15 November 2009

SEJARAH ASAL USUL NAMA TANGERANG DAN WALIKOTA TANGERANG

SEJARAH ASAL USUL NAMA TANGERANG DAN WALIKOTA TANGERANG

A. ASAL USUL NAMA TANGERANG

Nama Tangerang menurut sumber berita tidak tertulis berasal dari kata “Tangeran”, kata “Tangeran” dalam bahasa Sunda memiliki arti “tanda”. Tangeran di sini berupa tugu yang didirikan sebagai tanda batas wilayah kekuasaan Banten dan VOC, pada waktu itu.

Tangeran tersebut berlokasi dibagian barat Sungai Cisadane (Kampung Grendeng atau tepatnya di ujung jalan Otto Iskandar Dinata sekarang). Tugu tersebut dibangun oleh Pangeran Soegiri, salah satu putra Sultan Ageng Tirtayasa.

Pada tugu tersebut tertulis prasasti dalam huruf Arab gundul dengan dialek Banten, yang isinya sebagai berikut :

Bismillah peget Ingkang Gusti
Diningsun juput parenah kala Sabtu
Ping Gasal Sapar Tahun Wau
Rengsena Perang nelek Nangeran
Bungas wetan Cipamugas kilen Cidurian
Sakebeh Angraksa Sitingsung Parahyang-Titi

Artinya terjemahan dalam bahasa Indonesia :
Dengan nama Allah tetap Maha Kuasa
Dari kami mengambil kesempatan pada hari Sabtu
Tanggal 5 Sapar Tahun Wau
Sesudah perang kita memancangkan Tugu
Untuk mempertahankan batas Timur Cipamugas
(Cisadane) dan Barat yaitu Cidurian
Semua menjaga tanah kaum Parahyang

Kemudian kata “Tangeran” berubah menjadi “Tangerang” disebabkan pengaruh ucapan dan dialek dari tentara kompeni yang berasal dari Makasar. Orang-orang Makasar tidak mengenal huruf mati, akhirnya kata “Tangeran” berubah menjadi “Tangerang”.

Menurut kajian buku “Sejarah Kabupaten Tangerang” yang diterbitkan Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Tangerang bekerjasama dengan LPPM Unis Tangerang, daerah Tangerang sejak dulu telah mengenal pemerintahan. Cerita pemerintahan ini telah berkembang di masyarakat.

Cerita itu berawal dari tiga maulana yang diangkat oleh penguasa Banten pada waktu itu. Tiga Maulana kemudian mendirikan kota Tangerang itu adalah Yudhanegara, Wangsakara dan Santika. Pangkat ketiga Maulana tersebut adalah Aria.

Pemerintahan kemaulanaan yang menjadi pusat perlawanan terhadap penjajah di Tigaraksa (artinya pemimpin), mendirikan benteng, disepanjang tepi Sungai Cisadane. Kata “Benteng” ini kemudian menjadi sebutan kota Tangerang. Dalam pertempuran melawan VOC, maulana ini berturut-turut gugur satu persatu. Dengan gugurnya para maulana, maka berakhirlah pemerintahan kemaulanaan di Tangerang. Masyarakat mengangap pemerintahan kemaulanaan ini sebagai cikal bakal pemerintahan di Tangerang.

Untuk mengungkapkan asal-usul tangerang sebagai kota “Benteng”, diperlukan catatan yang menyangkut perjuangan. Menurut sari tulisan F. de Haan yang diambil dari arsip VOC,resolusi tanggal 1 Juni 1660 dilaporkan bahwa Sultan Banten telah membuat negeri besar yang terletak di sebelah barat sungai Untung Jawa, dan untuk mengisi negeri baru tersebut Sultan Banten telah memindahkan 5 sampai 6.000 penduduk.

Kemudian dalam Dag Register tertanggal 20 Desember 1668 diberitakan bahwa Sultan Banten telah mengangkat “Radin Sina Patij dan Keaij Daman” sebagai penguasa di daerah baru tersebut. Karena dicurigai akan merebut kerajaan, Raden Sena Pati dan Kyai Demang dipecat Sultan. Sebagai gantinya diangkat Pangeran Dipati lainnya. Atas pemecatan tersebut Ki Demang sakit hati. Kemudian tindakan selanjutnya ia mengadu domba antara Banten dan VOC. Tetapi ia terbunuh di Kademangan.

Dalam arsip VOC selanjutnya, yaitu dalam Dag Register tertanggal 4 Maret 1980 menjelaskan bahwa penguasa Tangerang pada waktu itu adalah ”Keaij Dipattij Soera Dielaga”. Kyai Soeradilaga dan putranya Subraja minta perlindungan kompeni dengan diikuti 143 pengiring dan tentaranya (keterangan ini terdapat dalam Dag Register tanggal 2 Juli 1982). Ia dan pengiringnya ketika itu diberi tempat di sebelah timur sungai, berbatasan dengan pagar kompeni.

Ketika bertempur dengan Banten, ia beserta ahli perangnya berhasil memukul mundur pasikan Banten. Atas jasa keunggulannya itu kemudian ia diberi gelar kehormatan Raden Aria Suryamanggala, sedangkan Pangerang Subraja diberi gelar Kyai Dipati Soetadilaga. Selanjutnya Raden Aria Soetadilaga diangkat menjadi Bupati Tangerang I dengan wilayah meliputi antara sungai Angke dan Cisadane. Gelar yang digunakannya adalah Aria Soetidilaga I. Kemudian dengan perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 17 April 1684, Tangerang menjadi kekuasaan kompeni, Banten tidak mempunyai hak untuk campur tangan dalam mengatur tata pemerintahan di Tangerang. Salah satu pasal dari perjanjian tersebut berbunyi: ”Dan harus diketahui dengan pasti sejauh mana batas-batas daerah kekuasaan yang sejak masa lalu telah dimaklumi maka akan tetap ditentukan yaitu daerah yang dibatasi oleh sungai Untung Jawa atau Tangerang dari pantai Laut Jawa hingga pegunungan-pegunungan sejauh aliran sungai tersebut dengan kelokan-kelokannya dan kemudian menurut garis lurus dari daerah Selatan hingga utara sampai Laut Selatan. Bahwa semua tanah disepanjang Untung Jawa atau Tangerang akan menjadi milik atau ditempati kompeni”

Dengan adanya perjanjian tersebut daerah kekuasaan bupati bertambah luas sampai sebelah barat sungai Tangerang. Untuk mengawasi Tangerang maka dipandang perlu menambah pos-pos penjagaan di sepanjang perbatasan sungai Tangerang, karena orang-orang Banten selalu menekan penyerangan secara tiba-tiba. Menurut peta yang dibuat tahun 1962, pos yang paling tua terletak di muara sungai Mookervaart, tepatnya disebelah utara Kampung Baru. Namun kemudian ketika didirikan pos yang baru, bergeserlah letaknya ke sebelah Selatan atau tepatnya di muara sungai Tangerang.

Menurut arsip Gewone Resolutie Van hat Casteel Batavia tanggal 3 April 1705 ada rencana merobohkan bangunan-bangunan dalam pos karena hanya berdinding bambu. Kemudian bangunannya diusulkan diganti dengan tembok. Gubernur Jenderal Zwaardeczon sangat menyetujui usulan tersbut, bahkan diinstruksikan untuk membuat pagar tembok mengelilingi bangunan-bangunan dalam pos penjagaan. Hal ini dimaksudkan agar orang Banten tidak dapat melakukan penyerangan. Benteng baru yang akan dibangun untuk ditempati itu direncanakan punya ketebalan dinding 20 kaki atau lebih. Disana akan ditempatkan 30 orang Eropa dibawah pimpinan seorang Vandrig(Peltu) dan 28 orang Makasar yang akan tinggal diluar benteng. Bahan dasar benteng adalah batu bata yang diperoleh dari Bupati Tangerang Aria Soetadilaga I.

Setelah benteng selesai dibangun personilnya menjadi 60 orang Eropa dan 30 orang hitam. Yang dikatakan orang hitam adalah orang-orang Makasar yang direkrut sebagai serdadu kompeni. Benteng ini kemudian menjadi basis kompeni dalam menghadapi pemberontakan dari Banten. Kemudian pada tahun 1801, diputuskan untuk memperbaiki dan memperkuat pos atau garnisun itu, dengan letak bangunan baru 60 roeden agak ke tenggara, tepatnya terletak disebelah timur Jalan Besar pal 17. Orang-orang pribumi pada waktu itu lebih mengenal bangunan ini dengan sebutan ”Benteng”. Sejak itu, Tangerang terkenal dengan sebutan Benteng. Benteng ini sejak tahun 1812 sudah tidak terawat lagi, bahkan menurut ”Superintendant of Publik Building and Work” tanggal 6 Maret 1816 menyatakan: ”...Benteng dan barak di Tangerang sekarang tidak terurus, tak seorangpun mau melihatnya lagi. Pintu dan jendela banyak yang rusak bahkan diambil orang untuk kepentingannya”

Kabupaten Tangerang sejak ratusan tahun lalu sudah menjadi daerah perlintasan perniagaan, perhubungan sosial dan interaksi antardaerah lain. Hal ini, disebabkan letak daerah ini yang berada di dua poros pusat perniagaan Jakarta - Banten.

Berdasarkan catatan sejarah, daerah ini sarat dengan konflik kepentingan perniagaan dan kekuasaan wilayah antara Kesultanan Banten dengan Penjajah Belanda.

Secara tutur-tinular, masa pemerintahan pertama secara sistematis yang bisa diungkapkan di daerah dataran ini, adalah saat Kesultanan Banten yang terus terdesak agresi penjajah Belanda lalu mengutus tiga maulananya yang berpangkat aria untuk membuat perkampungan pertahanan di Tangerang.

Ketiga maulana itu adalah Maulana Yudanegara, Wangsakerta dan Santika. Konon, basis pertahanan merka berada di garis pertahanan ideal yang kini disebut kawasan Tigaraksa dan membentuk suatu pemerintahan. Sebab itu, di legenda rakyat cikal-bakal Kabupaten Tangerang adalah Tigaraksasa [sebutan Tigaraksasa, diambil dari sebutan kehormatan kepada tiga maulana sebagai tiga pimpinan = tiangtiga = Tigaraksa].

Pemerintahan ketiga maulana ini, pada akhirnya dapat ditumbangkan dan seluruh wilayah pemerintahannya dikuasai Belanda, berdasar catatan sejarah terjadi tahun 1684. Berdasar catatan pada masa ini pun, lahir sebutan kota Tangerang. Sebutan Tangerang lahir ketika Pangeran Soegri, salah seorang putra Sultan Ageng Tirtayasa dari Kesultanan Banten membangun tugu prasasti di bagian barat Sungai Cisadane [diyakini di kampung Gerendeng, kini].

Tugu itu disebut masyarakat waktu itu dengan Tangerang [bahasa Sunda=tanda] memuat prasasti dalam bahasa Arab Gundul Jawa Kuno, "Bismillah peget Ingkang Gusti/Diningsun juput parenah kala Sabtu/Ping Gangsal Sapar Tahun Wau/ Rengsenaperang netek Nangeran/Bungas wetan Cipamugas kilen Cidurian/Sakabeh Angraksa Sitingsun Parahyang"

Arti tulisan prasasti itu adalah: "Dengan nama Allah tetap Yang Maha Kuasa/Dari kami mengambil kesempatan pada hari Sabtu/Tanggal 5 Sapar Tahun Wau/Sesudah perang kita memancangkan tugu/Untuk mempertahankan batas timur Cipamugas [Cisadane] dan barat Cidurian/ Semua menjaga tanah kaum Parahyang"

Diperkirakan sebutan Tangeran, lalu lama-kelamaan berubah sebutan menjadi Tangerang.
Desakan pasukan Belanda semakin menjadi-jadi di Banten sehingga memaksa dibuatnya perjanjian antar kedua belah pihak pada 17 April 1684 yang menjadikan daerah Tangerang seluruhnya masuk kekuasaan Penjajah Belanda. Sebagai wujud kekuasaannya, Belanda pun membentuk pemerintahan kabupaten yang lepas dari Banten dengan dibawah pimpinan seorang bupati.

Para bupati yang sempat memimpin Kabupaten Tangerang periode tahun 1682 - 1809 adalah Kyai Aria Soetadilaga I-VII. Setelah keturunan Aria Soetadilaga dinilai tak mampu lagi memerintah kabupaten Tangerang dengan baik, akhirnya penjajah Belanda menghapus pemerintahan di daerah ini dan memindahkan pusat pemerintahan ke Jakarta.

Lalu, dibuat kebijakan sebagian tanah di daerah itu dijual kepada orang-orang kaya di Jakarta, sebagian besarnya adalah orang-orang Cina kaya sehingga lahir masa tuan tanah di Tangerang.

Pada 8 Maret 1942, Pemerintahan Penjajah Belanda berakhir di gantikan Pemerintahan Penjajah Jepang. Namun terjadi serangan sekutu yang mendesak Jepang di berbagai tempat, sebab itu Pemerintahan Militer Jepang mulai memikirkan pengerahan pemuda-pemuda Indonesia guna membantu usaha pertahanan mereka sejak kekalahan armadanya di dekat Mid-way dan Kepulauan Solomon.

Kemudian pada tanggal 29 April 1943 dibentuklah beberapa organisasi militer, diantaranya yang terpenting ialah Keibodan [barisan bantu polisi] dan Seinendan [barisan pemuda]. Disusul pemindahan kedudukan Pemerintahan Jakarta Ken ke Tangerang dipimpin oleh Kentyo M Atik Soeardi dengan pangkat Tihoo Nito Gyoosieken atas perintah Gubernur Djawa Madoera. Adapun Tangerang pada waktu itu masih berstatus Gun atau kewedanan berstatus ken (kabupaten).

Berdasar Kan Po No. 34/2604 yang menyangkut pemindahan Jakarta Ken Yaskusyo ke Tangerang, maka Panitia Hari Jadi Kabupaten Tangerang menetapkan terbentuknya pemerintahan di Kabupaten Tangerang. Sebab itu , kelahiran pemerintahan daerah ini adalah pada tanggal 27 Desember 1943. Selanjutnya penetapan ini dikukuhkan dengan Peraturan Daerah Tingkat II Kabupaten Tangerang Nomor 18 Tahun 1984 tertanggal 25 Oktober 1984.

Dalam masa-masa proklamasi, telah terjadi beberpa peristiwa besar yang melibatkan tentara dan rakyat Kabupaten Tangerang dengan pasukan Jepang dan Belanda, yaitu Pertempuran Lengkong dan Pertempuran Serpong.

Pertumbuhan perekonomian Kabupaten Tangerang sebagai daerah lintasan dan berdekatan dengan Ibukota Negara Jakarta melesat pesat. Apalagi setelah diterbitkannya Inpres No.13 Tahun 1976 tentang pengembangan Jabotabek, di mana kabupaten Tangerang menjadi daerah penyanggah DKI Jakarta.

Tanggal 28 Pebruari 1993 terbit UU No. 2 Tahun 1993 tentang Pembentukan Kota Tangerang. Berdasarkan UU ini wilayah Kota Administratif Tangerang dibentuk menjadi daerah otonomi Kota Tangerang, yang lepas dari Kabupaten Tangerang. Berkaitan itu terbit pula Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1995 tentang pemindahan Ibukota Kabupaten Dati II Tangerang dari Wilayah Kotamadya Dati II Tangerang ke Kecamatan Tigaraksa.

Akhirnya, pada awal tahun 2000, pusat pemerintahan Kabupaten Tangerang pun di pindahkan Bupati H. Agus Djunara ke Ibukota Tigaraksa. Pemindahan ini dinilai strategis dalam upaya memajukan daerah karena bertepatan dengan penerapan otonomi daerah, diberlakukannya perimbangan keuangan pusat dan daerah, adanya revisi pajak dan retribusi daerah, serta terbentuknya Propinsi Banten.



B. SEJARAH WALIKOTA TANGERANG

H. Wahidin Halim, lahir pada tanggal 14 Agustus 1954 di Kampung Pinang Tangerang. Sebuah tempat yang jauh dari hikuk pikuk keramaian Kota.Dia adalah putra ketiga dari sembilan bersaudara. Putera pasangan H. Djiran Bahjuri dan Siti Rohana ini, bersama saudara lainnya, dibesarkan di lingkungan yang terbilang sederhana. Ayahnya hanya berprofesi sebagai guru SD di Poris Plawad sedangkan ibunya tidak lebih dari ibu rumah tangga biasa.

Ketika duduk di bangku SD, seusai pulang sekolah, Wahidin banyak menghabiskan waktunya untuk menggembala kerbau. Rutinitas itu dilakukannya tanpa sedikitpun keluhan. Dia selalu riang gembira, sekalipun kerbau yang digembalakan cukup jauh rutenya. Mulai dari rumahnya di Pinang hingga ke sekitar Bandara Soekarno-Hatta, Selapajang, Rawalele ataupun Rawabokor. Di sela-sela mengembala kerbau, Wahidin bersama teman-temannya kerapkali bersenang-senang, mandi di Kali Angke yang kala itu airnya masih bening dan bersih. Kegiatan lain selain menggembala, Wahidin kecil turut serta membantu orang-tuanya menjual hasil pertanian seperti cabe yang baru dipanen dari sejumlah petani ke Pasar Anyar. “Sekitar tahun 65 dan 70-an, Ayah saya bersama tetangga, kalau panen cabe menjualnya ke pasar“, kenangnya.

Ada sebuah kenangan yang membekas di benaknya, yaitu ketika duduk di bangku SMP, dia pernah merasakan belajar sambil berdiri di ruang kelas, karena tidak ada bangku. Saking ingin mendapatkan kenyamanan dalam belajar, dia terpaksa membawa bangku milik orang-tuanya yang sudah tidak layak pakai ke sekolah. Bahkan terkadang dijumpai Wahidin terkantuk-kantuk dalam mengikuti pelajaran di sekolah, hal itu disebabkan kurang tidur, selepas dini harinya mengantar cabe ke Pasar Anyar.

Di lingkungan keluarga, Wahidin termasuk orang yang cukup dekat dengan keluarga. Salah satunya dengan Hasan Wirayudha, yang sekarang menjadi Menteri Luar Negeri. Semasa kecil, keduanya cukup komunikatif, baik ketika di rumah, maupun bila sedang bermain. Pernah suatu ketika, keduanya asyik memandang pesawat terbang yang melintas di atas rumahnya. Mereka berdua berlarian mengejar kemana arahnya pesawat pergi. Ada terlontar ucapan Wahidin untuk minta duit dan kue, sedangkan kakaknya minta ikut pesawat itu. Ibunya lantas bilang “Gua doain supaya kelak dapat ikut ke luar negeri gratis, dan doa itu terkabul“, kenang Wahidin.

H. Djiran Bahjuri, ayahnya, selalu menanamkan nilai-nilai kejujuran kepada anak-anaknya dalam bersikap. Hal semacam itu menjadi pelajaran berharga bagi Wahidin. Tidak dibenarkan mengambil sesuatu yang sebenarnya milik orang lain menjadi milik pribadi. Ayahnya terkadang kalau hendak mengajar ke sekolah, membawa palu dan paku. Kalau ada bangku yang rusak, ayahnya tidak segan-segan untuk memperbaiki. Kedua orang tuanya sempat berpesan, agar ilmu yang dituntut Wahidin besaudara, dapat digunakan untuk kepentingan masyarakat luas. Jangan sampai mengambil harta negara untuk kepentingan pribadi. Mengabdi sepenuh hati dengan tulus ikhlas, sehingga mendatangkan manfaat dan barokah bagi semuanya. Demikian pesan orang tuanya yang hingga kini tetap terngiang-ngiang di telinga Wahidin.

Dia merasa beruntung dibesarkan dalam keluarga yang demokratis. Ibunya, meski sebatas ibu rumah tangga, namun cukup disiplin dan ulet dalam mendidik anak-anaknya. Kedisiplinan yang ditanamkan kedua orang tuanya ternyata membuahkan hasil. Sampai sekarang kedisiplinan itu menjadi prioritas bagi Wahidin.

Wahidin kecil memulai pendidikannya di SD Pinang, yang kala itu hanya berdinding bambu dan berlantai tanah. Wajar jika semasa itu ia tidak mengenal sepatu, layaknya anak sekolahan masa kini. Setamat SD, ia melanjutkan SMP di Ciledug. Baginya berjalan kaki setiap hari ke Ciledug merupakan keharusan, lantaran ayahnya tak juga mampu membelikan sepeda, bahkan sekedar sepatu sekalipun.

Selepas mengenyam pendidikan di SMU Tangerang (1972), dia melanjutkan studi ke Fakultas Ilmu Sosial Politik (FISIP) Universitas Indonesia (UI), jurusan Administrasi Negara. Sebelum ke UI, kakaknya sudah lebih dulu kuliah di sana, sehingga Wahidin ketika SMU, sering disuplai buku-buku pelajaran untuk jenjang orang kuliah.

Tahun 1978, di tengah perjalanan masa mudanya, ia didaulat oleh warga desanya untuk ikut pencalonan kepala desa. Tak disangka , ia kemudian terpilih sebagai kepala desa. Jadilah Wahidin muda seorang kepala desa termuda dan yang berpendidikan sarjana pertama di Tangerang; bahkan dengan status bujangan. Dari sinilah ia mulai mengenal makna “mengabdi” yang sesungguhnya.

Tiga tahun kemudian, menikah dengan gadis Jawa teman kuliahnya, dan hingga kini telah dikaruniai 3 orang anak. UU No. 5 tahun 1979 mengantarnya menjadi Pegawai Negeri. Dan saat itulah ia memulai karirnya sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil).Obsesi untuk mengabdi kepada masyarakat merupakan pilihannya, hingga ia tertuntut untuk berbuat lebih banyak lagi bagi masyarakatnya.

Menjadi Sek – Kota Administratif Tangerang, kemudian kabag di Kabupaten Tangerang, camat Tigaraksa, camat Ciputat, Kepala Dinas, asisten Pemkab Tangerang, sekda Kota Tangerang, dan kini Walikota Tangerang periode 2003 – 2008; merupakan perjalanan panjang karirnya. Itulah perjalanan panjang seorang pejabat karir yang sangat jarang dimiliki oleh orang lain. Bakat dan aktivitas sosialnya sangat kelihatan sejak kecil. Menjadi juara pidato tingkat anak – anak di desanya adalah prestasi yang mengawali keberadaannya di masyarakat.

Mencari rumput dan angon kerbau peliharaan sang ayah, atau mandi di kali angke menjadikannya terasah dalam menghadapi realitas kehidupan di sekitarnya, sekaligus mengajarinya banyak hal tentang arti kehidupan. Selain aktif mengkoordinir pemuda di kampungnya, saat kuliah ia juga mengkoordinir Remaja Masjid di kampusnya, menjadi pemimpin asrama mahasiswa, Ketua AMPI, pengurus KNPI. Bahkan di tengah kesibukannya sebagai Kepala Desa, ia juga masih menyempatkan diri untuk mengajar di SMP PGRI dan SMA di kampungnya. Ini ia lakukan semata untuk mengabdi kepada masyarakat.

Pola pendidikan demokratis yang pernah didapat dari kedua orangtuanya dulu, berlanjut kepada ketiga anaknya. “Saya bersikap demkratis di keluarga, sama halnya seperti ayah saya dulu. Saya tidak mendikte mereka harus sekolah kemana, mau ke pesantren atau mau dagang, silakan saja. Yang penting niat dan caranya dalam sekolah atau dagang dilakukan secara baik“, katanya.

Sebagai kepala keluarga, yang juga tokoh masyarakat, Wahidin mempunyai komitmen dengan keluarganya. Sebuah komitmen yang mengatur urusan keluarga dengan urusan publik, yang dibekali dengan sikap keterbukaan dan saling percaya. “Urusan kantor, keluarga tidak perlu tahu, begitupun kebalikannya. Perlu konsentrasi, karena saya juga milik masyarakat. Prinsipnya istri tidak perlu ikut campur dalam hal jabatan atau urusan kantor“, tegasnya.

Keluarga ikut mendukung sikapnya itu. Dia sendiri berupaya untuk tidak membawa persoalan kantor ke rumah. Segala sesuatunya ia pecahkan sendiri atau diselesaikan dengan ibadah. “Apa yang terbaik bagi saya, itu juga yang terbaik bagi keluarga. Sejauh ini keluarga tidak protes“, ucapnya mantap.

Menekuni agama melalui pengajian rutin tiap Rabu dan Jumat di rumahnya, serta mengikuti pengajian di daerahnya merupakan langkah yang ia sadari akan selalu menuntunnya ke kebenaran hakiki. Olah raga ditekuninya adalah sepak bola, badminton dan catur hingga kini. Jabatan sebagai pengurus dan manajer PERSITA, dan kini sebagai Ketua Umum PERSIKOTA adalah pengalaman organisasinya di bidang olah raga, yang mencuatkan namanya ke kancah persepakbolaan nasional. Kepedulian dirinya terhadap persoalan sosial, terutama dunia pendidikan, ia wujudkan dalam bentuk sebuah lembaga yakni Yayasan Kemanusiaan Nurani Kami pada tahun 1977. Yayasan ini sampai sekarang mampu memberikan beasiswa kepada 150 orang, mulai dari tingkat Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi.

Kemampuan intelektual, integritas moral, serta kepiawaian berkomunikasi dengan berbagai kalangan telah menjadikannya sebagai salah seorang birokrat yang sangat “diperhitungkan” oleh berbagai elemen masyarakat di Tangerang, termasuk ormas-ormas besar. Tetapi ia tetap saja bersahaja seperti ayahnya, “tuan guru” yang ia kagumi.

SUMBER :
Informasi dari : http://alumnistisipyuppentek.blogspot.com
http://bp3.blogger.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tulis Komentar Anda demi Perbaikan dan Kesempurnaan Blogs ini