrab antara supervisor dengan guru sebelum langkah-langkah selanjutnya dibicarakan.
2) Me-review rencana pelajaran dan tujuan pelajaran
3) Me-review komponen keterampilan yang akan dilatih dan diamati.
4) Memilih atau mengembangkan suatu instrumen observasi yang akan dipakai untuk merekam tingkah laku guru yang menjadi perhatian utamanya.
5) Instrumen observasi yang dipilih atau yang dikembangkan, dibicarakan bersama antara guru dan supervisor. Kesepakatan-kesepakatan tentang perhatian utama serta cara perekamannya merupakan semacam kontrak yang berbentuk rambu-rambu yang mengatur perwujudan peranan kedua belah pihak di dalam pelaksanaan supervisi klinis yang bersangkutan.
b. Tahap Pengamatan Mengajar
Dalam tahapan ini, guru merealisasikan tingkah laku mengajar berdasarkan komponen keterampilan yang telah disepakati dalam pertemuan awal. Di lain pihak, supervisor mengamati dan mencatat secara objektif tingkah laku guru ketika melangsungkan kegiatan belajar mengajar berdasarkan komponen yang disepakati guru untuk diamati. Dalam kesempatan itu pula supervisor sekaligus mangadakan observasi dan mencatat tingkah laku siswa yang sedang berinteraksi dengan gurunya. Disamping menciptakan situasi belajar mengajar yang memungkinkan terjadinya interaksi optimal, beberapa aspek yang tidak boleh dilupakan oleh guru maupun supervisor yang bertugas membuat catatan, adalah sebagai berikut:
a. Pengelolaan dan Pengendalian kelas oleh guru.
b. Jenis informasi, keterampilan-keterampilan, konsep-konsep, skill, dan sebagainya yang akan disampaikan oleh guru.
c. Penggunaan tingkah laku verbal seperti keterampilan bertanya, penggunaan model, peraga, demonstrasi, dan lain sebagainya.
d. Penggunaan tingkah laku non formal seperti gerak pindah, isarat guru dan lain-lain.
e. Mempertimbangkan prinsip-prinsip psikologis, antara lain yang menyangkut motivasi, pengulangan, pemberian, penguat, balikan kognitif, mata rantai kognitif dan lain-lain.
f. Penyajian kegiatan bagi siswa sehubungan dengan perbedaan individual.
c. Tahap Pertemuan Balikan
Permasalahan yang akan digarap dalam tahap pertemuan adalah membahas hasil observasi dan catatan-catatan yang dibuat supervisor sesuai dengan yang telah dijadikan kesepakatan dalam pertemuan pendahuluan tadi. Karena itu, sebelum melakukan analisis terhadap rekamannya, hasil analisis dan inteprasi data yang dibahas dalam pertemuan balikan tentu pula yang bersifat objektif.
Langkah-langkah pokok tahap pertemuan balikan adalah sebagai berikut:
1) Menanyakan perasaan/kesan umum guru ketika berlangsungnya kegiatan belajar mengajar
2) Reviu tujuan pelajaran
3) Mereviu tingkat keterampilan dan perhatian utama yang telah disepakati dalam tahap pertemuan awal
4) Menanyakan perasaan guru tentang jalannya pengajaran berdasarkan target dan perhatian utamanya.
5) Menunjukan data hasil pencatatan/perekaman dan pemberi kesempatan kepada guru menafsirkan hasil/data tersebut.
6) Menyimpulkan hasil dengan melihat apa yang sebenarnya merupakan keinginan atau yang ditargetkan guru dibandingkan dengan apa yang telah dicapai.
7) Menentukan bersama dan memberi dorongan kepada guru untuk merencanakan hal-hal yang perlu dilatih, diperhatikan dan disempurnakan pada kesempatan yang akan datang.
Langkah-langkah pokok pertemuan balikan yang dikemukakan diatas merupakan langkah yang ditempuh supervisor dalam pertemuan yang bersifat individual dengan guru yang baru selesai disupervisinya. selain itu, dalam proses komunikasi dengan para siswa didepan kelas agar melaksanakan perilaku-perilaku sebagai berikut:
1) Agar guru berupaya menyampaikan informasi baik verbal maupun non verbal.
2) Agar guru mampu membuat berbagai variasi tugas.
3) Bersifat hangat dan antusias dalam berkomunikasi dengan siswa-siswanya.
4) Berperilaku yang berorientasi pada tugas dan tanggung jawabnya tanpa mengecewakan dengan hal-hal yang bukan tugas dan tanggung jawabnya.
5) Berperilaku wajar dalam memberi kesempatan dan tugas kepada siswanya.
6) Korektif terhadap kesalahan-kesalahan yang mungkin timbul dari berbagai gagasan siswa secara tidak langsung.
7) Menghindari pemberian kritik yang bersifat negatif terhadap siswa.
8) Mampu memberikan komentar-komentar yang berstruktur bagi kepentingan siswa dalam rangka memberikan motivasi.
9) Memiliki kemampuan membuat variasi keterampilan bertanya.
10) Mampu menentukan tingkat kesulitan belajar siswanya.
11) Mampu mengalokasikan waktu mengajarnya sesuai dengan alokasi waktu yang direncanakan dalam satuan pelajarannya.
G. Profesi Guru yang harus ditingkatkan oleh Kepala Sekolah
Profesi guru bukan sekedar merupakan pekerjaan sambilan, akan tetapi merupakan pekerjaan yang harus ditekuni untuk mewujudkan keahlian profesional secara maksimal. Sebagai tenaga profesional, guru memegang peran dan tanggung jawab yang penting dalam pelaksanaan program pengajaran di sekolah.
Profesionalisme berkembang sesuai dengan kemajuan masyarakat modern. Hal itu menuntut beraneka ragam spesialisasi yang sangat diperlukan pada masyarakat yang semakin komplek pada saat ini. Masalah profesi kependidikan hingga pada saat ini masih sering diperbincangkan, baik pada dunia pendidikan maupun di luar pendidikan. Kendatipun berbagai pandangan tentang masalah tersebut telah banyak dikemukakan oleh para ahli pendidikan, namun masyarakat pada saat ini merasakan perlunya suatu lembaga pendidikan guru yang khusus berfungsi mempersiapkan tenaga guru terdidik dan terlatih dengan baik. Implikasi dan gagasan tersebut ialah perlunya dikembangkan program pendidikan guru serasi dan memudahkan pembentukan guru yang berkualifikasi profesional, serta dapat dilaksanakan secara efisien dalam kondisi budaya masyarakat Indonesia.
Menjadi guru adalah sebuah profesi karena pekerjaan ini tidak semua orang dapat melakukannya. Oleh karena itu, orang yang dapat menjadi guru adalah orang-orang pilihan dimana guru tersebut memiliki ilmu, pengetahuan, dan keterampilan khusus yang bersifat dinamis. Lebih jauh (Sikun Pribadi dalam Hamalik, 2002) berpendapat bahwa Profesi itu pada hakekatnya adalah suatu pernyataan atau suatu janji terbuka, bahwa seseorang akan mengabdikan dirinya kepada suatu jabatan atau pekerjaan dalam arti biasa, karena orang tersebut merasa terpanggil untuk menjabat pekerjaan itu. Rumusan di atas dapat disimpulkan bahwa hakikat profesi adalah: (1) suatu pernyataan terbuka atau suatu janji yang terbuka, dimana pernyataannya itu merupakan ekspresi kepribadiannya dan tampak pada tingkah lakunya sehari-hari. (2) Profesi mengandung unsur pengabdian. Suatu profesi bukan bermaksud untuk mencari keuntungan bagi dirinya sendiri, baik dalam arti ekonomis maupun arti psikis, tetapi untuk pengabdian pada masyarakat. Selain itu, profesi itu harus berusaha menimbulkan kebaikan, keberuntungan, dan kesempurnaan serta kesejahteraan bagi masyarakat. (3) Profesi adalah suatu jabatan bukan pekerjaan. Suatu profesi erat kaitannya dengan jabatan atau pekerjaan tertentu yang dengan sendirinya menuntut keahlian, pengetahuan, dan keterampilan tertentu pula.
Berkenaan dengan rumusan profesi yang dijabarkan diatas, ciri-cirinya adalah: pilihan terhadap jabatan itu didasari oleh motivasi yang kuat sebagai panggilan hidup orang yang bersangkutan; telah memiliki ilmu, pengetahuan, dan keterampilan khusus yang bersifat dinamis dan terus berkembang; ilmu, pengetahuan, dan keterampilan khusus di atas diperoleh melaui studi dalam waktu yang lama di perguruan tinggi; memiliki otonomi dalam bertindak ketika melayani klien; menjadi anggota organisasi profesi yang menentukan persyaratan penerimaan para anggota, membina profesi anggota, mengawasi perilaku anggota, memberi sangsi, dan memperjuangkan kesejahteraan anggota; memiliki kode etika profesi; memiliki kekuatan dan status yang tinggi sebagai ahli yang diakui oleh masyarakat; dan berhak mendapatkan imbalan yang layak (Pidarta, 1999). Dan karena profesi guru memerlukan keahlian khusus, maka sewajarnya profesi guru tersebut dikatakan sebagai pekerjaan profesional.
Darling-Harmond dan Goodwin (dalam Wardani, 1999) mengemukakan bahwa ciri-ciri pekerjaan profesional adalah:
1) Penerapan ilmu dalam pelaksanaan pekerjaan didasarkan dalam kepentingan individu dalam setiap kasus,
2) Pekerjaan profesional memiliki mekanisme internal yang terstruktur yang mengatur rekrutmen, pelatihan, pemberian lisensi (ijin kerja) dan ukuran standar untuk praktek yang etis dan memadai,
3) Kaum profesional memiliki tanggung jawab utama terhadap kebutuhan kliennya.
Sedangkan menurut Wahjosumidjo (2002), bahwa ciri khas seorang pekerja profesional adalah: memiliki unsur-unsur sebagai berikut:
1) Ilmu pengetahuan (knowledge),
2) Keahlian (competent application),
3) Tanggung jawab social (social responsibility)
4) Organisasi atau asosiasi profesi,
5) Etika profesi (self control),
6) Dukungan masyarakat (social sanction).
Menyebutkan ciri-ciri pekerjaan profesional tidak akan habis, tetapi ciri-ciri di atas cukup memberikan gambaran kepada kita bahwa sesungguhnya daftar ciri-ciri di atas telah melekat dalam profesi guru. Adapun tugas guru sebagai tenaga profesional diantaranya adalah mengajar. Menurut Sardiman (2001), mengajar adalah suatu aktivitas mengorganisasi dan mengatur lingkungan sebaik-baiknya dan menghubungkan dengan anak, sehingga terjadi proses belajar. Kondisi ini diciptakan sehingga membantu perkembangan anak secara optimal baik jasmani maupun rohani, baik fisik maupun mental.
Untuk mencapai tujuan mengajar secara maksimal, maka guru harus menggunakan strategi dan tehnik mengajar yang tepat pula. Gerlach dan Ely (1980) mendefinisikan strategi adalah: “strategy is the teacher approach to using information, selecting resources and defining the role of the students”. Hal itu termasuk praktek khusus yang di gunakan untuk mencapai tujuan pengajaran.
Sedangkan tehnik adalah: “the procedurs and the practices used to accomplish teaching objective, regardless of approach”. Tehnik berarti prosedur dan praktek untuk menyelesaikan tujuan pengajaran. Contoh dari tehnik adalah ceramah, diskusi, audio visual, dan laporan tertulis dan lisan yang dibuat oleh siswa.
Dari definisi strategi dan tehnik di atas maka dapat disimpulkan bahwa strategi dan tehnik mengajar terdiri dari sekumpulan kemampuan guru yang berhubungan dengan pengajaran antara lain kompetensi menggunakan metode yang cocok, memillih alat-alat belajar yang tepat, pemberian tugas siswa, pengelolaan kelas dan kompetensi melakukan evaluasi terhadap hasil belajar mengajar. Kelima kompetensi mengajar di atas akan dibahas dan dijabarkan secara terpisah sebagai berikut:
1. Metode
Para ahli membagi metode proses belajar mengajar kedalam bentuk yang beragam. Moedjiono dan Hasibuan (1999), misalnya, membagi metode belajar kedalam enam bentuk yaitu:
a. metode ceramah yaitu merupakan cara penyampaian bahan pelajaran dengan komunikasi lisan.
b. metode tanya jawab, dimana metode ini akan meningkatkan partisipasi siswa dalam kegiatan belajar mengajar serta akan membangkitkan minat rasa ingin tahu siswa terhadap masalah yang sedang dibicarakan
c. metode diskusi, yaitu suatu penyajian bahan pelajaran dimana guru memberi kesempatan pada siswa untuk mengadakan perbincangan ilmiah guna mengumpulkan pendapat, membuat kesimpulan, atau menyusun berbagai alternatif pemecahan suatu masalah.
d. metode kerja kelompok,
e. simulasi yaitu tiruan atau perbuatan yang hanya pura-pura saja atau berbuat seolah-olah yang bertujuan untuk melatih keterampilan tertentu, baik sifat profesional maupun bagi kehidupan sehari-hari serta untuk latihan memecahkan masalah.
f. metode demonstrasi yaitu metode yang efektif untuk menolong siswa mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan, dan dalam metode ini perhatian siswa dipusatkan kepada hal-hal yang dianggap penting oleh pengajar sehingga siswa dapat menangkap hal-hal yang penting. Perhatian siswa lebih mudah dipusatkan kepada proses belajar, dan tidak tertuju pada hal yang lain.
Sedangkan, Zain dan Djamarah, (2002) membagi metode ini menjadi sebelas metode yaitu:
a. Metode proyek atau unit yaitu cara penyajian pelajaran yang bertitik tolak dari suatu masalah, kemudian dibahas dari berbagai segi yang berhubungan sehingga pemecahannya secara keseluruhan bermakna.
b. metode eksperimen (percobaan) yaitu cara penyajian pelajaran, dimana siswa melakukan percobaan dengan mengalami dan membuktian sendiri sesuatu yang dipelajari.
c. metode tugas dan resitasi yaitu metode penyajian bahan dimana guru memberikan tugas agar siswa melakukan kegiatan belajar.
d. metode diskusi yaitu cara penyajian pelajaran, dimana siswa-siswa dihadapkan kepada suatu masalah yang bisa berupa peryataan atau pertanyaan yang bersifat problematis untuk dibahas dan dipecahkan bersama.
e. metode sosiodrama (role playing) yaitu mendramatisasikan tingkah laku dalam hubungannya dengan masalah sosial.
f. metode demonstrasi yaitu cara penyajian bahan pelajaran dengan meragakan atau menunjukkan kepada siswa suatu proses, situasi, atau benda tertentu yang sedang dipelajari, baik sebenarnya ataupun tiruan, yang sering disertai dengan penjelasan lisan.
g. Metode pemecahan masalah (problem solving) dimana bukan hanya sekedar metode mengajar, tetapi juga merupakan suatu metode berpikir, sebab dalam problem solving ini dapat menggunakan metode-metode lainnya yang mulai dengan mencari data samapai kepada menarik kesimpulan.
h. metode karyawisata. Kadang dalam proses belajar mengajar siswa perlu diajak ke luar sekolah, untuk meninjau tempat tertentu atau objek lain. Hal ini bukan sekedar rekreasi, tetapi untuk belajar atau memperdalam pelajarannya dengan melihat kenyataannya.
i. metode tanya jawab yaitu metode dengan cara penyajian pelajaran dalam bentuk pertanyaan yang harus di jawab, terutama dari guru kepada siswa, tetapi dapat pula dari siswa kepada guru.
j. metode latihan atau motode training yaitu merupakan suatu cara mengajar yang baik untuk menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang baik.
k. metode ceramah yaitu dan cara ini dapat dikatakan juga sebagai tehnik kuliah, yang merupakan suatu cara mengajar yang digunakan untuk menyampaikan keterangan atau informasi atau uraian tentang suatu pokok persoalan serta masalah secara lisan.
Dalam mengajar, guru dituntut untuk menggunakan metode yang bervariasi sesuai dengan materi pelajaran dan situasi kelas. Dengan metode yang bervariasi, diharapkan siswa cepat dan mudah menyerap materi pelajaran yang diajarkan. Disamping itu, metode yang bervariasi untuk menghindari rasa bosan siswa dengan materi yang diajarkan guru.
2. Alat-alat belajar
Walaupun profesi guru pada dasarnya sebagai pengajar, tetapi pada kenyataanya guru bukanlah satu-satunya sumber belajar. Siswa dapat juga belajar dari sumber lain, misalnya melalui alat atau media bantu pengajaran. Sering terjadi salah tafsir bahwa penggunaan alat bantu pengajaran menjadikan pekerjaan guru lebih efisien sehingga para guru atau calon guru diwajibkan mempelajari alat-alat atau media pengajaran. Padahal, menurut Hamalik (2002), alat bantu pengajaran lebih banyak berguna membantu siswa belajar ketimbang membantu guru mengajar. Dengan kata lain, penggunaan alat bantu pengajaran terpusat pada siswa, sebab berfungsi membantu siswa belajar agar lebih berhasil.
Pendapat Hamalik di atas ada benarnya kalau ditinjau dari hakekat alat atau media bantu pengajaran itu sendiri. Alat atau media bantu pengajaran menurut Sadiman dkk. (2002) diartikan sebagai segala sesuatu menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan minat serta perhatian siswa sedemikian rupa sehingga proses belajar terjadi. Pendapat yang sama juga dikemukan oleh Romiszowski (dalam Harjanto, 1997) yang merumuskan media pengajaran sebagai berikut: “...as the carries of messages, from transmitting source (which may be a human being or an intimate object), to the receiver of the message (which is our case is the learner)”. Media pengajaran adalah penyampaian pesan dari sumber tertentu misalnya manusia atau benda mati kepada penerima pesan dalam hal ini para siswa.
Dalam dunia pendidikan, alat-lat bantu pendidikan sangat banyak ragamnya. Masing-masing ahli membagi alat-alat bantu pengajaran tersebut ke dalam kelompok yang berbeda. Tetapi ada juga sebagian diantara pendapat ini yang memiliki kesamaan. Gerlach (1971) mengklasifikasikan alat-alat belajar ke dalam lima kategori umum, menurut sifat benda, yaitu:
a. benda-benda asli dan manusia (real materials and people),
b. gambar-gambar dan gambar uang di sorotkan (visual and projection),
c. benda-benda yang didengar (audio material),
d. benda-benda cetakan (printed material), dan
e. benda-benda yang dipamerkan (display material).
Sedangkan Kemp (1975), juga mengklasifikasikan alat-lat belajar kedalam 7 (tujuh) jenis, yaitu:
1) media cetak,
2) media display,
3) overhead transparancies,
4) audio tape recording,
5) slide and film-strips,
6) montipicture dan
7) komputer.
Alat-alat belajar memiliki banyak kegunaan dalam proses belajar mengajar. Sadiman dkk. (2002) menjelaskan juga sedikitnya ada empat kegunaan alat belajar, yaitu:
a. memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat verbalistis (dalam bentuk kata-kata tertulis atau lisan belaka).
b. mengatasi keterbatasan ruang, waktu dan daya indera.
c. dapat mengatasi sikap pasif siswa
d. memberikan perangsangan, pengalaman, dan persepsi yang sama kepada siswa.
Seperti halnya metode, guru harus selektif dalam memilih alat-alat bantu pengajaran, sesuai dengan materi dan kondisi siswa. Misalnya, kalau guru ingin menjelaskan tentang komputer, maka guru harus menggunakan alat bantu berupa komputer. Tapi kalau materi pelajaran berupa pelajaran mendengarkan dalam bahasa maka yang digunakan adalah tape recording atau alat audio lainnya. Di samping itu, guru harus dipikirkan juga keragaman alatnya, untuk mencegah kebosanan para siswa dalam proses belajar mengajar.
3. Tugas-Tugas Siswa
Peranan tugas sangat penting dalam proses mengajar. Metode tugas merupakan suatu aspek dari metode-metode pengajaran, dimana tujuan pemberian tugas adalah meninjau kembali pelajaran baru untuk menghafal pelajaran yang sudah diajarkan untuk latihan-latihan, dengan tugas untuk mengumpulkan bahan, dan untuk memecahkan masalah.
Tugas dapat diberikan secara individual, secara kelompok, maupun seluruh kelas. Tempat mengerjakan tugas dapat dilakukan baik dalam kelas maupun di luar kelas atau di luar jam pelajaran sebagai pekerjaan rumah (PR). Dalam memberikan tugas kepada siswa, guru harus memperhatikan syarat-syarat kelayakan dari tugas tersebut. Pasaribu dan Simandjutak (1986) menyebutkan syarat pemberian tugas yang baik adalah:
a. Tugas harus jelas dan tegas.
b. Suatu tugas harus disertai penjelasan-penjelasan tentang kesulitan-kesulitan yang akan dihadapi
c. Tugas itu harus berhubungan dengan materi yang telah dipelajari siswa
d. Tugas itu sebaiknya didiskusikan oleh guru dan murid.
e. Tugas itu hendaknya disesuaikan dengan kesanggupan dan jika mungkin disesuaikan juga dengan minat siswa
f. Tugas hendaknya dilakukan oleh siswa, karena mereka yakin akan nilai pelajaran itu baginya, dan bukan karena takut akan hukuman atau karena ingin mencapai nilai yang tinggi
g. Tugas harus disesuaikan dengan waktu yang ada pada siswa.
Pasaribu dan Simandjutak (1986) lebih lanjut menjelaskan bahwa tugas terdiri dari beberapa jenis antara lain:
1) Tugas latihan
2) Tugas mempelajari sejumlah halaman,
3) Tugas mempelajari satu bab,
4) Tugas mempelajari satu topik atau pokok,
5) Tugas unit, yaitu tugas yang telah dibicarakan dalam kelas
6) Tugas eksperimen
7) Tugas praktis
8) Tugas individual
9) Tugas kelompok
Tugas resitasi, yaitu tugas yang bukan hanya semata-mata menghafal, mengerjakan, tetapi berusaha merenungkan isinya, mengeloh kembali isinya dengan kata-kata sendiri, dengan pengertian dan interpretasi sendiri.
Keterampilan seorang guru dalam memberikan tugas kepada para siswa juga merupakan faktor yang penting dalam keefektifan proses belajar mengajar di dalam kelas. Oleh karena itu guru harus pintar-pintar memilih waktu pemberian tugas agar para siswa dapat mengerjakannya dengan maksimal, baik tugas rumah maupun tugas yang harus dikerjakan dalam kelas. Ada guru yang memberikan tugas pada permulaan pelajaran, ada yang dipertengahan, dan ada yang di akhir pelajaran. Kebanyakan guru memberikan tugas di akhir pelajaran. Tugas tersebut ada yang dikerjakan dan dikumpulkan di kelas pada akhir jam pelajaran, ada juga guru yang memberikan tugas siswa untuk di kerjakan di rumah sebagai PR (pekerjaan rumah). Pasaribu dan Simandjutak (1986), mengatakan bahwa yang penting pemberian tugas itu jangan ada kesan tergesa-gesa, harus disediakan waktu untuk membicarakannya. Bila tugas itu dalam pengajaran unit, maka diperlukan waktu yang lebih banyak untuk membicarakannya dan membagi-bagikan tugas tersebut. Tentunya hal iti sangat tergantung dari sifat tugas yang diberikan.
4. Mengelola kelas
Mengelola kelas merupakan salah satu tugas utama guru dalam mengajar. Guru harus mampu mengelola kelas dengan baik karena pengelolaan kelas yang baik merupakan syarat bagi pengajaran yang efektif.
Tugas pengelolaan kelas ini makin lama makin dirasakan pentinganya dalam dunia pendidikan. Sebab kemampuan memberikan pelajaran saja tanpa dibarengi dengan kemampuan mengorganisasi kelas, tidak akan memberikan prestasi belajar siswa sesuai dengan yang diharapkan. Lebih-lebih prinsip pendidikan modern yang sebagian besar memberi kesempatan kepada murid untuk belajar sendiri, pengelolaan kelas memegang peranan yang menentukan.
Seiring dengan perkembangan jaman, pengelolaan kelas juga mengalami perubahan paradigma. Kalau dulu mungkin pemahaman mengenai pengelolaan kelas terbatas pada mempertahankan ketertiban kelas, maka sekarang menurut Pidarta (tt), pengelolaan kelas ialah proses seleksi dan menggunakan alat-alat yang tepat terhadap problem dan situasi pengelolaan kelas. Sementara itu Jamarah dan Zain (2002) dan Hasibuan dan Mudjiono (1999) mengatakan bahwa pengelolaan kelas dimaksudkan untuk menciptakan dan memelihara kondisi belajar yang optimal dan mengembalikannya bila terjadi gangguan dalam proses belajar mengajar. Pendapat ini memberikan implikasi bahwa suatu kondisi belajar yang optimal dapat tercapai jika guru mampu mengatur anak didik dan sarana pengajaran serta mengembalikannya dalam suasana yang menyenangkan untuk mencapai tujuan pengajaran.
Pengelolaan kelas adalah tugas yang tidak ringan. Oleh karena itu, guru dituntut untuk memiliki serangkaian kemampuan pengelolaan kelas yang baik. Menurut Toenlioe (1992) ada empat kemampuan guru dalam pengelolaan kelas:
a. Kemampuan untuk membedakan masalah pengelolaan kelas dengan masalah pengelolaan pengajaran.
b. Kemampuan untuk membedakan masalah individual dan masalah kelompok dalam pengelolaan kelas
c. Kemampuan untuk menggunakan teknik-teknik pengelolaan kelas.
d. Kemampuan untuk menata tempat belajar mengajar secara serasi.
Pada tataran praksis-operasional, kegiatan pengelolaan kelas dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan. Dari hasil resume serta beberapa pendapat ahli, Sudjai (1996) membagi pendekatan kegiatan pengelolaan kelas ke dalam tiga kelompok, yaitu:
a. Pendekatan perilaku (behaviour modification), yang meliputi:
1) Pemberian penguat
2) Pemberian hukuman
3) Peningkatan komunikasi efektif
4) Pengubahan tingkah laku
5) Perhatian guru.
b. Pendekatan sosio emosional (socio-emotional climate), yang meliputi:
1) Penciptaan iklim sosio emosional
2) Sikap Guru
3) Peningkatan komunikasi efektif
4) Pertemuan kelas dalam memecahkan masalah
5) Penciptaan kelas yang demokratis
c. Pendekatan proses kelompok meliputi:
1) Perhatian pada kegiatan kelompok
2) Kepemimpinan
3) Komunikasi dengan siswa
4) Peningkatan kerjasama kelompok
5) Memberi teguran
5. Evaluasi
Evaluasi merupakan rangkaian terakhir dari sebuah proses belajar mengajar evaluasi dimaksudkan untuk mengetahui seberapa jauh dan bagian mana dari tujuan yang telah dicapai serta pada bagian mana yang belum tercapai, apa penyebabnya, hal ini sesuai dengan definisi evaluasi yang dirumuskan oleh Ralph Tyler (Brinkerhoff, et al., 1986): “evaluation is the process of detrmining to what extend the eduactional objectives are actualy being realized”. menurut Tayler evaluasi merupakan sebuah proses penentuan sejauh mana tujuan-tujuan pendidikan dapat direalisasikan.
Evaluasi juga dipandang sebagai penggunaan informasi dalam menentukan baik buruknya sebuah program, produksi, prosedur, atau pendekatan yang digunakan utnuk mencapai tujuan.
Hal ini dijelaskan secara rinci oleh Worthen dan Sanders (1973) melalui definisi evaluasi yang dikemukakan oleh mereka berikut ini:
Evaluation is the determination of the worth of a thing. It includes of obtaining information for use in judging the worth of a program, product, procedures or objectives, or the potential utility of alternative approaces designed to attain specified objective.
Pendapat di atas memberikan implikasi bahwa kegiatan evaluasi bukan hanya menentukan baik buruknya sesuatu program, tetapi lebih dari itu evaluasi merupakan kegiatan pengumpulan data atau informasi menegenai proses, pelaksanaan, dan pencapaian tujuan suatu kegiatan atau program, secara sistematis sehingga dapat menghasilkan data yang akurat dan obyektif.
Dua definisi di atas merupakan definisi umum tentang evaluasi. Evaluasi dalam bidang pengajaran berbeda dengan evaluasi pada bidang lain. Walaupun secara implisit tujuan evaluasi itu sama, tetapi secara kontekstual evaluasi pengajaran memiliki kekhususan tersendiri. Harjanto (1997), merumuskan bahwa evaluasi pengajaran adalah penilaian atau penaksiran terhadap pertumbuhan dan kemajuan peserta didik kearah tujuan yang telah ditetapkan dalam hukum. Hasil penilaian ini dapat dinyatakan secara kuantitatif maupun kualitatif.
Dari pengertian tersebut di atas baik pengertian umum evaluasi maupun pengertian khusus evaluasi pengajaran maka dapat dirumuskan bahwa tujuan evaluasi pengajaran antara lain yaitu untuk mendapatkan data dan informasi yang akurat dan objektif untuk mengukur sejauhmana tingkat kemampuan dan keberhasilan peserta didik dalam mencapai tujuan kurikuler/pengajaran. Dengan demikian evaluasi menempati posisi yang penting dalam proses belajar mengajar, karena dengan adanya evaluasi pengajaran ini, keberhasilan pengajaran dapat diketahui. Disamping itu, evaluasi pengajaran merupakan bahan pertimbangan dalam rangka melakukan perbaikan dalam proses belajar mengajar.
Selain itu, Hamalik (2003) secara spesifik menguraikan fungsi dan tujuan evaluasi sebagai berikut:
a. Untuk menentukan angka kemajuan atau hasil belajar para siswa, angka-angka yang diperoleh dicantumkan sebagai laporan kepada orang tua, untuk kenaikan kelas dan penentuan kelulusan para siswa.
b. Untuk menempatkan para siswa kedalam situasi belajar mengajar yang tepat dan serasi dengan tingkat kemampuan, minat, dan berbagai karakteristik yang dimiliki oleh setiap siswa.
c. Untuk mengenal latar belakang siswa (psikologis, fisik dan lingkungan) yang berguna, baik yang berhubungan dengan fungsi ke dua maupun untuk menentukan sebab-sebab kesulitan belajar para siswa. Informasi yang diperoleh dapat digunakan untuk memberikan bimbingan dan penyuluhan pendidikan guna mengatasi kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi.
d. Sebagai umpan balik bagi guru yang pada gilirannya dapat digunakan untuk memperbaiki proses belajar mengajar dan program remedial bagi para siswa.
Dilihat dari kenyataan dilapangan, fungsi pertama evaluasi diatas umumnya banyak mendapat perhatian dalam pelaksanaan pengajaran sehari-hari di sekolah. Padahal fungsi-fungsi lainnya tidak kalah pentingnya, bahkan memegang peranan yang cukup menentukan terhadap keberhasilan pendidikan para siswa dalam jangka waktu yang lama. Sehubungan dengan fungsi-fungsi di atas, maka dapat ditentukan sejumlah jenis evaluasi.
Dalam evaluasi pengajaran guru dituntut untuk mampu melakukan evaluasi kemajuan dan perkembangan hasil belajar siswa melalui sejumlah alat evaluasi yang telah ditetapkan di dalam sekolah. Apabila sampai pada tahap evaluasi ini mampu dikerjakan dengan baik oleh guru maka predikat sebagai pekerja yang profesional, layak diterima oleh guru.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kepala sekolah merupakan pemimipin formal yang tidak bisa diisi oleh orang-orang tanpa didasarkan atas pertimbangan tertentu. Untuk itu kepal sekolah bertangggung jawab melaksanakan fungsi-fungsi kepemimpinan baik yang berhubungan dengan pencapaian tujuan pendidikan maupun dalam mencipatakan iklim sekolah yang kondusif yang menumbuhnkan semangat tenaga pendidik maupun peserta didik. Dengan kepemimpinan kepala sekolah inilah, kepala sekolah diharapakan dapat memberikan dorongan serta memberikan kemudahan untuk kemajuan serta dapat memberikan inspirasi dalam proses pencapaian tujuan.
Kepala sekolah diangkat melalui prosedur serta persyaratan tertentu yang bertanggung jawab atas tercapainya tujuan pendidikan melalui upaya peningkatan profesionalisme tenaga kependidikan yang mengimplikasikan meningkatkanya prestasi belajar peserta didik. Kepala sekolah yang professional akan berfikir untuk membuat perubahan tidak lagi berfikir bagaimana suatu perubahan sebagaimana adanya sehingga tidak terlindas oleh perubahan tersebut. Untuk mewujudkan kepala sekolah yang professional tidak semudah memabalikkan telapak tangan, semua itu butuh proses yang panjang.
Sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya yang diterapkan dunia pendidikan, sehingga menuntut penguasaan kepala sekolah secara professional. Untuk itu kepala sekolah dihadapkan pada tantangan untuk melasnakan pengembangan pendidikan secara terarah dan berkesinambungan.
Peningkatan profesionalisme kepala sekolah perlu dilaksankan secara berkeinambungan dan terncana dengan melihat permaslahan-permasalahan dan keterbatasan yang ada. Sebab kepala sekolah merupakan pemimpin pendidikan yang juga bertanggung jawab dalam meningkatkan profesionalisme tenaga kependidikan lainnya. Kepala sekolah yang professional akan mengetahui kabutuhan dunia pendidikan, dengan begitu kepala sekolah akan melakukan penyesuian-penyesuian agar pendidikan berkembang dan maju sesuai dengan kebutuhan pembangunan serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
B. Saran-saran
Upaya peningkatan keprofesionalan kepala sekolah tidak akan terwujud begitu tanpa adanya motivasi dan adanya kesadaran dalam diri kepala sekolah tersebut serta semangat mengabdi yang akan melahirkan visi kelembagaan maupun kemampuan konsepsional yang jelas. Dan ini merupakan faktor yang paling penting sebab tanapa adanya kesadaran dan motivasi semangat mengabdi inilah semua usaha yang dilakukan untuk meningkatkan keprofesionalannya hasilnya tidak akan maksimal dan perealisasiannyapun tidak akan optimal. Berdasarkan hal itu kepala sekolah harus memiliki








DAFTAR PUSTAKA
Hamalik, Oemar. 2002. perencanaan pengajaran berdasarkan pendekatan sistem. Jakarta: Bumi Aksara.
Kusnandar. 2007. Guru Profesional. Jakarta: PT Raja Grafindo
Mulyasa. 2006. Menjadi Kepala Sekolah Profesional, Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Maman Ukas. 2004. Manajemen. Bandung: Agini
Muhammad Surya. Organisasi profesi, kode etik dan Dewan Kehormatan Guru.
Miftah Toha, 2003. Kepemimpinan dalam Manajemen, Jakarta: PT Raja Grafindo.
Rahman (at all). 2006. Peran Strategis Kapala Sekolah dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan. Jatinangor: Alqaprint.
Sadili Samsudin.2006. Manajemen Sumber Daya Manusia. Bandung: CV Pustaka Setia
Soekarto Indarafachrudi. 2006. Bagaimana Memimpin Sekolah yang efektif. Bogor: Ghalia Indonesia
Sudarwan Danim. 2002. Inovasi Pendidikan dalam Upaya Peningkatan Profesionalisme Tenaga Kepandidikan. Bandung: CV Pustaka Setia.
Syaiful Sagala. 2002. Administrasi Pendidikan Kontemporer. Bandung : Alfabeta CV
Wahjosumidjo. 2002. Kepemimpinan Kepala Sekolah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

20 Agustus 2010

CONTOH MAKALAH INTERNASIONAL OLEH PROF.DR.HANSISWANY KAMARGA, M.Pd

THE FORMING OF ATTITUDE AND BEHAVIOR BASED ON INFORMATION TECHNOLOGY THROUGH CURRICULUM OF INFORMATION SYSTEM WITHIN EDUCATION
A Case Study in the Subject of Curriculum Development at Master's Degree, Indonesia University of Education.
Dr. Hansiswany Kamarga, M.Pd.,
School of Postgraduate, Indonesia University of Education

Abstract :
This research is concerned with the use of blended & e-learning to develop of attitude and behaviour based on information technology at Master Program in Curriculum Development. On one hand, the curriculum of Master Program in Curriculum Development requires the achievement of mastering the information technology, but on the other hand majority of students feel unfamiliar with information technology itself and they don't feel the urge to learn since at where they come from internet technology hasn't been improved thus doesn't have an ideal infrastructure yet. The basic of this research is the usage of blended & e-learning, combining knowledge of information technology, skill in seeking for learning source and in developing learning based on information technology, enable this research to be qualitatively measured whether attitude and behavior based on information technology is forming within students.
The purpose of this study was to observe the forming of attitude and behavior based on information technology after doing the learning using blended and e-learning model.
In order to achieve our goal, this research is done by using qualitative case study approach. The type of learning used in this research is blended & e-learning, combining face to face model (conventional), internet usage in class (synchronous), and distance learning (asynchronous). The proportion in learning activity is 40% knowledge and 60% skill. The knowledge learning is focused on direct knowledge which connected with information technology usage, while skill learning is focused on source finding and developing information technology based learning model. The research’s design use naturalistic inquiry approach, where aspects of students’ behavior toward learning by using information technology, students’ behavior toward information technology usage, students’ skill in seeking information sources in the internet (browsing), student’s skill in developing learning based on information technology, measured by the implementation of blended and e-learning model. The subjects for this research are 18 students who register Information System within Education subject. The instruments used are observation sheets, test, and structured tasks. Data is collected during research and analyzed through qualitative approach.
The achieved result through this research is the forming of students' attitude and behavior which based on information technology. This can be proven by students' need toward internet, whether to find learning source, communicate, or developing various learning model. The forming of this attitude changes students’ mindset from depending on transfer of knowledge (one way from lecturer to students) to transaction of knowledge, where when students feel necessary they will seek to the source themselves. It describes the constructive learning pattern.
In summary, students' attitude and behavior toward information technology will change along with knowledge and experience they get through blended & e-learning. With the changes of their attitude and behavior toward information technology, the spread of information technology will be easier and meaningful since learning pattern will happen in two ways. The result of this research recommends us in considering the usage of blended & e-learning model within a school subject as an alternative if we want to transform learning pattern into transaction pattern.

Keyword:
Attitude and behavior, experience, information technology, blended and e-learning
Introduction
The economic progress phenomenon in East Asia basically reconciles toward achievement factors in doing product diversification based on market demand, skill of mastering fast technology through reverse engineering (e.g. computer clone), the amount of people’s saving, good education, and work ethos (Ade Cahyana, 1998). People, company, or countries who own education, skill, creation, and efficiently spread education will gain first chance within global competition nowadays (Cisco, 2001). This shows that education oriented in mastering technology is a must.
Along with development of innovation in information technology area, education and learning sources have become very accessible. This innovation has changed the paradigm of education from constant gain of knowledge and skill after education stage toward the paradigm of fast changing knowledge and skill. The progress of instructional technology supported by development in information technology and communication accelerates education to develop faster according to the need of education in achieving knowledge base society.
In globalization era, the chance of a country to own high and continuity growth will get higher if supported by human resources who own knowledge and basic skill to adapt themselves with demands in progress, higher education, background skill in knowledge and technology, and the ability to produce products which are capable to compete in global scale, both in quality and price.
Indonesian will have difficulties to use the chance as explain above if they don’t give better attention in education. Education crisis in Indonesia, seen from the quality, spreading, or other efficiency in handling, has been going on for too long. Objectively, education system in Indonesia has been through quality crisis since mid 1970, when pattern in education development were done in bureaucracy and centralize, which endanger the human resources (Ace Suryadi, 1998). One visible example is the student’s achievement that far behind international standard. One of the factors causes low education level is the lack of development in education facilities. This has caused student’s lack of experience. Beside limitation in facilities, teachers’ urge to develop innovation within education is still low (Hansiswany Kamarga, 2007). Based on the condition mentioned, it is necessary to fix the education in Indonesia, and one aspect has potential to be developed is through information technology base education.
There are several reasons why it necessary to develop information technology base education in Indonesia. First, the fact that education is a media to develop human resources is fully aware, nevertheless without the availability of ideal facilities the statement above will be nothing but just a statement on paper. Physical education facilities in Indonesia are very limited, while the number of human resources who need education development is increasing which makes information technology base education development (e.g. the development in long distance education) has become a highly necessity. Second, industrial development needs fixing in human resources, which causes the demand of more variation in education facilities. The limitation in physical conventional education facilities and the lack of possibility to achieve a more variation in education according to market’s need has caused Indonesian education quality left behind. Third, the development of information technology base education system will accelerate the chance to gain education beside the fixing of education quality itself. Forth, Indonesia’s various geographic condition, ranging from cities to deserted area divided by many straits and seas, seriously needs to consider development in education base on information technology, since that kind of education system’s development will be very helpful in spreading and fixing education in Indonesia.
Although it has been identified that information technology base education development is needed in Indonesia, in real life it’s on the contrary. In majority, master students come from many areas in Indonesia, and most of them are still lack in knowledge and skill of information technology, some are even still unfamiliar in using computer. In one hand, curriculum in magisterial program Curriculum Development demands students’ skill to use information technology and develop learning that base on information technology, but in reality there are still many students who know nothing about technology itself. This has been seen as an obstacle, which delivers a problem of how to shape attitude and behavior base on information technology through learning in order to achieve students’ need in information technology skill.
Problem and Purpose
To overcome the identified problem mentioned in background, it is necessary to digest on how to design a learning that capable to guide students in mastering information technology. Going deeper, mastering the information technology is more than simply mastering the skill, but must based on the changing of mind set in information base thinking. That kind of mind set can be observed through the forming of behavior and attitude which based on information technology. Based on description above, this research is focused on How implementation of curriculum Information System in Education is designed to achieve behavior and attitude of information technology students? The research’s focus is developed in research questions as followed.
Is learning through blended & e-learning can form information technology base behavior and attitude?
a. What kind of blended & e-learning learning model used in this research?
b. How is the achieved result?
c. How is the identified forming of information technology base behavior and attitude through out this research?
In general, the research aims to answer problem which integrated with the forming of information technology base behavior and attitude. Specifically, the research aims to:
a. Describing the model of blended & e-learning learning used in this research
b. Getting the achieved learning result
c. Getting the overall view of information technology base behavior and attitude that has been formed through this research.
Research Method
To achieve the objective, the research is being done by using an approach of qualitative study case.
Learning model used in this research is blended & e-learning model, integrated between:
• face to face model in class (conventional)
• using internet in class (synchronous), and
• using distance learning (asynchronous).
Learning proportion are 40% knowledge and 60% skill. Knowledge learning is focused on direct knowledge connected to information technology usage, while skill learning is focused on finding sources and developing information technology base learning model.
The design of this research is using inquiry naturalistic approach where aspects of students’ attitude toward learning by using information technology, students’ behavior toward information technology usage, students’ skill in finding information resources in the internet (browsing), and students’ skill in developing technology base learning are measured through implementing blended & e-learning model. The subject of this research (respondent) is a class of 17 students who are taking Information System within Education curriculum.
In this research, the instruments being used are observation sheets, structured tasks, result test, and data are being collected throughout research and analyzed by using qualitative approach, meaning incoming data are straightly being analyzed. Describing the result of class observation and students’ tasks are being done through continuous qualitative analysis enable us to see the happening changes. Data of learning result are generated by using profile technique which enable us to describe overall result from students’ learning.
Research Outcomes
1. Blended & e-learning that is being used
The design of blended & e-learning model that is being used is the combination of 40% theory and 60% practice. Students take classes in computer lab, where each student face computer with internet access. The first five times is used by lecture to give theory.
The way the lecture is designed is the following activity would be a presentation where the topic is about understanding computer as learning tool, multimedia, distance education, and online learning. These four topics are given in order to make the students think and find their own understanding toward information technology base thinking concepts. Although main elements of these topics are taken from resource book (Heinich, et al, Instruction Technology and Media for Learning, 2005), students are still being asked to complete the rest of the elements by looking for the sources through the internet. The strategy used in this part of learning is by using the internet in class (synchronous).
After mid semester, lecture is designed by students’ paper presentation which, discussing about various learning model that can be improved through information technology base learning such as webpage, chatting, newsgroup, learning by using e-book, e-news, e-dictionary, e-laboratory. In this part students are asked to develop their ability to design an information technology base learning form.
From three forms of approached used for one semester lecture, we can see a form that describe these learning steps (a) the transfer of information technology knowledge in a face to face conventional way done in class, (b) inquiry learning by giving the students task to search for a broader information about concepts that are necessary to be understood in information technology by internet browsing, and transaction learning with the pattern of students’ presentation which shows their capability to develop information technology base education.
Learning Process
For theory introduction, a lecture method is given in class with following topics: The Basic Concept of Information, The Basic Concept of System and Information System, The Development of Internet Technology and Problems found in scientific writing in the internet, E-education and electronic education system.
For practice introduction about things are used when accessing the internet, by using practice method of internet access the students are requested to make email account, develop mailing list whose members are the whole students in class so they can communicate at the same time.
Skills being developed during internet usage in class are (a) communicating through email, (b) communicating through mailing list, (c) internet browsing in order to find articles related to the task of making annotated bibliography, task of making presentation about information base technology thinking concepts, (d) developing a model or an information technology base learning approach.
• The achieved learning result
The achieved result throughout one semester lecture is showing an increasing graphic for students’ learning result. (a) Annotated bibliography is the achieved result on the beginning of class where students are asked to do browsing in searching articles related to their annotated bibliography elements. (b) Presentation is the result gained through students achievement toward understanding topic to information technology base thinking concepts. (c) Storyboard is the result of students’ development toward information base technology learning model. (d) Final Semester Exam is final exam achieved by students. Overall the result is shown in the following table.
Table 1. Output Learning Result
(a) Annotated bibliography (b) Presentation
range frequencies % range frequencies %
61 - 70 12 70.59 61 - 70 10 58.83
71 - 80 4 23.53 71 - 80 5 29.42
81 - 90 1 5.88 81 - 90 2 11.75
S 17 100 S 17 100

(c) Storyboard model of learning (d) Examination
range frequencies % range Frequencies %
61 - 70 6 35.29 61 - 70 2 11.75
71 - 80 5 29.42 71 - 80 6 35.29
81 - 90 6 35.29 81 - 90 9 52.96
S 17 100 S 17 100
If is described the entire acquirement, we can see the existence of improvement as show in the following tables
Table 2. The Whole Output Learning Result

range A P S E
61 - 70 12 10 6 2
71 - 80 4 5 5 6
81 - 90 1 2 6 9
S 17 17 17 17
A = annotated bibliography
P = presentation
S = storyboard
E = Examination
Judging from the timing of marking where the aspects of annotated bibliography, presentation, storyboard, and final exam are tasks given in chronological orders since beginning until end of semester, we can see the decreasing of mark within the score range of 61-70 and the increasing of mark within score range 81-90.
• The forming of attitude and behavior based on information technology
Attitude and behavior based on Information technology is being judged from observation during the lecture. Assuming that on the beginning there are very few students have the ability to use information technology, after one semester lecture period the following result shows.
o The aspects of students’ behavior toward learning by using information technology
o Every student uses laptop during lectures outside the lecture of information system within education
o Every time they find concept/ phrase that is not understood after finding for themselves through wikipedia.com or internet
o They access lecture materials through lecturer’s website
o Communication is built through mailing list
o The students’ behavior toward the usage of information technology
• Distribution of tasks are done by using mailing list instead of photo copying
• Communication with lecturer is built through email
• Students that are out of town is sending their test answers through email
o The students’ skill in finding information resources in the internet (browsing)
• Completing annotated bibliography through sources in the internet
• More than 50% of the reference used for task came from the sources in the internet
o The students’ skill in developing internet technology base learning
• Using webquest.com (interactive)
• Developing virtual magazine
• Developing learning site using pbwiki.com
• Developing dictionary for local language
Discussion
Introducing the Information Technology to student is not only to train them in using Information Technology, but the first and main are to change their mind set to make them want to use Information Technology in academic life. It is easy to train the student in using computer and internet, but to form attitude and behavior (alter mind set) that base on Information Technology is not easy. For example, in training student for opening mail box, writing and delivering email is not difficult, but form attitude and student behavior in order to open their mail box everyday, conducted communication through email, is not easy.
Ari Wibowo (2006 : 1) explain that the result of a study is Information Transfer, Skill Acquisition, Change of mental model, whereas in designing a lesson or curriculum require correspondence between target learn and instruction model. Study model can be classified into Instructor Centered, Learner Centered, Learning Team Centered. Furthermore it is described the relation between target learn and model as follows
Base on the picture above, mental change (in this case mind set) can be conducted if study far from models teacher centered and more develop learner centered or learning team. This Idea is based on the philosophy of constructivist that have a notion that learners are not empty vessels waiting to be filled, but rather as active organisms seeking meaning (Driscoll, 1994 in Chang Chew Hungs, 2007). In this case Sherry (1996) give emphasis at study strategy that guided practice, media based challenges, inquiry learning, and teamwork, that make proper developed to reach target the student makes sense and constructs new knowledge from the information which is presented. That is can be told that study that its centre on acquirement, the student is not only transfer knowledge but more than that, they can alter mental or mind set study.
Model blended & e-learning is designed to fulfill the need of mastering Information Technology and form attitude and behavior base on Information Technology. In general, the term blended learning is used to describe a solution that combines several different delivery methods. These can be a mix of various even-based activities such as face to face classrooms, live e-learning and sharing software, and self-paced learning. Some people consider blended e-learning to be the use of a variety of online delivery methods to present content and activities to learners. Thus with this approach, the entire course still remains online, but uses a blend of materials to present the content. (Nicholson, 2003). Because of this model gathers various of methods, so it give a chance to student to expand more optimal, either through structured study or through the study with inquiry approach.
Research Result shows that with structured steps and continual, beginning from recognition in theoretic then continued with recognition in practice, and accustomed use Information Technology, then will be formed attitude and student behavior that base on Information Technology. This research Result shows compatibility between what Ari Wibowo said with the theory of constructivist, it means that study which is designed with student centre on and developed through inquiry approach will give affects to attitude forming and behavior.
This attitude Forming is change the student way of thinking from that initially expect transfer of knowledge (from lecturer to student in one way) become transaction knowledge, that is if student feel that it is important for them to search its source, as the same manner as that told Chang Chew Hung (2007 : 8), constructivism resides the fundamental premise that learners actively construct their knowledge. Besides that, by study model blended & e-learning, student not only have a skill to use Information Technology but more than that, they can think, behave, and have the behavior that base on Information Technology, as expressed by Chang Chew Hung (2007 : 8), learners develop critical insight into how they think, and what they know about the world develops, as their understanding increases in depth and detail.
Conclusions
That can be concluded that attitude and student behavior toward Information Technology will be change along with knowledge and experience that the they have through blended & e-learning study. With the change of attitude and student behavior toward Information Technology, the Information Technology dissemination will be easier and have a meaning because study pattern that happening is two directions pattern. This research Result recommends that if we want to change/alter study pattern into transaction pattern, the usage of model blended & e-learning through one of course becomes justifiable alternative.
References
Ace Suryadi, (1998). Manajemen Pendidikan Nasional Menuju Kemandirian Bangsa : Gagasan Awal. Available at http://www.pdk.go.id/Kajian/Kajian14/ace14.htm
Ade Cahyana (1998). Tujuan Pendidikan untuk Pembangunan : Mencari Alternatif Reformasi Pembangunan Pendidikan. Available at http://www.pdk.go.id/Kajian/ Kajian14/ade14.htm
Hansiswany Kamarga (2007). Developing Distance Learning with Dual Mode at School of Postgraduate Indonesia University of Education , Paper.
Heinich, R. et al. (2005). Instructional Technology and Media for Learning. Eighth Edition. New Jersey : Pearson Merrill Prentice Hall.
Chang Chew Hung. (2007). Engaging Learning Through the Internet : WebQuests in the Humanities Classroom. Singapore : Pearson Prentice Hall.
FX Ari Wibowo (2006). Distributed Learning : Sebuah Konsep Teleeducation. Available at http://www.gematel.com/qanews/qanewsonline/edisi%20VI/Distributed%20-Learning.html
Orton, S. (2003). Blending e-learning with curriculum design. Available at http://www.swap.ac.uk/elearning/using3.asp
Nicholson, M.J. (2003). Models of Blended eLearning. Available at http://iit.bloomu.edu /etraining/Models/models.htm
English to Indonesian translation
Pembentukan SIKAP DAN PERILAKU BERDASARKAN KURIKULUM TEKNOLOGI INFORMASI MELALUI SISTEM INFORMASI DALAM PENDIDIKAN
Sebuah Studi Kasus di Subjek Pengembangan Kurikulum di gelar Magister, Universitas Pendidikan Indonesia.

Dr Hansiswany Kamarga, M.Pd.,
Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia

Abstrak:
Penelitian ini berkaitan dengan penggunaan dicampur & e-learning untuk mengembangkan sikap dan perilaku berbasis teknologi informasi pada Program Magister Pengembangan Kurikulum. Di satu sisi, kurikulum Program Magister Pengembangan Kurikulum memerlukan pencapaian penguasaan teknologi informasi, namun di sisi lain mayoritas siswa merasa asing dengan teknologi informasi itu sendiri dan mereka tidak merasakan dorongan untuk belajar karena di mana mereka datang dari teknologi internet belum diperbaiki sehingga tidak memiliki infrastruktur yang ideal belum. Dasar dari penelitian ini adalah penggunaan dicampur & e-learning, menggabungkan pengetahuan tentang teknologi informasi, keterampilan dalam mencari sumber belajar dan mengembangkan pembelajaran berbasis teknologi informasi, memungkinkan penelitian ini secara kualitatif diukur apakah sikap dan perilaku berdasarkan informasi teknologi dalam membentuk siswa.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengamati pembentukan sikap dan perilaku berbasis teknologi informasi setelah melakukan pembelajaran dengan menggunakan model dicampur dan e-learning.
Dalam rangka mencapai tujuan kami, penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif studi kasus. Jenis pembelajaran yang digunakan dalam penelitian ini dicampur & e-learning, menggabungkan model tatap muka (konvensional), penggunaan internet di kelas (sinkron), dan pembelajaran jarak jauh (asynchronous). Proporsi dalam kegiatan pembelajaran adalah pengetahuan 40% dan 60% keterampilan. Pengetahuan pembelajaran difokuskan pada pengetahuan langsung yang terhubung dengan penggunaan teknologi informasi, sedangkan keterampilan pembelajaran difokuskan pada sumber mencari dan mengembangkan teknologi informasi berbasis model pembelajaran. Penelitian's disain yang menggunakan penyelidikan pendekatan naturalistik, di mana aspek perilaku siswa terhadap pembelajaran dengan menggunakan teknologi informasi, siswa perilaku terhadap penggunaan teknologi informasi, siswa keterampilan dalam mencari sumber informasi di internet (browsing), siswa keterampilan dalam mengembangkan pembelajaran berdasarkan teknologi informasi, diukur oleh pelaksanaan dicampur dan e-model pembelajaran. Subyek dalam penelitian ini adalah 18 mahasiswa yang mendaftar dalam subjek Sistem Informasi Pendidikan. Instrumen yang digunakan adalah lembar observasi, tes, dan tugas terstruktur. Data yang dikumpulkan selama penelitian dan dianalisis melalui pendekatan kualitatif.
Hasil yang dicapai melalui penelitian ini adalah membentuk sikap siswa dan perilaku yang berbasis pada teknologi informasi. Hal ini dapat dibuktikan dengan kebutuhan mahasiswa terhadap internet, baik untuk menemukan sumber belajar, berkomunikasi, atau mengembangkan berbagai model pembelajaran. Pembentukan sikap ini perubahan pola pikir siswa dari tergantung pada transfer pengetahuan (salah satu cara dari dosen untuk siswa) untuk transaksi pengetahuan, di mana ketika siswa merasa perlu mereka akan mencari ke sumber sendiri. Ini menjelaskan pola belajar konstruktif.
Singkatnya, sikap siswa dan perilaku terhadap teknologi informasi akan berubah seiring dengan pengetahuan dan pengalaman yang mereka dapatkan melalui dicampur & e-learning. Dengan perubahan sikap dan perilaku terhadap teknologi informasi, penyebaran teknologi informasi akan lebih mudah dan bermakna karena pola belajar akan terjadi dalam dua cara. Hasil penelitian ini merekomendasikan kami dalam mempertimbangkan penggunaan dicampur & e-model pembelajaran dalam mata pelajaran sekolah sebagai alternatif jika kita ingin mengubah pola pembelajaran ke dalam pola transaksi.

Kata Kunci:
Sikap dan perilaku, pengalaman, teknologi informasi, dicampur dan e-learning

Pengenalan
Fenomena kemajuan ekonomi di Asia Timur pada dasarnya menyatukan terhadap faktor prestasi dalam melakukan diversifikasi produk berbasis pada permintaan pasar, kemampuan penguasaan teknologi cepat melalui reverse engineering (misalnya clone komputer), jumlah tabungan masyarakat, pendidikan yang baik, dan etos kerja (Ade Cahyana , 1998). Orang-orang, perusahaan, atau negara-negara yang memiliki pendidikan, keahlian, penciptaan, dan efisien menyebar pendidikan akan mendapatkan kesempatan pertama dalam kompetisi global dewasa ini (Cisco, 2001). Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan berorientasi pada penguasaan teknologi adalah suatu keharusan.
Seiring dengan perkembangan inovasi di bidang teknologi informasi, pendidikan dan sumber belajar menjadi sangat mudah. Inovasi ini telah mengubah paradigma pendidikan dari keuntungan konstan pengetahuan dan keterampilan setelah tahap pendidikan terhadap paradigma cepat berubah pengetahuan dan keterampilan. Kemajuan teknologi pembelajaran yang didukung oleh perkembangan di bidang teknologi informasi dan komunikasi mempercepat pendidikan untuk mengembangkan lebih cepat sesuai dengan kebutuhan pendidikan dalam mencapai masyarakat basis pengetahuan.
Di era globalisasi, kesempatan suatu negara untuk memiliki dan kesinambungan pertumbuhan yang tinggi akan mendapatkan lebih tinggi jika didukung oleh sumber daya manusia yang memiliki pengetahuan dan keterampilan dasar untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan kemajuan, pendidikan tinggi, keterampilan latar belakang pengetahuan dan teknologi, dan kemampuan untuk menghasilkan produk yang mampu bersaing dalam skala global, baik dalam kualitas dan harga.
Indonesia akan mengalami kesulitan untuk menggunakan kesempatan sebagai menjelaskan di atas jika mereka tidak memberikan perhatian yang lebih baik di bidang pendidikan. Pendidikan krisis di Indonesia, dilihat dari kualitas, menyebarkan, atau efisiensi lain dalam penanganan, telah berlangsung terlalu lama. Objektif, sistem pendidikan Indonesia telah melalui krisis kualitas sejak pertengahan 1970, ketika pola dalam pengembangan pendidikan dilakukan dalam birokrasi dan sentralisasi, yang membahayakan sumber daya manusia (Ace Suryadi, 1998). Satu contoh nyata adalah prestasi siswa yang jauh di belakang standar internasional. Salah satu faktor penyebab rendahnya tingkat pendidikan adalah kurangnya pembangunan di fasilitas pendidikan. Hal ini menyebabkan siswa kurang pengalaman. Selain keterbatasan fasilitas, dorongan guru untuk mengembangkan inovasi dalam pendidikan masih rendah (Hansiswany Kamarga, 2007). Berdasarkan kondisi tersebut, perlu untuk memperbaiki pendidikan di Indonesia, dan satu aspek memiliki potensi untuk dikembangkan adalah melalui pendidikan berbasis teknologi informasi.
Ada beberapa alasan mengapa perlu untuk mengembangkan teknologi informasi pendidikan dasar di Indonesia. Pertama, kenyataan bahwa pendidikan merupakan media untuk mengembangkan sumber daya manusia menyadari sepenuhnya, namun tanpa ketersediaan fasilitas yang sangat ideal pernyataan di atas akan apa-apa selain hanya pernyataan di atas kertas. fasilitas fisik pendidikan di Indonesia sangat terbatas, sementara jumlah sumber daya manusia yang membutuhkan pembangunan pendidikan meningkat yang membuat teknologi informasi dasar pengembangan pendidikan (misalnya pengembangan pendidikan jarak jauh) telah menjadi kebutuhan yang sangat. Kedua, pembangunan industri perlu memperbaiki sumber daya manusia, yang menyebabkan permintaan variasi lebih dalam fasilitas pendidikan. Keterbatasan dalam sarana fisik pendidikan konvensional dan kurangnya kemungkinan untuk mencapai variasi yang lebih dalam pendidikan sesuai dengan kebutuhan pasar telah menyebabkan kualitas pendidikan di Indonesia tertinggal. Ketiga, pengembangan sistem pendidikan berbasis teknologi informasi akan mempercepat kesempatan memperoleh pendidikan di samping memperbaiki kualitas pendidikan itu sendiri. Keempat, berbagai kondisi geografis Indonesia, mulai dari kota ke daerah sepi dibagi dengan selat banyak dan laut, serius perlu mempertimbangkan pembangunan di basis pendidikan teknologi informasi, karena seperti pembangunan pendidikan sistem akan sangat membantu dalam penyebaran dan memperbaiki pendidikan di Indonesia .
Meskipun telah teridentifikasi bahwa teknologi informasi pembangunan pendidikan dasar diperlukan di Indonesia, dalam kehidupan nyata itu sebaliknya. Mayoritas, mahasiswa master berasal dari berbagai wilayah di Indonesia, dan sebagian besar dari mereka masih kurangnya pengetahuan dan keterampilan teknologi informasi, beberapa bahkan masih asing dalam menggunakan komputer. Di satu sisi, kurikulum dalam program Pengembangan Kurikulum magisterial tuntutan keterampilan siswa untuk menggunakan teknologi informasi dan mengembangkan pembelajaran yang berbasis teknologi informasi, namun pada kenyataannya masih banyak siswa yang tidak tahu tentang teknologi itu sendiri. Ini telah dilihat sebagai hambatan, yang memberikan masalah tentang bagaimana untuk membentuk sikap dan perilaku berbasis pada teknologi informasi melalui pembelajaran dalam rangka mencapai kebutuhan mahasiswa dalam keterampilan teknologi informasi.

Masalah dan Tujuan
Untuk mengatasi masalah diidentifikasi disebutkan di latar belakang, perlu untuk mencerna mengenai bagaimana merancang suatu pembelajaran yang mampu membimbing siswa dalam penguasaan teknologi informasi. Masuk lebih dalam, menguasai teknologi informasi lebih dari sekedar menguasai keterampilan, tetapi harus didasarkan pada perubahan pola pikir dalam pemikiran dasar informasi. Semacam itu menetapkan pikiran dapat diamati melalui pembentukan perilaku dan sikap yang berbasis pada teknologi informasi. Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini difokuskan pada Bagaimana pelaksanaan kurikulum Sistem Informasi Pendidikan dirancang untuk mencapai perilaku dan sikap siswa teknologi informasi? Fokus penelitian adalah dikembangkan dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut.
Apakah pembelajaran melalui dicampur & e-learning dapat membentuk perilaku dasar teknologi informasi dan sikap?

1.
Macam apa dicampur & e-learning model pembelajaran yang digunakan dalam penelitian ini?
2.
Bagaimana hasil yang dicapai?
3.
Bagaimana mengidentifikasi pembentukan perilaku dasar teknologi informasi dan sikap melalui penelitian ini?

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menjawab permasalahan yang terintegrasi dengan pembentukan perilaku dasar teknologi informasi dan sikap. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menggambarkan model dicampur & e-learning pembelajaran yang digunakan dalam penelitian ini
2. Mendapatkan hasil belajar dicapai
3. Mendapatkan tampilan keseluruhan perilaku dasar teknologi informasi dan sikap yang telah dibentuk melalui penelitian ini.

Metode Penelitian
Untuk mencapai tujuan tersebut, penelitian sedang dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif studi kasus.
Belajar model yang digunakan dalam penelitian ini dicampur & e-model pembelajaran, terintegrasi antara:

* muka dengan muka model di kelas (konvensional)
* Menggunakan internet di kelas (sinkron), dan
* Menggunakan pembelajaran jarak jauh (asynchronous).

Belajar adalah pengetahuan proporsi 40% dan 60% keterampilan. Pengetahuan pembelajaran difokuskan pada pengetahuan langsung terhubung ke penggunaan teknologi informasi, sedangkan keterampilan pembelajaran difokuskan untuk menemukan sumber informasi dan mengembangkan model pembelajaran berbasis teknologi.
Desain penelitian ini menggunakan pendekatan naturalistik penyelidikan di mana aspek sikap siswa terhadap pembelajaran dengan menggunakan teknologi informasi, siswa perilaku terhadap penggunaan teknologi informasi, siswa keterampilan dalam menemukan sumber informasi di internet (browsing), dan keterampilan siswa dalam mengembangkan dasar teknologi belajar diukur melalui penerapan model dicampur & e-learning. Subjek penelitian ini (responden) adalah kelas dari 17 siswa yang mengambil Sistem Informasi dalam kurikulum Pendidikan.
Dalam penelitian ini, instrumen yang digunakan adalah lembar observasi, tugas terstruktur, hasil pengujian, dan data sedang dikumpulkan di seluruh penelitian dan dianalisis dengan menggunakan pendekatan kualitatif, yang berarti incoming data dianalisis secara lugas. Menjelaskan hasil observasi kelas dan tugas mahasiswa sedang dilakukan melalui analisis kualitatif terus menerus memungkinkan kita untuk melihat perubahan yang terjadi. Data hasil belajar yang dihasilkan dengan menggunakan teknik profil yang memungkinkan kita untuk menggambarkan keseluruhan dari hasil belajar siswa.

Hasil Penelitian
1. Blended & e-learning yang sedang digunakan
Rancangan model dicampur & e-learning yang sedang digunakan adalah kombinasi dari teori 40% dan 60% praktek. Mahasiswa mengambil kelas di lab komputer, di mana setiap wajah siswa komputer dengan akses internet. Yang pertama lima kali digunakan oleh dosen untuk memberikan teori.
Cara kuliah dirancang adalah kegiatan berikut akan presentasi di mana topik tentang pemahaman komputer sebagai alat pembelajaran, multimedia, pendidikan jarak jauh, dan belajar secara online. Keempat topik diberikan untuk membuat siswa berpikir dan menemukan sendiri pemahaman mereka terhadap teknologi informasi dasar berpikir konsep. Meskipun unsur-unsur utama dari topik ini diambil dari buku sumber daya (Heinich, et al, Instruksi Teknologi dan Media untuk Belajar, 2005), siswa masih diminta untuk menyelesaikan sisa unsur-unsur dengan mencari sumber-sumber melalui internet. Strategi yang digunakan dalam ini bagian dari pembelajaran adalah dengan menggunakan internet di kelas (sinkron).
Setelah mid semester, kuliah ini dirancang dengan presentasi kertas siswa yang membahas tentang berbagai model pembelajaran yang dapat ditingkatkan melalui pembelajaran berbasis teknologi informasi seperti halaman web, chatting, newsgroup, belajar dengan menggunakan e-book, e-news, e-kamus , e-laboratorium. Pada bagian ini mahasiswa diminta untuk mengembangkan kemampuan mereka untuk merancang basis teknologi informasi bentuk pembelajaran.
Dari tiga bentuk mendekati digunakan untuk satu semester kuliah, kita dapat melihat sebuah bentuk yang menjelaskan langkah-langkah belajar (a) transfer pengetahuan teknologi informasi di muka dengan muka dilakukan dengan cara konvensional di kelas, (b) belajar dengan memberikan pertanyaan siswa tugas untuk mencari informasi lebih luas mengenai konsep yang perlu dipahami dalam teknologi informasi dengan browsing internet, dan transaksi belajar dengan pola presentasi siswa yang menunjukkan kemampuan mereka untuk mengembangkan teknologi informasi pendidikan dasar.
Proses Belajar
Untuk pengenalan teori, sebuah metode ceramah diberikan di kelas dengan topik sebagai berikut: Konsep Dasar Informasi, Konsep Dasar Sistem dan Sistem Informasi, Pengembangan Teknologi Internet dan Masalah ditemukan dalam penulisan ilmiah di internet, E-pendidikan dan elektronik sistem pendidikan.
Untuk pengenalan praktek tentang hal-hal yang digunakan ketika mengakses internet, dengan menggunakan metode praktek akses internet siswa diminta untuk membuat account email, mengembangkan milis yang anggotanya adalah seluruh siswa di kelas sehingga mereka dapat berkomunikasi pada waktu yang sama.
Keterampilan yang dikembangkan selama penggunaan internet di kelas adalah (a) berkomunikasi melalui email, (b) berkomunikasi melalui mailing list, (c) browsing internet untuk menemukan artikel yang berhubungan dengan tugas pembuatan bibliografi beranotasi, tugas untuk membuat presentasi mengenai informasi dasar teknologi konsep berpikir, (d) mengembangkan model atau teknologi informasi dasar pendekatan pembelajaran.

* Mencapai hasil pembelajaran

Hasil yang dicapai selama satu kuliah semester ini yang menunjukkan grafik meningkat hasil belajar siswa. (Suatu bibliografi) Annotated adalah hasil dicapai pada awal kelas di mana siswa diminta untuk melakukan browsing dalam mencari artikel yang terkait dengan unsur-unsur bibliografi beranotasi mereka. (B) Presentasi hasil prestasi belajar siswa yang diperoleh melalui pemahaman terhadap topik ke basis teknologi informasi berpikir konsep. (C) storyboard adalah hasil dari pengembangan siswa terhadap teknologi informasi dasar model pembelajaran. (D) Ujian Akhir Semester adalah ujian akhir dicapai oleh mahasiswa. Secara keseluruhan hasilnya dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 1. Output Hasil Belajar
(Suatu bibliografi) Annotated (b) Presentasi

(C) storyboard model pembelajaran (d) Pemeriksaan

Jika digambarkan seluruh perolehan, kita dapat melihat adanya peningkatan sebagai menunjukkan pada tabel berikut
Tabel 2. Output Whole Hasil Belajar
A = bibliografi beranotasi
P = presentasi
S = storyboard
E = Ujian
Dilihat dari waktu menandai dimana aspek bibliografi beranotasi, presentasi, storyboard, dan ujian akhir ini adalah tugas yang diberikan dalam urutan kronologis sejak awal sampai akhir semester, kita dapat melihat penurunan tanda dalam rentang skor 61-70 dan peningkatan dalam jangkauan menandai skor 81-90.

* Pembentukan sikap dan perilaku berbasis teknologi informasi

Sikap dan perilaku berbasis teknologi informasi ini yang dinilai dari pengamatan selama kuliah. Dengan asumsi bahwa pada awalnya ada sedikit siswa memiliki kemampuan untuk menggunakan teknologi informasi, setelah satu periode kuliah semester menunjukkan hasil sebagai berikut.

o aspek perilaku siswa terhadap pembelajaran dengan menggunakan teknologi informasi
o Setiap siswa menggunakan laptop selama kuliah di luar kuliah sistem informasi dalam pendidikan
o Setiap kali mereka menemukan konsep / frase yang tidak dipahami setelah menemukan bagi diri mereka sendiri melalui wikipedia.com atau internet
o Mereka mengakses materi kuliah melalui website dosen's
o Komunikasi yang dibangun melalui mailing list
o perilaku siswa terhadap penggunaan teknologi informasi
* Pembagian tugas yang dilakukan dengan menggunakan milis bukan foto copy
* Komunikasi dengan dosen dibangun melalui email
* Siswa yang luar kota sedang mengirim jawaban ujian mereka melalui email
o keterampilan siswa dalam mencari sumber informasi di internet (browsing)
* Melengkapi bibliografi beranotasi melalui sumber-sumber di internet
* Lebih dari 50% dari referensi yang digunakan untuk tugas berasal dari sumber-sumber di internet
o keterampilan siswa dalam mengembangkan dasar teknologi internet belajar
* Menggunakan webquest.com (interaktif)
* Majalah Mengembangkan virtual
* Mengembangkan situs belajar menggunakan pbwiki.com
* Mengembangkan kamus untuk bahasa lokal

Diskusi
Memperkenalkan Teknologi Informasi untuk siswa bukan hanya untuk melatih mereka dalam menggunakan Teknologi Informasi, tetapi yang pertama dan utama adalah untuk mengubah pikiran mereka ditetapkan untuk membuat mereka ingin menggunakan Teknologi Informasi dalam kehidupan akademik. Sangat mudah untuk melatih siswa dalam menggunakan komputer dan internet, tetapi untuk membentuk sikap dan perilaku (mengubah pola pikir) yang berbasis Teknologi Informasi tidak mudah. Misalnya, dalam pelatihan siswa untuk membuka kotak surat, menulis dan mengirimkan email tidak sulit, tetapi bentuk sikap dan perilaku siswa dalam untuk membuka kotak surat sehari-hari mereka, komunikasi dilakukan melalui email, tidak mudah.
Ari Wibowo (2006: 1) menjelaskan bahwa hasil penelitian adalah Informasi Transfer, Skill Akuisisi, Perubahan model mental, sedangkan dalam merancang pelajaran atau kurikulum memerlukan korespondensi antara sasaran belajar dan model pembelajaran. Studi model dapat diklasifikasikan menjadi Instruktur Centered, Learner Centered, Belajar Tim Centered. Selanjutnya dijelaskan hubungan antara sasaran belajar dan model sebagai berikut

Berdasarkan gambar di atas, perubahan mental (dalam kasus ini menetapkan pikiran) dapat dilakukan jika studi jauh dari model yang berpusat pada guru dan lebih mengembangkan peserta didik belajar terpusat atau tim. Ide ini didasarkan pada filosofi konstruktivis yang mempunyai gagasan bahwa peserta didik tidak kosong kapal menunggu untuk diisi, melainkan sebagai organisme aktif mencari makna (Driscoll, 1994 di Hungs Chew Chang, 2007). Dalam hal ini Sherry (1996) memberikan penekanan pada strategi belajar bahwa praktek dipandu, media berbasis tantangan, belajar penyelidikan, dan kerja sama tim, yang membuat layak dikembangkan untuk mencapai target mahasiswa masuk akal dan konstruksi pengetahuan baru dari informasi yang disajikan. Itu bisa dikatakan bahwa pusat studi pada perolehan, siswa tidak hanya mentransfer pengetahuan tetapi lebih dari itu, mereka bisa mengubah mental atau belajar pola pikir.
Model dicampur & e-learning ini dirancang untuk memenuhi kebutuhan menguasai Teknologi Informasi dan sikap dasar bentuk dan perilaku pada Teknologi Informasi. Secara umum, blended learning istilah yang digunakan untuk menggambarkan solusi yang mengkombinasikan beberapa metode penyampaian yang berbeda. Ini bisa menjadi campuran bahkan kegiatan berbasis berbagai seperti tatap muka kelas, hidup e-learning dan berbagi perangkat lunak, dan pembelajaran swa-mondar-mandir. Beberapa orang menganggap blended e-learning untuk penggunaan berbagai metode penyampaian online untuk menyajikan konten dan aktivitas untuk pelajar. Jadi dengan pendekatan ini, seluruh kursus masih tetap online, tetapi menggunakan campuran bahan untuk menyajikan konten. (Nicholson, 2003). Karena model ini mengumpulkan berbagai metode, sehingga memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk memperluas lebih optimal, baik melalui studi terstruktur atau melalui studi dengan pendekatan inkuiri.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan langkah-langkah terstruktur dan berkesinambungan, dimulai dari pengakuan dalam sikap teoritis kemudian dilanjutkan dengan pengakuan dalam praktek, dan terbiasa menggunakan Teknologi Informasi, maka akan terbentuk dan perilaku siswa yang berbasis Teknologi Informasi. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya kesesuaian antara apa yang Ari Wibowo mengatakan dengan teori konstruktivis, itu berarti bahwa penelitian yang dirancang dengan pusat mahasiswa dan dikembangkan melalui pendekatan inkuiri akan memberikan mempengaruhi pembentukan sikap dan perilaku.
Pembentukan sikap ini adalah perubahan cara berpikir mahasiswa dari yang awalnya diharapkan transfer pengetahuan (dari dosen ke mahasiswa dalam satu arah) pengetahuan transaksi menjadi, yaitu jika mahasiswa merasa bahwa penting bagi mereka untuk mencari sumbernya, sebagai cara yang sama sebagai yang mengatakan Chew Chang Hung (2007: 8), konstruktivisme berada premis mendasar bahwa peserta didik secara aktif membangun pengetahuan mereka. Selain itu mahasiswa,, dengan model studi dicampur & e-learning tidak hanya memiliki keterampilan untuk menggunakan Teknologi Informasi, tetapi lebih dari itu, mereka bisa berpikir, berperilaku, dan perilaku yang berbasis Teknologi Informasi, seperti yang diungkapkan oleh Chew Chang Hung ( 2007: 8), pelajar mengembangkan wawasan kritis tentang bagaimana mereka berpikir, dan apa yang mereka ketahui tentang dunia berkembang, sebagaimana pemahaman mereka meningkat secara mendalam dan detail.

Kesimpulan
Itu dapat disimpulkan bahwa sikap dan perilaku mahasiswa terhadap Teknologi Informasi akan berubah seiring dengan pengetahuan dan pengalaman yang mereka miliki melalui dicampur & e-learning belajar. Dengan perubahan sikap dan perilaku mahasiswa terhadap Teknologi Informasi, Teknologi Informasi penyebaran akan lebih mudah dan memiliki arti karena studi pola yang terjadi adalah pola dua arah. Hasil penelitian ini merekomendasikan bahwa jika kita ingin merubah / mengubah pola studi ke dalam pola transaksi, penggunaan model dicampur & e-learning melalui salah satu tentu saja menjadi alternatif dibenarkan.

Referensi

Ace Suryadi, (1998). Bangsa Manajemen Pendidikan Nasional Menuju Kemandirian: Gagasan Awal. Tersedia di http://www.pdk.go.id/Kajian/Kajian14/ace14.htm
Ade Cahyana (1998). Tujuan Pembangunan Pendidikan untuk Artikel: Mencari Alternatif Reformasi Pembangunan Pendidikan. Tersedia di http://www.pdk.go.id/Kajian/ Kajian14/ade14.htm
Hansiswany Kamarga (2007). Pengembangan Belajar Jarak Jauh dengan Dual Mode di Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, Kertas.
Heinich, R. et al. (2005). Instructional Technology dan Media untuk Belajar. Edisi Kedelapan. New Jersey: Pearson Merrill Prentice Hall.
Chew Chang Hung. (2007). Melibatkan Belajar Melalui Internet: WebQuests di Kelas Humaniora. Singapura: Pearson Prentice Hall.
FX Ari Wibowo (2006). Didistribusikan Belajar: Konsep Teleeducation berlangganan My. Tersedia di% http://www.gematel.com/qanews/qanewsonline/edisi% 20VI/Distributed 20-Learning.html
Orton, S. (2003). Memadukan e-learning dengan rancangan kurikulum. Tersedia di http://www.swap.ac.uk/elearning/using3.asp
Nicholson, M.J. (2003). Blended eLearning model. Tersedia di http://iit.bloomu.edu / etraining / Model / models.htm
Makalah disampaikan dalam AISHL International Conference, Bangkok, April 2008