26 Juni 2010

Pengertian Ilmu

DEFINISI ILMU
Sumber Utama :
http://manelaok.blogspot.com/2009/05/definisi-ilmu.html
You might also like:

LinkWithin
Label: Artikel
Definisi ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum sebab-akibat dalam suatu golongan masalah yang sama sifatnya, baik menurut kedudukannya (apabila dilihat dari luar), maupun menurut hubungannya (jika dilihat dari dalam).--Mohammad Hatta--
Definisi ilmu dapat dimaknai sebagai akumulasi pengetahuan yang disistematisasikan-------Suatu pendekatan atau metode pendekatan terhadap seluruh dunia empiris.Ilmu dapat diamati panca indera manusia ------- Suatu cara menganalisis yang mengizinkan kepada para ahlinya untuk menyatakan -suatu proposisi dalam bentuk: "jika,...maka..."--Harsojo, Guru Besar Antropolog, Universitas Pajajaran—
Definisi ilmu bergantung pada cara kerja indera-indera masing-masing individu dalam menyerap pengetahuan dan juga cara berpikir setiap individu dalam memroses pengetahuan yang diperolehnya. Selain itu juga, definisi ilmu bisa berlandaskan aktivitas yang dilakukan ilmu itu sendiri. Kita dapat melihat hal itu melalui metode yang digunakannya.
Sifat-sifat ilmu
Dari definisi yang diungkapkan Mohammad Hatta dan Harjono di atas, kita dapat melihat bahwa sifat-sifat ilmu merupakan kumpulan pengetahuan mengenai suatu bidang tertentu yang...
1. Berdiri secara satu kesatuan,
2. Tersusun secara sistematis,
3. Ada dasar pembenarannya (ada penjelasan yang dapat dipertanggung jawabkan disertai sebab-sebabnya yang meliputi fakta dan data),
4. Mendapat legalitas bahwa ilmu tersebut hasil pengkajian atau riset.
5. Communicable, ilmu dapat ditransfer kepada orang lain sehingga dapat dimengerti dan dipahami maknanya.
6. Universal, ilmu tidak terbatas ruang dan waktu sehingga dapat berlaku di mana saja dan kapan saja di seluruh alam semesta ini.
7. Berkembang, ilmu sebaiknya mampu mendorong pengetahuan-pengatahuan dan penemuan-penemuan baru. Sehingga, manusia mampu menciptakan pemikiran-pemikiran yang lebih berkembang dari sebelumnya.
Dari penjelasan di atas, kita dapat melihat bahwa tidak semua pengetahuan dikategorikan ilmu. Sebab, definisi pengetahuan itu sendiri sebagai berikut: Segala sesuatu yang datang sebagai hasil dari aktivitas panca indera untuk mengetahui, yaitu terungkapnya suatu kenyataan ke dalam jiwa sehingga tidak ada keraguan terhadapnya, sedangkan ilmu menghendaki lebih jauh, luas, dan dalam dari pengetahuan.
Mengapa ilmu hadir?
Pada hakekatnya, manusia memiliki keingintahuan pada setiap hal yang ada maupun yang sedang terjadi di sekitarnya. Sebab, banyak sekali sisi-sisi kehidupan yang menjadi pertanyaan dalam dirinya. Oleh sebab itulah, timbul pengetahuan (yang suatu saat) setelah melalui beberapa proses beranjak menjadi ilmu.
Bagaimanakah manusia mendapatkan ilmu?
Manusia diciptakan oleh Yang Maha Kuasa dengan sempurna, yaitu dilengkapi dengan seperangkat akal dan pikiran. Dengan akal dan pikiran inilah, manusia mendapatkan ilmu, seperti ilmu pengetahuan sosial, ilmu pertanian, ilmu pendidikan, ilmu kesehatan, dan lain-lain. Akal dan pikiran memroses setiap pengetahuan yang diserap oleh indera-indera yang dimiliki manusia.
Dengan apa manusia memperoleh, memelihara, dan meningkatkan ilmu?
Pengetahuan kaidah berpikir atau logika merupakan sarana untuk memperoleh, memelihara, dan meningkatkan ilmu. Jadi, ilmu tidak hanya diam di satu tempat atau di satu keadaan. Ilmu pun dapat berkembangManfaat ilmu bagi manusia tidak terhitung jumlahnya. Sejak Nabi Adam hingga sekarang, dari waktu ke waktu ilmu telah mengubah manusia dan peradabannya. Kehidupan manusia pun menjadi lebih dinamis dan berwarna.

FAEDAH ILMU
Manfaat ilmu bagi manusia tidak terhitung jumlahnya. Sejak Nabi Adam hingga sekarang, dari waktu ke waktu ilmu telah mengubah manusia dan peradabannya. Kehidupan manusia pun menjadi lebih dinamis dan berwarna.
Dengan ilmu, manusia senantiasa:
mencari tahu dan menelaah bagaimana cara hidup yang lebih baik dari sebelumnya,
menemukan sesuatu untuk menjawab setiap keingintahuannya,
menggunakan penemuan-penemuan untuk membantu dalam menjalani aktivitas sehari-hari.
Manusia pun menjadi lebih aktif mengfungsikan akal untuk senantiasa mengembangkan ilmu yang diperoleh dan yang dipelajarinya.
Selain itu berkat ilmu, manusia:
menjadi tahu sesuatu dari yang sebelumnya tidak tahu,
dapat melakukan banyak hal di berbagai aspek kehidupan,
menjalani kehidupan dengan nyaman dan aman,

24 Juni 2010

MEMAHAMI HAKIKAT GURU DAN MURID DALAM PROSES PEMBELAJARAN

MAKALAH FILSAFAT

“ MEMAHAMI HAKIKAT GURU DAN MURID
DALAM PROSES PEMBELAJARAN”

diajukan untuk memenuhi salah satu tugas
mata kuliah Filsafat Ilmu
Dosen Pengampu: Dr. H. Azis Mahfuddin, M.Pd.



O L E H

SULAEMAN, S.Pd
Nim.0908673

PROGRAM STUDI PENGEMBANGAN KURIKULUM
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2010
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan ke Hadirat Illahi Rabbi karena atas kehendak-Nya penyusunan makalah Memahami Hakikat Guru dan Murid dalam Proses Pembelajaran ini dapat diselesaikan.
Filsafat sebagai salah satu aspek yang melandasi pengembangan kurikulum tentu memiliki peran dan fungsi yang nyata dalam kurikulum yang akan dikupas dalam makalah Memahami Hakikat Guru dan Murid dalam Proses Pembelajaran yang diambil dari beberapa literatur.
Penyusunan makalah ini disadari masih jauh dari sempurna, dan masih terdapat banyak kekurangan di sana sini. Untuk itu segala macam kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai dapat diterima dengan lapang dada dan tangan terbuka.
Tak lupa juga penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Dr.H.Azis Mahpudin, M.Pd dan semua pihak yang telah berjasa membantu kami dalam menyelesaikan penyusunan makalah ini.
Akhir kata makalah ini diharapkan bisa memberikan kontribusi yang bermanfaat bagi dunia akademis penulis pada khususnya, dan bagi pengetahuan semua pihak yang membaca pada umumnya.
Serang, 28 Mei 2010
Penyusun

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Rumusan Masalah 6
C. Tujuan Penulisan 6
D. Prosedur Pemecahan Masalah 7
E. Sistematika Uraian 7
BAB II PEMBAHASAN
A. FILSAFAT 8
1. Pengertian Filsafat 4
2. Filsafat Pendidikan 5
3. Aliran-aliran Filsafat Pendidikan 8
B. Pengertian Pendidikan 15
C. Dasar dan Tujuan Pendidikan 19
D. Hakikat Guru 30
E. Hakikat Guru dalam Proses Pembelajaran 33
F. Hakikat Anak dalam Proses Pembelajaran 42
G. Anak dengan Problema Belajar 52
H. Faktor Penyebab Anak Mengalami Problema Belajar 54
I. Peran Guru dalam Pengembangan Rancangan Pembelajaran 62
J. Hakekat Hasil Belajar dan Aktivitas Siswa dalam Pembelajaran 66
K. Materi yang disampaikan dalam Proses Pembelajaran 67
L. Metode dalam Proses Pembelajaran 73
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan 75
B. Saran 76
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Pendidikan memiliki peran yang sangat penting dalam keseluruhan hidup manusia. Pendidikan berintikan interaksi antar manusia, terutama antara pendidik dan terdidik demi mencapai tujuan pendidikan. Dalam interaksi tersebut terlibat isi yang diinteraksikan serta proses bagaimana interaksi tersebut berlangsung. Apakah yang menjadi tujuan pendidikan, siapakah pendidik dan terdidik, apa isi pendidikan dan bagaimana proses interaksi pendidikan tersebut, merupakan pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan jawaban yang mendasar, yang esensial, yakni jawaban-jawaban filosofis.
Filsafat berperan memberikan inspirasi pada pendidikan, yakni menyatakan tujuan pendidikan negara bagi masyarakat, memberikan arah yang jelas dan tepat dengan mengajukan pertanyaan tentang kebijakan pendidikan dan praktik di lapangan dengan menggunakan rambu-rambu dari teori pendidik. Seorang guru perlu menguasai konsep-konsep yang akan dikaji serta pedagogi atau ilmu dan seni mengajar materi subyek terkait, agar tidak terjadi salah konsep pada diri peserta didik.
Secara harfiah, kata filsafat berasal dari kata Philo yang berarti cinta, dan kata Sophos yang berarti ilmu atau hikmah. Dengan demikian, filsafat berarti cinta cinta terhadap ilmu atau hikmah. Terhadap pengertian seperti ini al-Syaibani mengatakan bahwa filsafat bukanlah hikmah itu sendiri, melainkan cinta terhadap hikmah dan berusaha mendapatkannya, memusatkan perhatian padanya dan menciptakan sikap positif terhadapnya. Selanjutnya ia menambahkan bahwa filsafat dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat, dan berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia.
Selain itu terdapat pula teori lain yang mengatakan bahwa filsafat berasal dari kata Arab falsafah, yang berasal dari bahasa Yunani, Philosophia: philos berarti cinta, suka (loving), dan sophia yang berarti pengetahuan, hikmah (wisdom). Jadi, Philosophia berarti cinta kepada kebijaksanaan atau cinta kepada kebenaran atau lazimnya disebut Pholosopher yang dalam bahasa Arab disebut failasuf.
Sementara itu, A. Hanafi, M.A. mengatakan bahwa pengertian filsafat telah mengalami perubahan-perubahan sepanjang masanya. Pitagoras (481-411 SM), yang dikenal sebagai orang yang pertama yang menggunakan perkataan tersebut. Dari beberapa kutipan di atas dapat diketahui bahwa pengertian fisafat dar segi kebahsan atau semantik adalah cinta terhadap pengetahuan atau kebijaksanaan. Dengan demikian filsafat adalah suatu kegiatan atau aktivitas yang menempatkan pengetahuan atau kebikasanaan sebagai sasaran utamanya.
Filsafat juga memilki pengertian dari segi istilah atau kesepakatan yang lazim digunakan oleh para ahli, atau pengertian dari segi praktis. Selanjutnya bagaimanakah pandangan para ahli mengenai pendidikan dalam arti yang lazim digunakan dalam praktek pendidikan.Dalam hubungan ini dijumpai berbagai rumusan yang berbeda-beda. Ahmad D. Marimba, misalnya mengatakan bahwa pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si – terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama. Berdasarkan rumusannya ini, Marimba menyebutkan ada lima unsur utama dalam pendidikan, yaitu 1) Usaha (kegiatan) yang bersifat bimbingan, pimpinan atau pertolongan yang dilakukan secara sadar. 2) Ada pendidik, pembimbing atau penolong. 3) Ada yang di didik atau si terdidik. 4) Adanya dasar dan tujuan dalam bimbingan tersebut, dan. 5) Dalam usaha tentu ada alat-alat yang dipergunakan.
Sebagai suatu agama, Islam memiliki ajaran yang diakui lebih sempurna dan komprehensif dibandingkan dengan agama-agama lainnya yang pernah diturunkan Tuhan sebelumnya. Sebagai agama yang paling sempurna ia dipersiapkan untuk menjadi pedoman hidup sepanjang zaman atau hingga hari akhir. Islam tidak hanya mengatur cara mendapatkan kebahagiaan hidup di akhirat, ibadah dan penyerahan diri kepada Allah saja, melainkan juga mengatur cara mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia termasuk di dalamnya mengatur masalah pendidikan. Sumber untuk mengatur masalah pendidikan. Sumber untuk mengatur kehidupan dunia dan akhirat tersebut adalah al Qur’an dan al Sunnah. Sebagai sumber ajaran, al Qur’an sebagaimana telah dibuktikan oleh para peneliti ternyata menaruh perhatian yang besar terhadap masalah pendidikan dan pengajaran.
Demikian pula dengan al-Hadist, sebagai sumber ajaran Islam, di akui memberikan perhatian yang amat besar terhadap masalah pendidikan. Nabi Muhammad SAW, telah mencanangkan program pendidikan seumur hidup ( long life education ). Dari uraian diatas, terlihat bahwa Islam sebagai agama yang ajaran-ajarannya bersumber pada al- Qur’an dan al Hadist sejak awal telah menancapkan revolusi di bidang pendidikan dan pengajaran. Langkah yang ditempuh al Qur’an ini ternyata amat strategis dalam upaya mengangkat martabat kehidupan manusia. Kini di akui dengan jelas bahwa pendidikan merupakan jembatan yang menyeberangkan orang dari keterbelakangan menuju kemajuan, dan dari kehinaan menuju kemuliaan, serta dari ketertindasan menjadi merdeka, dan seterusnya.
Dasar pelaksanaan Pendidikan Islam terutama adalah al Qur’an dan al Hadist Firman Allah :
                 •            
“ Dan demikian kami wahyukan kepadamu wahyu (al Qur’an) dengan perintah kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah iman itu, tetapi kami menjadikan al Qur’an itu cahaya yang kami kehendaki diantara hamba-hamba kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benarbenar memberi petunjuk kepada jalan yang benar ( QS. Asy-Syura : 52 )”
Hadis dari Nabi SAW :
“ Sesungguhnya orang mu’min yang paling dicintai oleh Allah ialah orang yang senantiasa tegak taat kepada-Nya dan memberikan nasihat kepada hamba-Nya, sempurna akal pikirannya, serta mengamalkan ajaran-Nya selama hayatnya, maka beruntung dan memperoleh kemenangan ia” (al Ghazali, Ihya Ulumuddin hal. 90)”
Dari ayat dan hadis di atas tadi dapat diambil kesimpulan :
1. Bahwa al Qur’an diturunkan kepada umat manusia untuk memberi petunjuk kearah jalan hidup yang lurus dalam arti memberi bimbingan dan petunjuk kearah jalan yang diridloi Allah SWT.
2. Menurut Hadist Nabi, bahwa diantara sifat orang mukmin ialah saling menasihati untuk mengamalkan ajaran Allah, yang dapat diformulasikan sebagai usaha atau dalam bentuk pendidikan Islam.
3. Al Qur’an dan Hadist tersebut menerangkan bahwa nabi adalah benar-benar pemberi petunjuk kepada jalan yang lurus, sehingga beliau memerintahkan kepada umatnya agar saling memberi petunjuk, memberikan bimbingan, penyuluhan, dan pendidikan Islam.
Bagi umat Islam maka dasar agama Islam merupakan fondasi utama keharusan berlangsungnya pendidikan. Karena ajaran Islam bersifat universal yang kandungannya sudah tercakup seluruh aspek kehidupan ini. Pendidikan dalam arti umum mencakup segala usaha dan perbuatan dari generasi tua untuk mengalihkan pengalamannya, pengetahuannya, kecakapannya, serta keterampilannya kepada generasi muda untuk memungkinkannya melakukan fungsi hidupnya dalam pergaulan bersama, dengan sebaik-baiknya.
Corak pendidikan itu erat hubungannya dengan corak penghidupan, karenanya jika corak penghidupan itu berubah, berubah pulalah corak pendidikannya, agar si anak siap untuk memasuki lapangan penghidupan itu. Pendidikan itu memang suatu usaha yang sangat sulit dan rumit, dan memakan waktu yang cukup banyak dan lama, terutama sekali dimasa modern dewasa ini. Pendidikan menghendaki berbagai macam teori dan pemikiran dari para ahli pendidik dan juga ahli dari filsafat, guna melancarkan jalan dan memudahkan cara-cara bagi para guru dan pendidik dalam menyampaikan ilmu pengetahuan dan pengajaran kepada para peserta didik.
Kalau teori pendidikan hanyalah semata-mata teknologi, dia harus meneliti asumsi-asumsi utama tentang sifat manusia dan masyarakat yang menjadi landasan praktek pendidikan yang melaksanakan studi seperti itu sampai batas tersebut bersifat dan mengandung unsur filsafat. Memang ada resiko yang mungkin timbul dari setiap dua tendensi itu, teknologi mungkin terjerumus, tanpa dipikirkan buat memperoleh beberapa hasil konkrit yang telah dipertimbangkan sebelumnya didalam sistem pendidikan, hanya untuk membuktikan bahwa mereka dapat menyempurnakan suatu hasil dengan sukses, yang ada pada hakikatnya belum dipertimbangkan dengan hati-hati sebelumnya. Sedangkan para ahli filsafat pendidikan, sebaiknya mungkin tersesat dalam abstraksi yang tinggi yang penuh dengan debat tiada berkeputusan,akan tetapi tanpa adanya gagasan jelas buat menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang ideal.
Tidak ada satupun dari permasalahan kita mendesak dapat dipecahkan dengan cepat atau dengan mengulang-ulang dengan gigih kata-kata yang hampa. Tidak dapat dihindari, bahwa orang-orang yang memperdapatkan masalah ini, apabila mereka terus berpikir,yang lebih baik daripada mengadakan reaksi, mereka tentu akan menyadari bahwa mereka itu telah membicarakan masalah yang sangat mendasar. Sebagai ajaran (doktrin) Islam mengandung sistem nilai diatas mana proses pendidikan Islam berlangsung dan dikembangkan secara konsisten menuju tujuannya. Sejalan dengan pemikiran ilmiah dan filosofis dari pemikir-pemikir sesepuh muslim, maka sistem nilai-nilai itu kemudian dijadikan dasar bangunan (struktur) pendidikan islam yang memiliki daya lentur normatif menurut kebutuhan dan kemajuan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa filsafat memberikan inspirasi bagaimana mengorganisasikan proses pembelajaran yang ideal, dan mempunyai peranan yang sangat penting dalam kurikulum dan melandasi pengembangan kurikulum. Filsafat sebagai ilmu dari segala ilmu sudah barang tentu memiliki peran dan fungsi yang jelas dalam pengembangan kurikulum. Oleh sebab itu, dalam makalah ini akan dikaji mengenai fungsi filsafat tersebut dalam pengembangan kurikulum.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah, maka dapatlah dirumuskan suatu pokok masalah yaitu ”Fungsi Filsafat dalam Pengembangan Kurikulum”, yang kemudian disusun dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1. Apakah yang dimaksud dengan filsafat?
2. Apakah yang dimaksud dengan Hakikat Guru?
3. Apa yang dimaksud dengan Hakikat Murid?
4. Bagaimana hakikat Guru dan Murid dalam Proses Pembelajaran?

C. TUJUAN PENULISAN
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memeroleh suatu gambaran secara teoritis tentang fungsi filsafat dalam pengembangan kurikulum.
Adapun tujuan khusus penulisan makalah ini adalah untuk mendeskripsikan:
1. Makna filsafat Ilmu dan Peranannya dalam Pendidikan.
2. Hakekat Guru dalam Proses Pembelajaran.
3. Hakekat Murid dalam Proses Pembelajaran
4. Hakekat Guru dan Murid dalam Proses Pembelajaran




D. PROSEDUR PEMECAHAN MASALAH
Prosedur pemecahan masalah yang digunakan dalam menjawab rumusan masalah dalam makalah ini adalah dengan menggunakan metode deskriptif melalui kajian literatur atau artikel yang berkaitan dengan filsafat dan pengembangan kurikulum.

E. SISTEMATIKA URAIAN
Makalah ini terdiri dari:
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
D. Prosedur Pemecahan Masalah
E. Sistematika Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
A. Makna filsafat Ilmu dan Peranannya dalam Pendidikan.
B. Hakekat Guru dalam Proses Pembelajaran.
C. Hakekat Murid dalam Proses Pembelajaran
D. Hakekat Guru dan Murid dalam Proses Pembelajaran
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

BAB II
PEMBAHASAN
A. FILSAFAT
1. Pengertian Filsafat
Para filsuf memberi batasan yang berbeda-beda mengenai filsafat, namun batasan yang berbeda itu tidak mendasar. Selanjutnya batasan filsafat dapat ditinjau dari dua segi yaitu secara etimologi dan secara terminologi.
Secara etimologi, kata filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab: falsafah, yang juga diambil dari bahasa Yunani: philosophia. Kata philosophia merupakan gabungan dari dua kata yaitu philos dan sophia. Philos berarti sahabat, cinta, atau kekasih, sedangkan sophia memiliki arti kebijaksanaan, pengetahuan, kearifan. Dengan demikian maka arti dari kata philosophia adalah “cinta pengetahuan atau cita kebijaksanaan”. Plato dan Socrates dikenal sebagai philosophos (filsuf) yakni orang yang mencintai pengetahuan, pencari kebijaksanaan, dan pencinta kebijaksanaan dalam arti hakikat.
Pengertian filsafat secara terminologi sangat beragam. Para filsuf merumuskan pengertian filsafat sesuai dengan kecenderungan pemikiran kefilsafatan yang dimilikinya. Plato (428 -348 SM) berpendapat bahwa filsafat tidak lain dari pengetahuan tentang segala yang ada dan yang berminat mencapai pengetahuan kebenaran yang asli. Sementara muridnya Aristoteles (384-322 SM) berpendapat bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran, di mana terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika. Lebih lanjut Aristoteles menyebutkan bahwa kewajiban filsafat adalah menyelidiki sebab dan asas segala benda. Dengan demikian filsafat bersifat ilmu umum sekali. Tugas penyelidikan tentang sebab telah dibagi sekarang oleh filsafat dengan ilmu.
Menurut Cicero (106 – 43 SM) filsafat adalah sebagai “ibu dari semua seni “ (the mother of all the arts“, ia juga mendefinisikan filsafat sebagai ars vitae (seni kehidupan). Sementara Johann Gotlich Fickte (1762-1814) mendefinisikan filsafat sebagai Wissenschaftslehre, ilmu dari ilmu-ilmu, yakni ilmu umum, yang jadi dasar segala ilmu. Ilmu membicarakan sesuatu bidang atau jenis kenyataan. Filsafat memperkatakan seluruh bidang dan seluruh jenis ilmu mencari kebenaran dari seluruh kenyataan.
Filsafat menurut Paul Nartorp (1854 – 1924) adalah Grundwissenschaft, yakni ilmu dasar yang hendak menentukan kesatuan pengetahuan manusia dengan menunjukan dasar akhir yang sama. Selain itu, Imanuel Kant (1724 – 1804) mengungkapkan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal dari segala pengetahuan yang di dalamnya tercakup empat persoalan: (1) Metafisika, yang menjawab pertanyaan “apakah yang dapat kita kerjakan?” ; (2) Etika, yang menjawab pertanyaan “apakah yang seharusnya kita kerjakan?” ; (3) Agama, yang menjawab pertanyaan “sampai dimanakah harapan kita?”; dan (4) Antropologi, yang menjawab pertanyaan “apakah yang dinamakan manusia?”
Menurut Notonegoro filsafat menelaah hal-hal yang dijadikan objeknya dari sudut intinya yang mutlak, yang tetap tidak berubah, yang disebut hakekat. Sedangkan Sidi Gazalba berpendapat bahwa berfilsafat ialah mencari kebenaran dari kebenaran untuk kebenaran, tentang segala sesuatu yang di masalahkan, dengan berfikir radikal, sistematik dan universal. Lebih lanjut Harold H. Titus menjelaskan bahwa: (1) Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepecayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara tidak kritis. Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang dijunjung tinggi; (2) Filsafat adalah suatu usaha untuk memperoleh suatu pandangan keseluruhan; (3) Filsafat adalah analisis logis dari bahasa dan penjelasan tentang arti kata dan pengertian (konsep); Filsafat adalah kumpulan masalah yang mendapat perhatian manusia dan yang dicirikan jawabannya oleh para ahli filsafat.
Dari semua pengertian filsafat secara terminologis yang telah dipaparkan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki dan memikirkan segala sesuatunya secara mendalam dan sungguh-sungguh, serta radikal sehingga mencapai hakikat segala situasi tersebut.

2. Filsafat Pendidikan
Filsafat pendidikan merupakan aplikasi filsafat dalam pendidikan (Kneller, 1971). Pendidikan membutuhkan filsafat karena masalah-masalah pendidikan tidak hanya menyangkut pelaksanaan pendidikan yang dibatasi pengalaman, tetapi masalah-masalah yang lebih luas, lebih dalam, serta lebih kompleks, yang tidak dibatasi pengalaman maupun fakta-fakta pendidikan, dan tidak memungkinkan dapat dijangkau oleh sains pendidikan.
Seorang guru atau pendidik, baik sebagai pribadi maupun sebagai pelaksana pendidikan, perlu mengetahui filsafat pendidikan. Seorang pendidik perlu memahami dan tidak boleh buta terhadap filsafat pendidikan, karena tujuan pendidikan senantiasa berhubungan langsung dengan tujuan hidup dan kehidupan individu maupun masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan. Tujuan pendidikan perlu dipahami dalam hubungannya dengan tujuan hidup. Pendidik sebagai pribadi mempunyai tujuan hidupnya dan pendidik sebagai warga masyarakat mempunyai tujuan hidup bersama. Filsafat pendidikan harus mampu memberikan pedoman kepada para pendidik (guru). Dengan demikian hal tersebut akan mewarnai sikap perilakunya dalam mengelola proses belajar mengajar. Selain itu pemahaman filsafat pendidikan akan menjauhkan mereka dari perbuatan meraba-raba, mencoba-coba tanpa rencana dalam menyelesaikan masalah-masalah pendidikan.
Hubungan filsafat dengan konsep pendidikan bisa ditinjau dari tiga cabang besar filsafat, yaitu metafisika, epistemologi, dan aksiologi.
a. Metafisika
Metafisika merupakan bagian filsafat yang mempelajari masalah hakekat: hakekat dunia, hakekat manusia, termasuk di dalamnya hakekat anak. Metafisika secara praktis akan menjadi persoalan utama dalam pendidikan. Karena anak bergaul dengan dunia sekitarnya, maka ia memiliki dorongan yang kuat untuk memahami tentang segala sesuatu yang ada. Memahami filsafat ini diperlukan secara implisit untuk mengetahui tujuan pendidikan. Seorang pendidik seharusnya tidak hanya tahu tentang hakekat dunia dimana ia tinggal, tetapi harus tahu hakekat manusia, khususnya hakekat anak.
b. Epistemologi
Kumpulan pertanyaan berikut yang berhubungan dengan para pendidik adalah epistemologi. Pengetahuan apa yang benar? Bagaimana mengetahui itu berlangsung? Bagaimana kita mengetahui bahwa kita mengetahui? Bagaimana kita memutuskan antara dua pandangan pengetahuan yang berlawanan? Apakah kebenaran itu konstan, ataukah kebenaran itu berubah dari situasi satu ke situasi lainnya? Dan akhirnya pengetahuan apakah yang paling berharga?
Bagaimana menjawab pertanyaan epistemologis tersebut akan memiliki implikasi signifikan untuk pendekatan kurikulum dan pengajaran. Pertama pendidik harus menentukan apa yang benar mengenai muatan yang diajarkan, kemudian pendidik harus menentukan alat yang paling tepat untuk membawa muatan ini bagi warga belajar. Meskipun ada banyak cara mengetahui, setidaknya ada lima cara mengetahui sesuai dengan minat atau kepentingan masing-masing pendidik, yaitu mengetahui berdasarkan otoritas, wahyu Tuhan, empirisme, nalar, dan intuisi.
Pendidik tidak hanya mengetahui bagaimana warga belajar memperoleh pengetahuan, melainkan juga bagaimana warga belajar mengikuti pembelajaran. Dengan demikian epistemologi memberikan sumbangan bagi teori pendidikan dalam menentukan kurikulum. Pengetahuan apa yang harus diberikan kepada anak dan bagaimana cara untuk memperoleh pengetahuan tersebut, begitu juga bagaimana cara menyampaikan pengetahuan tersebut.
c. Aksiologi
Cabang filsafat yang membahas nilai baik dan nilai buruk, indah dan tidak indah, erat kaitannya dengan pendidikan, karena dunia nilai akan selalu dipertimbangkan atau akan menjadi dasar pertimbangan dalam menentukan tujuan pendidikan. Langsung atau tidak langsung, nilai akan menentukan perbuatan pendidikan. Nilai merupakan hubungan sosial. Pertanyaan-pertanyaan aksiologis yang harus dijawab pendidik adalah: Nilai-nilai apa yang dikenalkan pendidik kepada warga belajar untuk diadopsi? Nilai-nilai apa yang mengangkat manusia pada ekspresi kemanusiaan yang tertinggi? Nilai-nilai apa yang benar-benar dipegang orang yang benar-benar terdidik?
Pada intinya aksiologi menyoroti fakta bahwa pendidik memiliki suatu minat tidak hanya pada kuantitas pengetahuan yang diperoleh warga belajar melainkan juga dalam kualitas kehidupan yang dimungkinkan karena pengetahuan. Pengetahuan yang luas tidak dapat memberi keuntungan pada individu jika ia tidak mampu menggunakan pengetahuan untuk kebaikan. Filsafat pendidikan terdiri dari apa yang diyakini seorang pendidik mengenai pendidikan, atau merupakan kumpulan prinsip yang membimbing tindakan profesional pendidik. Setiap pendidik baik mengetahui atau tidak memiliki suatu filsafat pendidikan, yaitu seperangkat keyakinan tentang bagaimana manusia belajar dan tumbuh serta apa yang harus manusia pelajari agar dapat tinggal dalam kehidupan yang baik. Filsafat pendidikan secara fital juga berhubungan dengan pengembangan semua aspek pengajaran. Dengan menempatkan filsafat pendidikan pada tataran praktis, para pendidik dapat menemukan berbagai pemecahan permasalahan pendidikan.

2. Aliran-aliran Filsafat Pendidikan
Sejarah perjalanan perkembangan keyakinan dan pemikiran umat manusia tentang pendidikan telah melahirkan sejumlah filsafat yang melandasinya. Berdasarkan bagaimana manusia dibentuk, terdapat tiga aliran paham yang dirasakan masih dominan pengaruhnya hingga saat ini, yakni: Nativisme atau Naturalisme, Empirisme atau Environtalisme, dan Konvergensionisme atau Interaksionisme.
Tokoh nativisme atau naturalisme antara lain J.J. Rousseau (1712-1778) dan Schopenhauer (1788-1860 M). Paham ini berpendirian bahwa setiap bayi lahir dalam keadaan suci dan dianugerahi dengan potensi insaniah yang dapat berkembang secara alamiah. Karena itu, pendidikan pada dasarnya sekedar merupakan suatu proses pemberian kemudahan agar anak berkembang sesuai dengan kodrat alamiahnya. Pandangan ini diidentifikasikan sebagai konsepsi pendidikan yang cenderung pesimistik.
Dengan tokohnya antara lain John Locke (1632-1704 M) dan J. Herbart (1776-1841 M), Empirisme atau Environtalisme berpandangan bahwa manusia lahir hanya membawa bahan dasar yang masih suci namun belum berbentuk apapun, bagaikan papan tulis yang masih bersih belum tertulisi (Tabula Rasa, Locke ) atau sebuah bejana yang masih kosong (Herbart). Atas dasar itu, pendidikan pada hakikatnya merupakan suatu proses pembentukan dan pengisian pribadi peserta didik ke arah pola yang diinginkan dan diharapkan lingkungan masyarakatnya. Pandangan ini diidentifikasikan sebagai konsepsi pendidikan yang cenderung optimistik.
Tokoh paham Konvergensionisme atau interaksionisme antara lain William Stern (1871-1939). Paham ini pada dasarnya merupakan perpaduan dari kedua pandangan terdahulu. Menurut pandangan ini, baik pembawaan anak maupun lingkungan merupakan faktor-faktor yang determinan terhadap perkembangan dan pembentukan pribadi peserta didik. Oleh karenanya, pendidikan pada hakekatnya merupakan suatu rangkaian peristiwa interaksi antara pembawaan dengan lingkungan. Pribadi peserta didik akan terbentuk sebagai resultante atau hasil interaksi dari kedua faktor determinan tersebut. Pandangan ini diidentifikasikan sebagai konsepsi pendidikan yang cenderung rasional.
Pembagian Nativisme atau Naturalisme, Empirisme atau Environtalisme, dan Konvergensionisme atau Interaksionisme yang telah disebutkan di atas adalah pembagian berdasarkan bagaimana manusia dibentuk, sedangkan menurut pembagian berdasarkan apa yang harus diajarkan sebagai muatan pendidikan terdapat: (1) Konservatif, yang mengajarkan apa yang sudah berlaku di masyarakat; (2) Idealisme, yang mengajarkan apa yang menjadi ide abadi sepanjang masa; (3) Liberalisme, yang mengajarkan ilmu sebagai bekal hidup; (4) Liberasionisme, yang mengajarkan ilmu yang membebaskan; dan (5) Anarkisme, yang mengajarkan sesuai dengan kebutuhan lokal
Sementara aliran filsafat yang dirasakan sangat besar pengaruhnya terhadap pendidikan adalah idealisme, realisme, pragmatisme, dan rekonstruksionisme.
a. Idealisme
Idealisme berpandangan bahwa pengetahuan itu sudah ada dalam jiwa kita. Untuk membawanya pada tingkat kesadaran perlu adanya proses introspeksi. Aliran ini juga berpendapat bahwa hakikat kenyataan dunia adalah ide yang sifatnya rohani atau intelegesi. Tujuan pendidikannya adalah untuk mendorong setiap individu agar mampu mengembangkan semua potensinya untuk pemenuhan diri, membentuk karakter manusia, dan memberikan bekal pengalaman yang luas dan komprehensif dalam semua bentuk kehidupan
b. Realisme
Realisme merupakan filsafat yang memandang realitas secara dualitis, yakni terdiri dari dunia fisik dan dunia ruhani. Dengan kata lain realitas dibagi menjadi dua bagian, yaitu subjek yang menyadari dan mengetahui di satu pihak dan di pihak lainnya adalah adanya realita di luar manusia, yang dapat dijadikan objek pengetahuan manusia. Tujuan pendidikannya yaitu membentuk individu yang mampu menyesuaikan diri dalam masyarakat dan memiliki rasa tanggung jawab kepada masyarakat
c. Pragmatisme
Pragmatisme adalah kreasi filsafat dari Amerika, dipengaruhi oleh empirisme, utilitarianisme, dan positivisme, yang berpendapat bahwa manusia dapat mengetahui apa yang manusia alami. Pragmatisme memiliki pandangan bahwa yang ada itu yang berfungsi. Pragmatisme merupakan aliran filsafat yang tidak bersikap mutlak (absolut), tidak doktriner, tetapi relatif tergantung kepada kemampuan manusia . Aliran ini mendasari munculnya model konsep kurikulum rekonstruksi sosial yang menekankan pemecahan problema masyarakat. Esensi ajaran pragmatisme ialah bahwa hidup bukan untuk mencari kebenaran melainkan untuk menemukan arti atau kegunaan. Tujuan pendidikannya yaitu menggunakan pengalaman sebagai alat untuk menyelesaikan hal-hal baru dalam kehidupan pribadi dan masyarakat
d. Rekonstruksionisme
Rekonstruksionisme merupakan elaborasi lanjut dari aliran progresivisme (pragmatisme). Paham ini berpendapat bahwa, pengetahuan diperoleh melalui proses aktif individu mengkonstruksi arti dari suatu teks, pengalaman fisik, dialog, dan lain-lain melalui asimilasi pengalaman baru dengan pengertian yang telah dimiliki seseorang. Pada rekonstruktivisme, peradaban manusia masa depan sangat ditekankan. Di samping menekankan tentang perbedaan individual seperti pada progresivisme, rekonstruksionisme lebih jauh menekankan tentang pemecahan masalah, berfikir kritis dan sejenisnya. Aliran ini akan mempertanyakan untuk apa berfikir kritis, memecahkan masalah, dan melakukan sesuatu? Penganut aliran ini menekankan pada hasil belajar dari pada proses. Tujuan pendidikannya adalah untuk menghasilkan individu yang memiliki kemampuan berpikir untuk menyelesaikan persoalan hidupnya.

B. Pengertian Pendidikan
Dalam mencari pengertian atau definisi pendidikan yang penulis cari dari para pakar-pakar pendidikan atau pemerhati pendidikan akan penulis coba tuangkan dalam sub ini guna membuka wacana pendidikan.
Makna pendidikan secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai didalam masyarakat dan kebudayaan. Dengan demikian, bagaimanapun sederhananya peradaban suatu masyarakat, di dalamnya terjadi atau berlangsung suatu proses pendidikan. Karena itulah sering dinyatakan pendidikan telah ada sepanjang peradaban umat manusia. Pendidikan pada hakikatnya merupakan usaha manusia melestarikan hidupnya.
Istilah pendidikan menurut Carter V. Good dalam "Dictionay of Education" dejelaskan sebagai berikut:
a. Pedagogy
1) Seni, peraktek, atau profesi sebagai pengajar (pengajaran)
2) Ilmu yang sistematis atau pengajaran yang berhubungan dengan prinsip-prinsip dan metode-metode mengajar, pengawasan dan bimbingan murid, dalam arti luas digantikan dengan istilah pendidikan.

Menurut prof, Richey, dalam buku "Planing For Teaching an introduction to Education" dinyatakan:
"Istilah "Pendidikan dengan fungsi yang luas dari pemeliharaan dan perbaikan kehidupan suatu masyarakat terutama membawa warga masyarakat yang baru (generasi muda) bagi penunaian kewajiban dan tanggung jawabnya didalam masyarakat. Jadi pendidikan adalah suatu proses yang lebih luas daripada proses yang berlangsung didalam sekilas saja. Pendidikan adalah suatu aktifitas sosial yang esensial yang memungkinkan masyarakat yang konpleks, modern, fungsi pendidikan ini mengalami proses spesialisasi dan melembaga dengan pendidikan formal, yang tetap berhubungan dengan proses pendidikan informal diluar sekolah.
Di dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional atau singkat UU SISDIKNAS memberkan penjelasan mengenai pengertian pendidikan, yaitu sebagai usaha sadar dan terancana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Amir Daien, dalam bukunya memberikan pengertian yang lebih singkat, namun tidak membuang esensinya, yaitu suatu usaha yang sadar yang teratur dan sestematik, yang dilakukan oleh orang-orang yang diserahi tanggungjawab untuk mempengaruhi anak agar mempunyai sifat dan tabiat sesuai dengan cita-cita pendidikan. Dalam buku yang sama, Drs. Amir Dien memberikan definisi yang lebih tegas lagi, yaitu pendidikan ialah bantuan yang diberikan dengan sengaja kepada anak dalam pertumbuhan jasmani maupun rohaninya untuk mencapai tingkat dewasa.
Dari dua definisi di k atas tampaknya Amir Daien masih kurang sempurna dibanding definisi yang tercantum dalam UU Sisdiknas, Amir Daien lebih mempersempit, yang menurut hemat penulis, maka "mempengaruhi" didalamnya masih menimbulkan kontrofersi, dalam UU Sisdiknas proses pembelajaranlah, menurut penulis yang lebih tepat untuk mencapai cita-cita pendidkan, bukan mempengaruhi anak.
Sementara 'Abd ar-Rahman an-Nahlawi, berpendapat bahwa pendidikan berarti : memelihara fitrah anak, menumbuhkan seluruh bakat dan kesiapannya, mengerahkan fitrah dan seluruh bakatnya agar menjadi baik dan sempurna, serta berharap dalam prosesnya. Berdasarkan pengertian tersebut, an-Nahlawi mengambil kesimpulan sebagai berikut :
1) Pendidikan adalah proses yang mempunyai tujuan, sasaran, dan target.
2) Pendidikan yang sebenarnya adalah Allah, karena Allah-lah yang menciptakan fitrah dan bakat bagi manusia, memberlakukan hukum-hukum perkembangan serta interaksi fitrah dan bakat, dan menetapkan syariat untuk mewujudkan kesempurnaan, kebaikan dan kebahagiaannya.
3) Pendidikan menghendaki penyusunan langkah-langkah sistematis yang harus dilakui secara bertahap oleh berbagi kegiatan pendidikan dan pengajaran.
4) Pendidik harus mengikuti sunnatullah dan syariat yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.
Sementara Hery Noer dan Munzier memberikan pandangan yang berbeda mengenai definisi pendidikan, yaitu pendidikan adalah "seni mentransfer warisan dan ilmu untuk membangun masa depan". Dan beliau menambahkan dari definisi tersebut pendidikan memiliki dua fungsi:
a. Memilih warisan budaya yang relevan bagi zaman ketika pendidikan itu berlangsung, sehingga bentuk dan kepribadian masyarakat dapat dipelihara.
b. Memperhitungkan semangat zaman dalam melakukan perubahan dan pembaharuan yang terus menerus, serta mempersiapkan generasi sesuai dengan prinsip yang ada bukanlah tetap yang terus menerus, melainkan perubahan yang terus menerus.
Dari semua definisi pendidikan penulis mencoba mengambil kesimpulan dari semua itu, yaitu:
1) Pendidikan merupakan suatu usaha atau kegiatan dalam memelihara fitrah anak, yang dilakukan secara sadar artinya dengan niat dan kesiapan, dan memiliki rencana untuk menyusun langkah-langkah secara tepat, teratur dan sistematis. Dalam mewujudkan proses belajar dan pembelajaran kepada anak.
2) Agar peserta didik secara aktif mengembangkan dan mengarahkan fitrah, potensi, bakat dan kesiapan dirinya supaya memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, dan keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara, serta memperhitungkan semangat zaman dalam melakukan perubahan dan pembaharuan yang terus menerus.
C. Dasar dan Tujuan Pendidikan
Masalah dasar dan tujuan pendidikan merupakan suatu masalah yang sangat fundamental dalam pelaksanaan pendidikan. Oleh karena itu, dari dasar pendidikan itu akan manentukan corak dan isi pendidikan, dan dari tujuan pendidikan akan menentukan ke arah mana anak didik atau manusia itu akan dibawa.
Dalam mencari dasar dan tujuan pendidikan penulis mencoba menggambarkan latar belakang apa saja yang melandasi dasar tujuan pendidikan itu dibentuk, yang nantinya akan mudah menelusuri tujuan pendidikan itu sendiri, berikut akan penulis deskripsikan dasar tujua pendidikan. Yakni dasar pendidikan nasional dan dasar pendidikan Islam.
1. Falsafah Negara
Masalah pendidikan merupakan masalah yang sangat penting dalam kehidupan. Bahkan tidak hanya sangat penting saja, melainkan masalah pendidikan itu sama sekali tidak bisa dipisahkan dari kehidupan. Dapat dibayangkan seorang yang tidak bisa baca dan menulis hidup dizaman ini. Orang yang tidak bisa baca tulis akan kesulitan dalam hidup kesehariannya. Untuk menaiki bus jurusan tertentu saja dibutuhkan memampuan membaca. Menghitung jenis pupuk juga membutuhkan kemampuan membaca dan menulis. Ini berarti kita hidup pada zaman di mana pendidikan adalah salah saru syarat sebagai standar kehidupan.
Oleh karena itu pendidikan menjadi sangat penting, baik dalam kehidupan maupun dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Karena dalam dimensi yang lebih luas, pendidikan diarahkan untuk memungkinkan semua orang dapat ikut serta secara efektif dalam masyarakat, meningkatkan rasa pengertian, teloransi serta persahabatan antara semua bangsa dan semua kelompok, ras, etnis atau agama, dan lebih memajukan peradaban.
Mengingat sangat urgennya pendidikan itu bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, maka hampir seluruh Negara-negara didunia ini "menangani" secara langsung masalah-masalah yang berhubungan dengan pendidikan. Oleh karena itu dasar tujuan pendidikan harus disesuaikan dengan cita-cita negaranya. Aristoteles memberikan landasan suatu negara yaitu untuk mensejahterakan seluruh warga negaranya, tujuan Negara lainnya menurut Aristoteles adalah bagaimana Negara bisa memanusiakan manusian (Humanisasi). Tujuan Negara menurut Aristoteles sama dengan tujuan hidup manusia yaitu agar manusia mencapai kebahagiaan (eudai-monia). Maka, Negara bertugas untuk mengusahakan kebahagiaan para warganya.
Di Indonesia pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. dengan berdasarkan pemikiran Aritoteles bahwa dasar pembentukan Negara untuk mensejahterakan warganegaranya. Dalam UUD 1954 pun mengamanatkan Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraaan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan untuk melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadialn sosial.
Maka dengan mengacu pada Pancasila dan UUD 1945 pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat jasmani dan rohani, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi waraga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
2. Al-Qur'an dan As-Sunnah
Pendidikan Islam mempunyai dasar pendidikan tersendiri yaitu Al-Qur'an dan As-Sunnah. Adapun tujuan pendidikan Islam adalah; Pembentukan Insan yang shaleh, Pembentukan keluarga yang shaleh, Pembentukan masyarakat yang shaleh, menciptakan persaudaraan antara umat manusia.
Dari dasar dan tujuan pendidikan islam di atas sudah sangat jelas bahwa Al-Qur'an merupakan sumber utama dari pendidikan Islam. Al-Qur'an memiliki pesan-pesan edukatif yang mampu memberikan solusi terhadap krisis dalam pelaksanaan pendidikan modern. Pesan-pesan itulah yang harus diaktualisasikan sebagai pilar kehidupan yang semestinya diintergralkan dalam konsep pendidikan Islam, terutama dalam kehidupan sehari-hari. Integrasi nilai al-Qur'an tersebut akan dapat terwujud melalui penelaahan mendasar dan melalui suatu metode yang akurat dan tepat sasarannya.
3. Hubungan Kurikulum dengan Dasar dan Tujuan Pendidikan.
Pengertian kurikulum dapat diartikan sebagai pengalaman-pengalaman belajar yang diperoleh anak dibawah asuhan sekolah. sementara Nasution memberikan pandangannya mengenai kurikulum yang secara lazim bahwa kurikulum dipandang sebagai suatu rencana yang disusun untuk melancarkan proses belajar mengajar dibawah bimbingan dan tanggungjawab sekolah atau lembaga pendidikan berta staf pengajarnya.
Dalam pengertian pendidikan dijelaskan dalamnya bahwa pendidikan haruslah dibuat secara terencana, dalam menjalankan rencana itulah kemudian dinamakan kurikulum. Sebenarnya, dalam hubungannya dengan usaha pendidikan, yang didalamnya memuat prinsip-prinsip dalam mengembangkan kurikulum yang dikemukakan oleh Ralph Tyler (1949). Ia mengemukakan kurikulum ditentukan oleh faktor atau asas utama, yaitu:
a. Falsafah bangsa, masyarakat, sekolah dan guru-guru (aspek filosofis).
b. Harapan dan kebutuhan masyarakat (orang tua, kebudayaan masyarakat, pemerintah, agama, ekonomi, dan sebagainya), (aspek sosiologi).
c. Hakikat anak, antara lain taraf perkembangan fisik, mental, psikologis, emosional, sosial, serta cara anak belajar (aspek Psikologis).
d. Hakikat pengetahuan atau disiplin ilmu (bahan pelajaran).
Dari uraian di atas dapatlah kita gambarakan hubungan antara kurikulum dengan dasar dan tujuan pendidikan, baik nasional maupun pendidikan Islam. Jadi apabila dasar dan tujuan pendidikan tidak ditunjang dengan kurikulum yang sesuai maka dasar dan tujuan pendidikan tersebut tidak akan tercapai.
Kurikulum merupakan sistem pendidikan yang akan dilaksanakan di sebuah lembaga pendidikan, oleh karena itu dalam merumuskan kurikulum harus ditinjau terlebih dahulu apa yang menjadi dasar tujuan pendidikannya.
Kompetensi merupakan perpaduan dari pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak, Mc Ashan mengemukakan bahwa kompetensi berarti pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang dikuasai oleh seseorang yang telah menjadi bagian dari dirinya, sehingga dapat melakukan perilaku-perilaku kognitif, afektif dan psikomotorik.
Sejalan dengan itu, Finch dan Cruncilton yang dikutip oleh E. Mulyasa mengartikan kompetensi sebagai “penguasaan terhadap suatu tugas, keterampilan, sikap dan apresiasi yang diperlukan untuk menunjang keberhasilan”. Kata kompetensi biasanya diartikan sebagai “kecakapan yang memadai untuk melakukan suatu tugas”. Ini jelas bahwa setiap cara yang digunakan dalam pelajaran yang ditujukan untuk mencapai kompetensi adalah untuk pengembangan manusia yang bermutu serta mempunyai kecakapan, pengetahuan, keterampilan dan kemampuan sebagaimana disyaratkan. Kata kompetensi dipilih untuk menunjukan tekanan pada “kemampuan mendemonstrasikan pengetahuan”.
Johnson menyatakan bahwa pengajaran berdasarkan kompetensi merupakan suatu sistem di mana siswa baru dianggap telah menyelesaikan pelajaran apabila ia telah melaksanakan tugas yang telah dipelajari untuk melakukannya. Pengetahuan, keterampilan, dan sikap merupakan jalan untuk suatu perbuatan (performance), namun nilainya kurang jika tanpa perbuatan. Dengan kata lain apa yang telah dipelajari hendaknya dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Pada kurikulum berbasis kompetensi pendidikan secara nasional terdapat daftar sejumlah kompetensi yang harus dimiliki oleh siswa. Atau dengan kata lain bahwa KBK ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut:
a. Lebih menitikberatkan pada pencapaian target kompetensi (attainment target) dari pada penguasaan materi;
b. Lebih mengakomodasikan keragaman kebutuhan dan sumberdaya pendidikan yang tersedia;
c. Memberikan kebebasan yang lebih luas kepada pelaksanaan pendidikan di lapangan untuk mengembangkan dan melaksanakan program pembelajaran sesuai dengan kebutuhan.

Bila ditinjau dari pandangan Al-Qur'an dan Hadits konsep kompetensi dalam pendidikan sangat relevan, banyak dalil-dalil tentang kompetensi, di antaranya dalam QS At-Taubah: 22, QS Az-Zumar: 9, QS Ali Imran: 159, QS As-Shaf: 2-3.
خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ
Artinya: “mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Sesungguhnya di sisi Allah lah pahala yang besar”. (QS At-Taubah: 22)
أَمْ مَنْ هُوَ قَانِتٌ ءَانَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ الْآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ
Artinya: “(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (QS Az-Zumar: 9)
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Artinya: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS Ali Imran: 159)
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ. كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ.
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan”. (QS As-Shaf: 2-3)
4. Azasi Manusia Dalam Pendidikan
Manusia pada hakikat memiliki tipe sebagai makhluk individu, makhluk sosial, dan makhluk susila. Dalam pendapat lain Aristeteles menambahkan bahwa manusia menurut Aristoteles adalah zoom politicom, makhluk yang berpolitik, sebagai makhluk individu, bahwa manusia itu mempunyai sifat-sifat yang khas, yang berbeda satu dengan yang lainnya. Manusia sebagai individu mempunyai kebutuhan-kebutuhan, keinginan-keinginan, cita-cita yang tersendiri, yang kemungkinan besar satu dengan yang lain.
Sebagai makhluk sosial, manusia mampunyai naluri untuk hidup bersama, hidup berkelompok, hidup bermasyarakat, hidup tolong-menolong, bantu-membantu, dengan manusia yang lain. Manusia tidak bisa hidup sendirian, terpisah atau memisahkan diri dari manusia yang lain.
Plato dalam pemikirannya tentang manusia memiliki hal yang sama bahwa manusia tidak bisa tanpa manusia lain. Manusia juga dianugrahi bakat dan kemampuan yang tidak sama. Masing-masing orang memiliki bakat alami yang berbeda. Perbedaan bakat dan kemampuan itu justru baik bagi kehidupan masyarakat, karena akan menciptakan saling ketergantungan, dalam arti positif, di antara anggota masyarakat. Menurut Plato juga, setiap anggota masyarakat tertentu tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya secara subsistensi, baik sementara atuapun selanjtnya. Oleh karena memenuhi kebutuhannya, manusia pasti membutuhkan orang lain.
Manusia juga mempunyai hakikat sebagai makhluk susila, atau ada yang menyebut sebagai makhluk ber-Tuhan atau makhluk berketuhanan. Yang dimaksud disini adalah, bahwa manusia itu dikaruniai sifat mempunyai kemampuan untuk dapat membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik menurut ukuran kesusilaan. Manusia mempunyai hati nurani, mempunyai hati sanubari. Berdasarkan hati nurani atau hati senubari inilah manusia selalu diperingatkan agar menjauhi hal-hal yang tercela dan terkutuk.
Pandangan pendidikan dalam melihat hakikat manusia tesebut seperti dikemukakan oleh M.J. langeveld, yaitu:
a. Mengakui manusia sebagai makhluk individual, sebagai orang seorang yaitu, mengakui bahwa manusia mempunyai keunikan tersendiri. Manusia mempunyai sifat-sifat yang khusus, yang berbeda satu dengan yang lainnya.
b. Mengakui bahwa manusia sebagai makhluk sosial, yaitu mengakui bahwa manusia itu hakikatnya adalah makhluk sosial. Makhluk yang mempunyai naluri untuk kehidupan berasama dan bermasyarakat.
c. Mengakuai manusia sebagai makhluk susila, yaitu mengakui bahwa manusia itu pada hakikatnya kesanggupan untuk membedakan mana yang baik dana yang tidak baik.
Pendidikan yang mengabaikan segi individu dari manusia itu dikhawatirkan akan menimbulkan adanya gejala penyamarataan dan hilangnya hak-hak manusia sebagai azasi. Achmadi dalam bukunya menuliskan bahwa pendidikan secara umum dapat dipahami sebagai proses pendewasaan sosial manusia menuju pada tataran ideal. Maka yang terkandung di dalamnya menyangkut tujuan memelihara dan mengembangkan fitrah secara potensi atau sumber daya insani menuju terbentuknya manusia seutuhnya. manusia merupakan makhluk yang berpikir dan memiliki kesadaran . praktek-praktek pendidikanpun harus senantiasa mengacu pada eksitensi manusia itu sendiri.
Pendidikan yang mengabaikan segi sosial dari manusia, akan menimbulkan individu-individu dengan staf individualitasnya yang sangat egios, dengan tidak memperdulikan kehidupan bersama. Hanif Dakhiri dalam bukunya menuliskan, intergrasi dengan lingkungan, termasuk di dalamnya adalah realiitas, adalah ciri khas manusia. integrasi muncul dari kemanpuan krisis untuk membuat pilihan dan mengubah realitas.
Dalam pandangan langeveld melalui filsafat Antropolog yang mengakui eksistensi manusia dalam tiga hakikat, yaitu :
1) Memandang manusia sebagai animal educandum, yaitu, manusia merupakan hewan atau makhluk yang harus dididik, oleh karena itu, apabila manusia itu dididik, maka sangat kecil kemungkinannya manusia itu dapat menjadi manusia seperti yang kita harapkan, yaitu manusia yang berkebudayaan. Hal ini dapat dibuktikan dengan ditemukannya manusia yang hidup dalam rimba bersama-sama dengan binatang-binatang dihutan India. Manusia ini tidak dapat bercakap-cakap seperti manusia biasa, tidak dapat berjalan di atas kedua kakinya. Oleh karena itu, dalam hal ini dapat dikatakan, bahwa pendidikan adalah tidak lain daripada menghumanisasikan manusia.
2) Memandang manusia sebagai animal educabile, yaitu manuisia ialah makhluk yang dapat dididik. Dengan bertitik tolak pada keyakinan bahwa manusia itu dapat dididik, maka kita mendidik manusia. Kita melaksanakan pendidikan pada manusia.
3) Memandang manusia sebagai makhluk yang aktif, makhluk yang di dalam dirinya terdapat adanya kecenderungan, adanya naluri untuk membentuk dirinya sendiri.
Sudut pandang Langeveld dengan Freire hampir sama, bahwa pendidikan seharusnya bersifat humanisasi (memanusiakan manusia) yang menurut Freire untuk memanusiakan manusia. Bagi Freire, fitrah manusia sejati ialah menjadi pelaku atau subjek, bukan penderita atau objek. Panggilan manusia sejati ialah menjadi pelaku yang sadar, yang bertindak mengatasi dunia serta realitas yang menindas atau mungkin menindasnya. Manuisa adalah penguasa atas dirinya, dan karena itu fitrah manusia adalah menjadi merdeka, menjadi bebas. Ini merupakan tujuan akhir dari upaya humanisasinya Frere.
Langeveld mengutarakan prinsip pelaksanaan pendidikan pada anak. Dalam hal ini, prinsip atau pendirian yang harus dipegang ialah prinsip yang memandang anak sebagai sub species adolescentiae, prinsip ini mencakup dua aspek, yaitu.
a) Memandang anak sebagai anak, yaitu memandang anak dengan segala sifat ke anak-anaknya. Anak dengan sifatnya yang serba menggantungkan diri. Anak dengan sifatnya yang penuh mengharapkan bantuan dana pertolongan. Jadi bukanlah orang dewasa dalam bentuk kecil (miniature adull).
Dengan sifat-sifat anak yang serba tidak berdaya, serba menggantungkan diri, serba mengharapkan bantuan dan pertolongan inilah kita harus memberikan pertolongan kepada anak. Kita memberikan bantuan kepada anak. Kita memberikan pendidikan kepada anak.
b) Memandang anak sebagai calon orang dewasa. Anak yang di dalam dirinya tersimpan dorongan dan inisiatif untuk turut serta membentuk dirinya, untuk aktif mengembagkan dirinya menuju kedewasaan.
Dalam hal ini sangat jelas bahwa dalam mendidik anak, kita tidak dapat dibenarkan dengan main dikte saja, kita tidak boleh memaksakan saja kemauan-kemauan kita. Melainkan, kita harus memberikan tanggug jawab sesuai dengan tingkat umur dan kemampuannya. Berikanlah kesempatan untuk turut mengatur dirinya sendiri. Oleh karenanya, pendidikan itu bertujuan mendidik agar dapat mengatur dirinya sendiri. Agar anak dapat berdiri sendiri sesuai dengan kemampuannya (selft standing).
Setiap anak memiliki potensi yang berbeda. Karena perbedaan itu, maka sebenarnya setiap anak memerlukan perlakuan tersendiri sesuai potensi individualnya untuk mencapai perkembangan yang optimal. Memang ada beberapa perlakuan yang sifatnya umum dan dapat diberlakaukan untuk banyak anak, tetapi seharusnya tidak boleh mengorbankan kebutuhan individual terse but.
Pendidikan di Indonesia adalah pendidikan massal. Di tingkat SD misalnya, setiap kelas rata-rata diisi oleh sekitar 40 anak dengan seorang guru, Kurikulum yang dipakai untuk 40 anak sama, materinya sarna, metode mengajarnya sama, gurunya sama, waktu belajarnya sama, dan cara evalauasinya juga sama. Pola pendidikan semacam ini telah berjalan berpuluh-puluh tahun dan entah sampai kapan akan berubah. di setiap akhir catur wulan atau semester, atau akhir tahun mereka akan menerima raport. Ada yang masuk rang king sepuluh besar, ada yang tidak masuk, ada yang naik kelas ada yang tidak naik kelas, dan seterusnya.
Pertanyaan kemudian muncul, mengapa anak tertentu prestasi belajarnya tinggi dan anak yang lain prestasi belajarnya rendah? Jawaban yang umum kita dengar adalah, yang satu anak pintar dan yang lainnya adalah anak bodoh. Benarkah demikian?
Dalam dunia pendidikan kit a tidak pernah mengenal faktor tunggal sebagai penyebab apakah anak sukses atau gagal dalam belajar. Kita mengenal faktor internal dan faktor eksternal. Antara kedua factor tersebut, sebelum kita temukan diagnosisnya, memiliki peluang yang sama untuk menjadi penentu keberhasilan atau kegagalan anak dalam belajar di sekolah.
Banyak studi di bidang psikologi pendidikan yang menemukan bahwa tidak sedikit (studi di Indonesia menemukan sekitar 39%) anak-anak yang secara potensial sebenarnya termasuk kategori anak unggul tetapi prestasi belajar di sekolah hanya biasa-biasa saja bahkan di bawah rata-rata prestasi anak yang lain. Mereka ini sering disebut sebagai anak 'under achiever'. Sebaliknya banyak anak-anak yang secara potensial sebenarnya biasa-biasa saja, tetapi prestasi belajar yang dicapai jauh di atas potensi dasarnya. Mereka sering disebut sebagai anak 'over achiever'.
Bertitik tolak pada pemikiran di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa di sekolah banyak terdapat anak-anak dengan problema belajar. Bisa disebabkan oleh karena faktor intelektif maupun non intelektif, internal maupun eksternal.
D. Hakikat Guru
1. Guru
Dalam konteks pendidikan Islam, guru sering disebut dengan istilah murabbi, mu’allim, dan mu’addib. Ketiga term itu mempunyai makna yang berbeda walaupun dalam situasi tertentu mempunyai makna yang sama.
Istilah murabbi sering dijumpai dalam kalimat yang orientasinya lebih mengarah pada pemeliharaan, baik yang bersifat jasmani ataupun rohani. Pemeliharaan seperti ini terlihat dalam proses orang tua membesarkan anaknya. Mereka tentunya berusaha memberikan pelayanan secara penuh agar anaknya tumbuh dengan fisik yang sehat dan berkepribadian (akhlak) yang terpuji.
Sedangkan istilah mu’allim, pada umumnya dipakai dalam membicarakan aktivitas yang lebih terfokus pada pemindahan atau transfer ilmu pengetahuan (baca: pengajaran). Adapun istilah mu’addib, biasa dipakai dalam konteks menanamkan budi pekerti (adab) kepada anak didik. Karena itu, menurut Al-Attas, mu’addib lebih luas dari istilah mu’allim dan lebih relevan dengan konsep pendidikan Islam.
Keragaman penggunaan istilah pendidik (baca: guru) tersebut bukanlah sesuatu yang terlalu urgen untuk dipakai karena hal itu tergantung pada penggunaan istilah untuk pendidikan, hal ini tentunya sesuai dengan kencendrungan dan alasan masing-masing dalam memakai istilah tersebut.
Ada bebrapa pengertian pendidikan yang dirumuskan para ahli pendidik, antara lain :
Menurut Sutari Imam Barnadib, pendidik ialah etiap orang yang dengan sengajar mepengaruhi orang lain untuk mencapai kedewasaa. Beliau menyebutkan bahwa yang termasuk pendidik ialah orang tua dan orang dewasa lain yang bertangung jawab tentang kedewasaan anak.
Sedangkan menurut Ahmad Marimba, pendidik adalah orang yang memikul tanggung jawab untuk mendidik. Istilah pendidik dalam kaitannya dengan pendidikan terhadap orang lain, pada garis besarnya masuk dalam kategori orang tua, guru dan masyarakat.
Namun dalam kaitannya dengan pendidikan di sekolah, arti pendidik disini adalah seorang guru, dimana seorang pendidik atau guru agama dalam melaksanakan tugasnya tidak cukup sekedar menguasai bahan dan didaktik metodiknya, melainkan dituntut pula adanya kesiapan serta kematangan kepribadian dan wawasan keilmuannya. Selain itu guru tidak sekedar dituntut kemampuannya berdiri di muka kelas pada jam-jam tertentu, melainkan dituntut ikut berkiprah memainkan perannay sebagai komunikator dalam menciptakan suasana keagamaan individu-individu maupun kelompok leingkungannya, dan dapat menempatkan kepentingan sebagai individu anggota masyarakat, warga negara dan sebagai pendidik.
Untuk menjadi pendidik yang profesional tidaklah mudah, karena ia harus memiliki berbagai kompetensi keguruan, yaitu :
a. Kompetensi personal religius, yakni menyangkut keribadian agamis.
b. Kompetensi sosial religius, yakni menyangkut kemampuan untuk menjalankan tugasnya secara profesional.
Di samping harus memiliki kompetensi kegruan tersebut, guru juga harus memahami tugas yang diembannya. Diantaranya, menciptakan kondisi (lingkungan) pendidikan sebagai wahana pengembangan peserta didik dalam rangkan mewujudkan kemanusiaan. Seorang guru juga bertugas sebagai motor penggerak roda pendidikan dan diharapkan mampu menciptakan situasi pembelajaran yang kondusif. Dengan begitu, suasana belajar memiliki daya tarik bagi pertumbuhan dan perkembangan kognitif, peikomotorik peserta didik, termasuk nilai-nilai afektif untuk diwujudkan dalam ruang kehidupan yang konkret. Selain itu, tugas guru adalah menggali motivasi dan menumbuhkan partisipasi belajar pada peserta didik. Hal ini akan mendorong peserta didik untuk hidup berani menghadapi dan menanggapi tatangan lingkungannya, serta bersikap mandiri di tengah meingkatnya kompetisi dalam masyarakat.
2. Pendidik
Menurut Sutari Imam Barnadib, pendidik ialah : “Tiap orang yang dengan sengaja mempengaruhi orang lain untuk mencapai kedewasaan”.
Selanjutnya ia menyebutkan bahwa pendidik ialah (1) orang tua, (2) orang dewasa lain betanggung jawab tentang kedewasaan anak.
Sedangkan Ahmad D. Marimba mengartikan pendidik sebagai orang yang memikul pertanggung jawaban untuk mendidik, yaitu manusia dewasa yang karena hak yang kewajibannya tentang pendidikan siterdidik.
Harus pula diingat, bahwa pendidik juga adalah manusia biasa dengan segala sifat-sifat ketidaksempurnaan. Maka, sudah menjadi kewajiban bagi seorang pendidik untuk selalu introspeksi diri sendiri dari rreaksi siswa dalam proses dan hasil usaha pembelajaran. Sehingga pendidik tersebut tidak malu mendapat kritikan yang membangun bagi perbaikan diri dan proses pendidikan.
3. Peranan Guru dalam Pendidikan
Sejalan dengan perkembangan tuntutan kebutuhan manusia, orang tua dalam situasi tertentu atau berhubungan dengan bidang bagian tertentu dapat memenuhi semua kebutuhan pendidikan anaknya. Untuk itu, mereka melimpahkan pendidikan anaknya kepada orang lain. Namun, pelimpahan ini tidak sama sekali mengurangi tanggung jawab orang tua. Mereka tetap memegang tanggung jawab pertama dan terakhir dalam pendidikan anak, mempersiapakannya agar beriman kepada Allah dan berakhlak mulia, membimbingnya untuk mencapaikematangan berpikir dan kesimbangan psikhis, serta mengarahkannya agar membekali diri dengan berbagai ilmu dan keterampilan yang bermanfaat.
Sebagai pemegang amanat, guru bertanggung jawab atas amanat yang diserahkan kepadanya. Allah SWT. Menjelaskan :
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
"Sesunggujnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerima, dan (menyuruh kamu) apabila menetapka hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberikan pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah maha mendengar dan lagi maha melihat.” (QS. An – Nisa : 58 )
E. Hakikat Guru dalam Proses Pembelajaran
Persyaratan Pribadi Pendidik
1. Beriman
Seorang pendidik Islam harus seorang yang beriman yaitu menjalani akan keesaan Allah. Iman kepada Allah merupakan asas setiap aqidah dan dengan mengimani Allah SWT. Selanjutnya akan di ikuti pula denag keimanan kepada yang lainnya.
Keyakinan terhadap keesaan Allah seperti yang di atas disebut juga “tauhid”. Kalimat tauhid dalam islam adalah kalimat: ”Laillahailla Allah” yang berarti : Tiada tuhan selain Allah.
Firman Allah SWT.
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ
”Maka ketauhilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mu’min, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat tinggalmu”.(QS. Muhammad : 19 )
Tauhid merupakan inti dan dasar dari seluruh tata nilai dan norma Islam, sehingga Islam dikenal sebagai agama tauhid. Yaitu agama yang mengesakan Allah.
Menurut Al-Faruqi “Iman” atau “Tauhid” intinya dan esensi dari agama Islam, merupakan pandangan umum dari realitas kebenaran dan waktu, sejarah dan nasib manusia sebagai pandangan umum ia tegakkan atas dasar prinsip “Idealtionality”, teologi,” kapasity” of man,” mebality of nature dan responsibility and judment dan sebagai falsafah dan pandangan hidup memiliki inplikasi dalam segala aspek kehidupan dan pemikiran manusia seperti dalam sejarah, pengetahuan, filsafat, etika, sosial, ummah, keluarga, ekonomi, ketertiban dunia dan estica.1
Oleh karena itu iman atau tauhid bukan saja merupakan kepercayaan yang bersifat pribadi akan tetapi mempunyai eksistensi terhadap seluruh aspek kehidupan. Oleh karena itu seorang pendidik Islam harus mempunyai keimana yang benar.
2. Ikhlas
Ikhlas termasuk akhlak mahmudah yang penting pula. Arti Ikhlas ialah murni atau bersih, tidak ada campuran. Maksud bersih disini ialah, bersihnya sesuatu pekerjaan dari campuran motif-motif selain Allah, seperti ingin di puji orang, ingin mendapat nama, dan lain sebagainya.
Jadi sesuatu pekerjaan dapat dikatakan ikhlas, kalau pekerjaan itu dilakukan semata-mata karena Allah saja, mengharap ridha-Nya dan pahala-Nya.
Pekerjaan yang di dasarkan pada keikhlasan atau tidak, tidak membawa perbedaan apa-apa pada wujud lahiriyah dari pekerjaan itu, tetapi dari segi nilai jelas jauh berbeda, dan ini yang lebih tahu ialah orang yang melakukan pekerjaan itu sendiri.
Orang yang beramal tetapi tidak ikhlas, sangatlah celaka dan rugi, sebab amalnya menjadi percuma, tidak akan di terima oleh Allah, dan yang di pegang oleh Allah ialah apa sesungguhnya yang menjadi niat hatinya dari amalnya itu.
Sabda Rasulullah Saw :
“Allah tidak menerima amal, kecuali amal yang dikerjakan dengan ikhlas karena dia semata-mata dan dimaksudkan untuk mencari keridhoan-Nya.”(HR. Ibnu Majah)2
Pendidik yang ikhlas dalam melaksanakan tugasnya hendaklah berniat semata-mata karena Allah, dalam seluruh pekerjaan educatifnya, baik berupa perintah, larangan, nasihat, pengawasan, atau hukuman yang dilakukannya. Ikhlas bukan berarti ia tidak boleh menerima imbalan jasa, akan tetapi jangan terniat dalam hati bahwa pekerjaan mendidik yang di lakukannya karena mengharpkan materi, akan tetapi semata-mata sebagai pengabdian kepada Allah SWT.
Ikhlas dalam perkataan dan perbutan adalah sebagian dari asas iman dan keharusan Islam. Allah tidak akan menerima perbuatan tanpa di kerjakan secara ikhlas. Perintah untuk ikhlas tercantum dalam Al-Qur’an dengan tegas (QS.98:5)
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Dan mereka tidak di suruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya dalam (menjalankan) Agama dengan lurus dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus”. (Al-Bayyinah : 5)
Niat yang lurus dan hati yang ikhlas semata-mata karena Allah Rabbul ‘Alamin lebih tinggi martabat dan kedudukannya dari pada pekerjaan yang semata-mata hanya berdasarkan niat untuk memperoleh keduniaan. Niat lurus dan hati ikhlas itulah yang membuat amal seseorang diterima oleh Allah SWT.
Kebenaran niat dan keikhlasan hati kepada Allah SWT itulah yang akan mengangkat derajat duniawi semata-mata menjadi amal ibadah yang diterima oleh Allah SWT. Buruknya niat akan menggugurkan hati Ibadah, sehingga berbalik menjadi perbuatan maksiat yang sangat buruk. Seseorang yang mengerjakan ibadah semacam itu dengan susah payah, hanya akan mendapat kehampaan dan kerugian.
Sedangkan niat buruk lambat laun niscaya akan menghilangkan rasa ta’at kepada Allah, dan akhirya akan mengubah menjadi kesukaan berbuat maksiat, orang tidak akan memperoleh apapun selain kekecewaan dan kerugian.
Besar kecilnya pahala dari perbuatan baik, dari sepuluh ganjaran sampai tujuh ratus lipat dan seterusnya adalah kembali kepada rahasia ikhlas yang memenuhi data yang hanya dapat di ketahui oleh Allah yang maha mengetahui alam nyata dan gaib.
Semakin bersih hati dan semakin luas daerah manfaatnya, akan sebanyak itu pula pahala yang dilipat gandakan. Bukan lahiriah manusia dan lahiriah kehidupan didunia itu yang menyebabkan Allah akan memberikan keridhaan-Nya. Sebab Allah hanya menerima ibadah orang-orang yang ikhlas serta perbuatan taqarrubnya.
Dengan demikian para pendidiknya dalam mendidik anak didiknya hendaklah dengan rasa ikhlas yang tulus, agar sesuatu yang dilakukannya membawakan hasil yang baik pada diri anak didik dan pendidik itu sendiri.
3. Sabar
Asal arti sabar adalah menahan dan mencegah. Semua orang yang menahan sesuatu, sesungguhnya telah bersabar atasnya, di dalam firman Allah SWT.
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya. (QS. Al-Kahfi : 28)
Sabar adalah suatu akhlak luhur dari akhlak-akhlak Islami yang wajib disifati, yang mendatangkan bagi seseorang dari perbuatan yang tidak baik dan tidak sesuai sebagai seorang muslim. Tujuannya adalah mengharap keridhaan Allah SWT. Sebagaimana firman-Nya :
وَالَّذِينَ صَبَرُوا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِمْ
“Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya (QS.Ar-Ra’d : 22)3
Adapun hakikat sabar suatu akhlak yang mulia yang menghalangi munculnya tindakan yang buruk. Sabar ialah salah satu kekuatan jiwa dan dengannya segala urusan jiwa menjadi baik dan tuntas.
Dzu An-Nun berkata, “ Sabar ialah menjauhi larangan, tenang ketika menenggak musibah, dan menampakkan dirinya kaya padahal ia miskin harta”4.
Diantara manusia ada orang yang kekuatan sabarnya terhadap mengerjakan apa yang bermanfaat baginya dan kekokohannya terhadapnya lebih tangguh dari pada kekuatan sabarnya terhadap menolak apa saja yang merugikannya. Ia bersabar terhadap kesulitan-kesulitan taat dan tidak bersabar terhadap dorongan hawa nafsunya kepada melanggar apa yang dilanggar baginya. Di antara manusia ada orang yang kekuatan sabarnya dari meninggalkan larangan-larangan itu lebih kuat dominan dari pada kekuatan sabarnya terhadap kesulitan-kesulitan taat. Di antara manusia ada orang yang tidak mempunyai kesabaran terhadap kesulitan-kesulitan taat dan meninggalkan larangan. Dan manusia terbaik ialah orang yang paling sabar kedua jenis sabar tersebut.
Menurut Imam Al-Ghozali (Syikul Islam) bahwa sabar itu terdiri dari Ilmu, hal ihwal dan perbuatan. Ilmu ditamsilkan sebagai pohon, hal ihwal sebagai dahannya, dan amal sebagai buahnya. Untuk mencapai kemaslahatan keagamaan di perlukan kesabaran yang tinggi, sebab sabarlah yang dapat menimbulkan kekuatan-kekuatan dan dorongan untuk terlaksananya perbuatan (amal).5
Sabar itu suatu sifat yang indah, sebab sifat sabar itu tidak diketahui dilihat dari diri seseorang yang menerima musibah. Sabar tidaj dapat dicapai dengan mudah. Untuk mendapatkan sifat sabar harus melalui latihan yang terus menerus.
Di dalam pendidikan sabar sangat di perlukan oleh seorang pendidik terhadap anak didiknya. Sabar dalam menghadapi kenakalan anak didik, kekurangan anak didik dalam bidang pengetahuan dan sabar dalam membina serta mendidik perilaku mereka, sehingga mereka menjadi anak yang mulia dan berguna bagi masyarakat.

F. Hakikat Anak
1. Ciri-ciri anak
a) Penampilan fisik
b) Jenis kelamin
c) Kesehatan
d) Kepribadian dan sebagainya.
Jelas bahwa pengaruh orang tua sangat besar terhadap anak-anaknya terutama dari segi pendidikan, karena pendidikan merupakan faktor utama yang harus dimiliki orang tua, terutama dalam pendidikan agama. Untuk itu harus melatih dan mengajar anak-anaknya berbagai keterampilan dan ilmu pengetahuan yang dimilikinya dengan cara, pada mulanya meniru dan mengalaminya dengan cara berangsur-angsur serta dengan cara latihan-latihan.
Adapun menurut Baihaki, bahwa semua agama mengenal kewajiban mendidik anak, meskipun sebagiannya terbatas dengan kewajiban pembinaan moral dan akhlak. Agama Islam yang merupakan agama terakhir dan penutup, dan mewajibkan kepada orang tua untuk mendidik anak-anaknya agar hidup sejahtera didunia dan diakhirat. Untuk mecapai kesejahteraan maka perlu dibina keseimbangan pendidikan antara kehidupan lahir dan batin, jasmani dan rohani disesuaikan dengan ajaran Allah dan Rasul-Nya.
Firman Allah dalam surat Hud ayat 61, yang artinya :
"Dialah yang telah menjadikan kamu dari bumi (tanah) dan memerintah kamu memakmurkannya".
Maksud dari ayat di atas adalah memakmurkan bumi artinya membangun dalam rangka upaya meningkatkan kualitas segala aspek kehiupan manusia dan pemenuhan kebutuhannya sehingga ia dapat lebih baik dan sejahtera.
Dengan demikian seorang anak akan tumbuh secara normal dengan menujukkan kedewasaannya, wawasan yang luas, pemikiran yang selalu didasari dengan perhitungan yang matang, berbakti dan mampu memberikan sumbangan yang dibutuhkan oleh orang tua dan masyarakat serta siap membangun berbagai bidang kehidupan. Sehingga pendidikan yang diberakan oleh orang tua akan benar-benar menghasilkan sosok generasi penerus yang diharapkan bangsa dan negara.
Orang tua adalah merupakan sekolah atau madrasah yang pertama dalam pendidikan anak, dan dia adalah guru yang pertama bagi anak-anaknya. Diungkapkan oleh seorang penyair Hafidz Ibrahim dalam syairnya :
"Orang tua adalah madrasah apabila engkau mempersiapkannya, berarti telah menyiapkan generasi muda yang baik dan gagah berani,. Orang tua itu adalah guru pertama dari semua guru, yang pengaruhnya menyentuh seluruh jagat raya". Dengan demikian bahwa keberhasilan anak tergantung kepada orang tua.
Pembahasan bab ini dimaksudkan sebagai upaya memperkenalkan . secara agak luas tentang hakekat anak dengan problema belajar. Dengan mempelajari bab ini para pembaca diharapkan memiliki pengetahuan, pemahaman dan sikap yang positif terhadap anak. dengan problema belajar serta dapat mencoba memberikan perlakukan yang sesuai dengan kebutuhan khususnya.
Cakupan pengertian tentang anak dengan problema belajar dapat dijelaskan sebagai berikut. Di sekolah-sekolah umum kita menjumpai anak yang beraneka ragam. Ada anak yang cepat tanggap dalam belajar, ada anak yang lamban dalam belajar di hampir semua mata pelajaran, ada anak yang mengalami kesulitan belajar untuk mata pelajaran tertentu, ada anak yang dasar potensinya sebenarnya bagus tetapi prestasi belajarnya selalu rendah, dan tentu saja ada yang perkembangan belajarnya biasa-biasa saja. Menghadapi kondisi seperti itu, pada umumnya guru dalam proses belajar mengajar, cenderung hanya mendasarkan pada pemenuhan kebutuhan anak rata-rata, sedangkan anak dengan kebutuhan belajar cepat ataupun lamban cenderung terabaikan. Berdasarkan hasil berbagai studi, diyakini bahwa mereka inilah yang akhirnya merupakan kelompok potensial mengulang kelas atau putus sekolah. Jadi anak yang mengulang kelas atau putus sekolah belum tentu disebabkan karena dasar potensinya yang rendah, tetapi bisa juga karena faktor lain. Faktor lain itu bisa timbul dari dalam diri anak, seperti kondisi fisik dan kesehatan, motivasi berlajar, dan dari luar seperti kondisi sekolah, lingkungan rumah, serta masyarakat.
Dalam konteks pendidikan luar biasa, kita mengenal istilah anak berkelainan. Anak berkelainan juga merupakan salah satu kondisi yang sangat potensial menyebabkan anak mengalami kesulitan dalam belajar yang dapat berdampak mengulang kelas dan putus sekolah. Anak berkelainan (exceptional children) adalah anak yang dalam hal-hal tertentu berbeda dengan anak lain pada umumnya. Perbedaan dapat terjadi pad a kondisi fisik, kesehatan, kemampuan intelektual, emosional, sosial, persepsi, motorik danlatau neurologis, dan lain-lain. Kelainan dapat berupa kondisi di bawah rata-rata dan dapat pula di atas rata-rata. Apabila kelainan ini mengakibatkan gangguan dalam fungsi sehari-hari, terutama dalam belajar, sehingga anak memerlukan layanan khusus, penyandangnya disebut anak dengan problema belajar. Pengertian ini mencakup "Anak dengan Kebutuhan Pendidikan Khusus" (children with special educational needs).
Jadi cakupan pengertian dari anak dengan problema belajar adalah : anak yang karena satu dan lain hal secara signifikan menunjukkan kesulitan dalam mengikuti pendidikan pada umumnya, tidak mampu mengembangkan potensinya secara optimal, prestasi belajar yang dicapai berada di bawah potensinya sehingga mereka memerlukan perhatian dan pelayanan khusus untuk mendapatkan hasil yang terbaik sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Anak yang mengalami gangguan atau kelainan fisik tertentu dan karena kelainannya tidak menyebabkan gangguan dalam mengikuti pendidikan biasa tidak termasuk anak dengan problema belajar, demikian juga anak berbakat. Akan tetapi jika karena kelainannya atau keberbakatannya mereka mengalami kesulitan dalam penyesuaian belajar, mereka termasuk dalam kategori anak dengan problema belajar.
E. Hakikat Anak dalam Proses Pembelajaran
1. Kewajiban Anak Didik
a. Mengormati Guru
Menghormati guru hampir bersamaan dengan menghormati kepada kedua ibu dan bapak. Mengenai ini, terungkap dalam hadist berikut ini :
“Barang siapa menghormati orang alim maka sesungguhnya telah mengagungkan Tuhannya.”(HR. Abul Hasani Al-Mawardi).
Kemudian ali berkata pula :
“Aku adalah seorang hamba dari seorang guru yang mengajar aku satu huruf bila ia menghendaki biarlah aku jual, dan kalau ia menginginkan biarlah aku di merdekakannya, dan kalau ia menginginkan biarlah aku di merdekakannya, dan kalau ia menghendaki biarlah aku menjadi budak sahaya.
Seorang Hukama bernama Iskandar Zulkarnain, pada waktu ditanya : “Mengapa kamu hormat kepada gurumu ?”Jawab dia : “ Bapakku melahirkan aku dari langit ke bumi dan guru ku melahirkanku aku dari bumu ke langit.”
Bapak kandung dinamakan Abul Ajsad, maksudnya memberikan makanan, pakaian dan yang berupa benda lainya. Sedangkan bapak guru dinamakan Abul Arwah maksudnya memberi pelajaran akhlak, budi pekerti, dan ilmu pengetahuan lainnya, yang denga itu orang mendapat keselamatan dunia dan akhirat. Asal seseorang bodoh, Kemudian pintar, jadi ulama, sarjana, mendapat jabatan tinggi lagi terhormat, itu semuanya adalah jasa guru.
Dengan itulah anak didik hendaknya menghormati guru dengan penuh rasa hormat yang tinggi, karena merekalah yang menjadikan anak didiknya berguna.
b. Tawadhu
Tawadhu dalam bahasa Indonesia “Rendah Hati”, tapi bukan merasa rendah diri atau hina. Tawadhu Yaitu tidak memandang pada diri sendiri lebih dari orang lainnya, bahkan memandang sama-sama, dan tidak menonjolkan diri. Orang yang berlebihan dalam tawadhunya di sebut Tamalluq, yaitu mejilat kepada orang diatasnya atau membujuknya. Tamalluq itu termasuk sifat yang tercela. Jadi tawadhu itu terletak di antara takabur dan Tamalluq. Takabur juga termasuk tercela (Madzmumah). Sedang tawadhu itu termasuk sifat terpuji (mahmudah)6.
Firman Allah dalam surat As-Syura ayat 215-216.
وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ. فَإِنْ عَصَوْكَ فَقُلْ إِنِّي بَرِيءٌ مِمَّا تَعْمَلُونَ.
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman. Jika mereka mendurhakaimu maka katakanlah: “ Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu kerjakan”. (QS. As-Syura : 215-216)
Dan firman-Nya lagi dalam surat Ali Imran ayat 159:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”. (QS. Ali-Imran : 159).
Bersabda Nabi Muhammad Saw sebagai berikut :
“Sesungguhnya Allah memberi wahyu kepadaku agar engkau semua bertawadhu, sehingga tidak terjadi seseorang dengan lainnya saling berbangga (bersombong-sombongan ) dan tidak pula saling menganiaya,” (HR. Muslim dan Ghairihi)7
Sifat Tawadhu Sudah dicontohkan oleh Rasulullah Saw, dalam kehidupannya sehari-hari, juga didalam pergaulan, beliau lebih dahulu mengucapkan salam, berjabat tangan, baik dengan orang kaya ataupun miskin, padahal beliau adalah orang yang paling mulia di dunia ini.
Orang yang bersifat tawadhu akan dihormati dan di hargai oleh masyarakat. Nabi Saw bersabda :
“Orang yang tawadhu(rendah Hati) akan jadi mulia karena Allah akan memuliakan.(HR. Muslim )
Dengan demikian bagi anak didik hendaknyalah bersifat tawdhu dengan sesama teman, saling menghargai sehingga tidak ada persaingan dalam pengetahuan juga tidak marah bila di kritik dan menghormati orang-orang yang kurang Ilmu. Mau menerima kebenaran dari siapa saja. Apabila sifat tawadhu sudah ditanamka sejak dini, maka anak akan terbiasa hingga dewasa selalu bersifat tawdhu.
1. Pengertian Kepribadian Anak
Kata kepribadian dalam bahasa Inggris disebut 'personality' dan asal mulanya dari bahasa Latin 'personare' yang berarti suara tembus. Istilah ini dipergunakan untuk menggambarkan suatu percakapan seorang aktor melalui topeng, yaitu tutup muka yang sering dipakainya,yang maksudnya untuk menggambarkan perilaku atau watak seseorang.
Kepribadian itu sendiri berasal dari kata pribadi yang artinya manusia sebagai perseorangan. Sedangkan arti kepribadian adalah keadaan manusia sebagai perseorangan, keseluruhan sifat-sifat yang merupakan watak orang atau dapat dikatakan juga sikap hakiki yang tercermin pada sikap seseorang membedakan dari orang lain.
Menurut zuhairini pengertian kepribadian manusia adalah "suatu perwujudan keseruhan manusia dari segi manusiawiannya yang unik baik lahir maupun batin dan dalam hubungan dengan kehidupan sosial dan individunya".
Kepribadian bersifat psikolfisik yang berarti baik faktor maupun rohani individu itu sama-sama berperan penting di dalam membentuk kepribadian seseorang. Di samping itu juga kepribadian bersifat unik, artinya kepribadian seseorang sifatnya khusus atau khas, yang mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakan dari individu yang lain. Kepribadian itu bersifat dinamis, yang menunjukan bentuk tingkah laku yang terintegrasi dan menggambarkan suatu interaksi antara potensi-potensi yang diperoleh dari lahir dan berbagai pengaruh dari lingkungan dimana ia hidup.
Masa anak adalah masa peka yang mudah dipengaruhi oleh susuatu yang datang dari luar. Oleh karena itu kepribadian anak adalah kesatuan organisasi seluruh sifat-sifat anak yang masih mudah dipengaruhi oleh faktor dari luar dirinya yang akan menentukan penyesuaian dirinya yang unik atau khas terhadap lingkungannya, sehingga kemampuan secara dasar yang dimiliki sejak lahir belum tampak akan berkembang secara optimal kelak setelah ia dewasa.
2. Aspek-aspek Kepribadian Anak
Menurut Ludwing Klagen "Kepribadian itu terdiri dari tiga aspek, yaitu :
a) Materi atau bahan
b) Struktur
c) Kualitas (sistem dorongan-dorongan)".
Untuk lebih jelasnya penulis akan menjelaskan tentang aspek-aspek kepribadian tersebut :
1) Materi atau Bahan
Materi atau bahan, yang merupakan salah satu aspek daripada kepribadian berisikan semua kemampuan (daya) pembawaan beserta talenta-talentanya. Materi ini merupakan aspek pertama yang disediakan oleh kodrat untuk dipergunakan dan dipertimbangkan oleh mansia.
2) Struktur
Mengenai struktur ini Klagen bermula dengan memberikan pengertian tentang istilah struktur. Istilah ini adalah sebagai pelengkap dari pada istilah materi. Bila materi dipandang sebagai sifat-sifat isi bahan, maka struktur dipandang sebagai sifat-sifat bentuknya atau sifat-sifat formalnya.
Menurut Klagen terjadinya perberdaan tingkah laku seseorang itu harus ditinjau dari sudut adanya dua kekuatan yang saling berhadapan satu sama lain. Dua kekuatan itu adalah kekuatan pendorong dan kekuatan penghambat. Pertimbangan antara kedau kekuatan inilah yang menentukan tingkah laku seseorang. Menurutnya pula ada tiga bagian dalam struktur ini :
a. Temperament, yaitu sebagai sifat daripada struktur. Karena itu perbedaan-perbedaan temperament berakar pada pertimbangan antara kedua kekuatan itu, yaitu kekuatan pendorong dan penghambat.
b. Perasaan, tiap-tiap perasaan mempunyai dua sifat pokok yaitu :
- Didalam tiap perasaan terletak kegaiatan batin, yaitu daya untuk membeda-bedakan keinginan yang tekandung dalam perasaan.
- Didalam tiap perasaan terdapt corak perasaan, yaitu taraf-taraf kejelasannya.
c. Daya ekfresi. Manusia mempunyai dorongan-dorongan nafsu. Dorongan nafsu ini adalah proses jiwa ; dorongan-dorongan itu baru dapat disaksikan kalau telah menampakkan diri dalam prose-proses jasmaniah, seperti ; perubahan jantung, perubahan pernapasan dan sebagainya. Pernyataan proses-proses kejiwaan ini disebut secara teknis 'ekspresi'. Ekpresi ini pun sebagai sifat struktur tergantung kepada kedua kekuatan yang saling berlawanan, yaitu keadaan perangsang dan hambatan untuk ekpresi.
3. Kualitas (sistem dorong-dorongan).
Antara kemauan dan perasaan terjadilah perlawanan atau kebaikan yang sedalam-dalamnya. Perlawanan (antogonisme) inilah menjadi dasar daripada sistem dorongan-dorongan.
Sedangkan menurut Ahmad D. Marimba aspek-aspek kepribadian itu digolongkan dalam tiga hal :
1) Aspek-aspek jasmaniah, meliputi tingkah laku yang nampak dari luar, misalnya : cara berbicara.
2) Aspek-aspek kejiwaan, meliputi aspek-aspek yang tidak dapat segera dilihat dari luar, misalnya : cara berpikir, sikap, minat, dan sebagainya.
3) Aspek-aspek kerohanian yang luhur, meliputi, aspek-aspek kejiwaan yang lebih abstrak yaitu filsafat hidup dan kepercayaan.

Dari pendapat para ahli tersebut di atas, dapat kita pahami bahwa kepriadian seseorang bisa dilihat dari cara orang itu berbuat, berpikir dan sikap yang ditampakkannya dalam kehidupan sehari-hari, disamping hal-hal yang hanya dirasakan oleh pribadi orang itu sendiri.
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepribadian Anak
Pribadi manusia itu dapat berubah-ubah, itu berti bahwa manusia itu mudah atau dapat dipengaruhi oleh sesuatu. "Faktor-faktor yang mempengaruhi kepribadian itu meliputi :
1) Faktor biologis, yaitu faktor yang berhubungan dengan keadaan jasmani atau seringkali disebut faktor fisiologi. Faktor ini mengenai masalah konstitusi tubuh yang meliputi keadaan tentang besar, tinggi, berat, badan dan lain sebagainya. Keadaan jasmanai setiap orang ada yang diperoleh dari keturunan, dan ada pula yang merupakan pembawaan anak/orang itu masing-masing. Keadaan fisik/konstitusi tubuh yang berlainan itu menyebabkan sikap, sifat-sifat serta temperamen yang berbeda-beda pula.
2) Faktor sosial, yang dimaksud faktor sosial adalah masyarakat, yakni menusia-manusia lain disekitar individu yang mempengaruhi individu tersebut. Termasuk ke dalam faktor ini adalah adat istiadat, norma-norma atau kaidah-kaidah sosial dan agama.
3) Faktor kebudayaan, beberapa aspek kebudyaan yang sangat mempengaruhi perkembangan dan pembentukan kepribadian antara lain :
a) Nilai-nilai di dalam masyarakat terdapat nilai-nilai hidup dan kebudayaan yang harus dijunjung tinggi oleh manusia-manusia yang hidup di dalam masyarakat tersebut.
b) Pengetahuan dan keterampilan, pengetahuan yang dimiliki seseorang sangat mempengaruhi sikap dan tindakannya. Tinggi rendah dari pengetahuan dan keterampilan seseorang atau suatu masyarakat dicerminkan pula oleh tinggi rendahnya kebudayaan masyarakat tersebut.
c) Bahasa, disamping faktor-faktor kebudayaan tersebut, bahasa yang merupakan aspek kebudayaan juga merupakan salah satu faktor yang turut menentukan ciri-ciri khas dari suatu kebudayaan. Adapun hubungan yang erat antara bahasa dan kepribadian, manusia disebabkan karena :
• Bahasa merupakan komunikasi antara individu yang sangat penting.
• Bahasa adalah alat berpikir bagi manusia.
Sedangkan Agus Sujanto dkk, mengatakam bahwa "faktor-faktor yang mempengaruhi kepribadian itu ada dua, yaitu : faktor dasar dan faktor lingkungan".
Faktor dasar di sini dimaksudkan sebagai faktor pembawaan sejak lahir alias faktor biologis. Anak lahir menurut paham ini telah membawa sifat bawaan yang diperoleh ibu ketika mengandung anaknya. Makanya, sebagian orang tua meyakini bahwa anak yang tinggi IQ-nya, mereka seperti itu IQ-nya.
Sedangkan faktor lingkungan di sini dimaksudkan sebagai faktor yang mempengaruhi anak di luar dirinya. Anak yang lahir dan berkembang secara tidak langsung dipengaruhi oleh lingkungan sekitar ia berkembang. Oleh karena itu lingkungan menjadi salah satu faktor penting dalam membentuk kepribadian anak.
Sejak dulu memang sudah disepakati bahwa pribadi setiap orang tumbuh atas dua kekuatan dari dalam, yang sudah dibawa sejak lahir, yang sering disebut dengan kemapuan-kamapuan dasar dan kekuatan dari faktor lingkungan, atau yang oleh ki. Hajar Dewantar disebut Faktor Ajar. Maksudnya proses belajar terjadi dalam kondisi lingkungan seperti ini. Terjadi interaksi anak dengan lingkungan, baik lingkungan sekolah , keluarga, maupun masyarakat sekitarnya.
5. Tahap-tahap Perkembangan Kepribadian Anak
Banyak filsuf, dokterk ahli pendidikan, dan ahli teologi memberikan pandangan mengenai anak dan latar belakang perkembangannya serta pengaruh lingkungan hidup anak.
Pekembangan kepribadian anak tertentu melalui tahapan-tahapan atau priode-periode seperti halnya perkembangan aspek-aspek lain. Kepribadian tidak muncul sekaligus pada waktu anak lahir, tetapi kepribadian merupakan suatu proses yang mengandung unsur kontinuitas dan dikontinuitas, tetap dan berubah lama dan baru, sehingga dapat dikatakan bahwa ciri perkembangan kepribadian adalah stabil sekaligus berubah. Tiap tahap perkembangan itu mempunyai ciri-ciri yang dicapai oleh anak, sekalipun dalam hal ini tidak ada perbedaan atau batas-batas yang jelas dan lebih tergantung pada setiap individu anak dari norma-norma pada umumnya yang terjadi pada anak.
Patut diakui di sini bahwa manusia belajar, tumbuh, dan berkembang dari pengalaman yang diperoleh melalui kehidupan keluarganya. Utamanya sampai pada penemuan bagaimana ia menempatkan di dalam keseluruhan kehidupannya. Anak dilahirkan dalam perbedaan kemampuan bakat dan minat, oleh karena itu harus diperhatikan sebab bagian faktor prestasi anak.
6. Menanamkan Dasar-dasar Agama pada Anak.
Kita tahu bahwa keluarga adalah tempat pebentukan anak sejak dini karena anak akan mejadi apa, dan anak akan kemana, keluargalah yang mengarahkan, keluargalah yang membentuknya. Bila keluarga lalai dalam hal ini, anak akan lepas kontrol, anak akan berbuat dan melakukan sesuatu hal sesuai dengan tempat yang membentuknya. Maka sejak dini kita sebagai orang tua perlu menanamkan nilai-nilai pada anak, yakni penanaman nilai-nilai agama, agar kelak anak dalam kehidupan mampu dan tabah menghadapi tantangan-tantangan zaman ini.
Usaha orang tua untuk menanamkan nilai keagamaan pada anak usia dini adalah dengan menerapkan metode pembiasaan dan latihan keagamaan. Menurut Kartini Kartono adalah bentuk tingkah laku yang konstan dari serangkian penyesuaian diri terhadap lingkungan yang mengandung unsur afektif (perasaan). Sementara menurut Nashih Ulwan, pembiasaan atau pelaksanaan dari kebiasaan merupakan upaya praktis dalam pembiasaan dan persiapan.
Pembisaan seharusnya mulai ditanamkan kepada anak sejak dini. Pembiasaan keagamaan ditanamkan atau diberikan kepada anak dengan cara yang lebih dekat dengan aktifitas keseharian dan bersifat konkret. Sehingga agama mempunyai arti bagi anak dan membekas dalam jiwanya. Pada akhirnya, terbentuklah bangunan pribadi anak yang baik sebagimana menjadi dambaan setiap orang tua. Disamping itu, penanaman pembiasaan hidup beragama dalam keluarga dimaksudkan agar anak gemar melakukan ajaran agama dan tidak merasa berat untuk melaukannya, serta pada gilirannya agama dalam pandangan anak dianggap sebagai kebutuhan utama dan tidak bisa diabaikan sedikitpun.
Oleh sebab itu agama mempunyai peranan penting dalam pendidikan dan perkembangan anak. Juga mempunyai pengaruh yang kuat bagi kepribadian seseorang di dalam kehidupan masyarakat. Krena agama akan mengatur kehidupan individu dan masyarakat dengan suatu aturan yang tegak di azas keadilan, kebijaksanaan, kebersamaan, gotong royong, serta persaudaraan.
Tentang pendidikan agama atau menenamkan nilai-nilai sejak dini. Akan memberikan perasaan puas dengan kesehatan mental dan keselamatan pribadi. Seorang muslim yang sejak dini telah mendapatkan pendidikan agama atau nilai agama, ia akan merasa ada saudara dan benteng yang kuat. Selalu mendampinginya dan menjaganya ketika dia terkena musibah, goncangan dan kekalutan hidup. Akan berbeda halnya dengan orang-oarang yang tidak mempunyai dasar nilai-nilai agama. Orang ini akan mudah terjangkit kekalutan, kegoncangan jiwa.
Apabila kita ingin kelak anak-anak kita tumbuh dengan baik jasmani dan rohaninya, menuju ke arah hidup bahagia, dapat membahagiakan orang lain, jujur, benar, adil serta berbudi luhur. Maka perlu adanya penanaman pribadi yang taqwa sejak masa kanak-kanak karena kita ketahui salah satu unsur kepribadian adalah keyakinan diri dalam Islam tertanam dengan rasa keimanan. Dengan keimananinilah manusia akan membawa dirinya.
Oleh karena itu penanaman anak dengan ketaqwaan dan keimana kepada Allah akan membawa anak untuk menghiasi dirinya dengan tawadhu dan merasa sama dengan yang lainnya. Sesuai dengan firman Allah (QS. Al Qoshos: 28:77) :
            
“Tuntutlah dengan karunia yang dilimpahkan Allah kepadamu itu kebahagiaan akhirat, tapi jangan lupakan bagianmu di dunia ini”.
Dengan menanamkan dasar-dasar agama pada anak usia dini maka orang tua sudah memenuhi kewajibannya. Orang tua yang memberikan penanaman dan pengertian tentang agama sejak dini kepada anak, maka akan tertanam sifat mandiri pada anak. Yaitu kelak anak akan mengetahui mana yang halal dan yang haram, benar dan salah, baik dan buruk. Anak akan membentuk diri dan mempunyai kontrol diri. Sehingga anak akan meninggalkan semua perbuatan yang negatif, meskipun tanpa dilihat orang tuanya atau orang lain. Bila anak melakukan perbuatan salah, ia akan mengakui segera dan menyesal serta bertaubat.
Oleh karenanya penanaman dasar-dasar agama pada anak usia dini sangatlah penting bagi kehidupan anak dimasa yang akan datang, karena itu para orang tua sangat diwajibkan untuk mananamkan agama sejak kecil pada anak-anak dalam lingkungan keluarga, melalui pendidikan dengan pembiasaan yang merupakan pilar yang kokoh dalam membentuk dan menanamkan pondasi bangunan keagamaan anak sebagai persiapan menghadapi tantangan kehidupan dimasa-masa berikutnya.
G. Anak dengan Problema Belajar
Ada beberapa klasifikasi anak dengan problema belajar. Data Departemen Pendidikan Amerika Serikat misalnya, mengelompokkan anak dengan problema belajar (istilah yang digunakan adalah children with special need) menjadi (1) anak berkesulitan belajar, (2) gangguan wicara, (3) retardasi mental, (4) gangguan emosi, (5) gangguan fisik dan kesehatan (6) gangguan pendengaran, (7) gangguan penglihatan, dan (8) tuna ganda (Lynch Lewis, 1988).
Sementara itu ahli lain, Ashman dan Elkins (1994), membagi jenis-jenis anak dengan kebutuhan khusus menjadi (1) anak berbakat, (2) gangguan komunikasi, (3) berkesulitan belajar, (4) gangguan emosi dan perilaku, (5) gangguan penglihatan, (6) gangguan pendengaran, (7) gangguan intelektual, dan (8) gangguan fisik
Di di Indonesia anak dengan kebutuhan khusus tersebut dalam 'stilah perundang-undangan dikenal sebagai anak berkelainan (Pasal 5 : 2 UUSPN No. 20l2003) dan anak yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa (Pasal 5 : 4 UU No. 20l2003). Dalam UUSPN yang lama No. 2l1989 dan PP No. 72l1991 disebut berkelainan fisik danlatau mental dan atau perilaku. Mereka terdiri atas tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, dan tunaganda. Di samping itu terdapat anak yang mempunyai kemampuan dan kecerdasan luar biasa. Mereka ini berhak mendapatkan perhatian khusus (USPN No. 20/1989, Ps 8:2). Anak dengan problema belajar, tidak secara eksplisit disebutkan dalam UUSPN 1989, UUSPN No. 20/2003 maupun PP No. 72/1991 tentang Pendidikan Luar Biasa.
Dengan memperhatikan berbagai literatur serta kebijakan pendidikan luar biasa di Indonesia, untuk kepentingan pelayanan pendidikan khusus di sekolah umum, semua anak yang memerlukan pendidikan khusus dikategorikan sebagai anak dengan problema belajar.
Dilihat dari gejala yang nampak, anak dengan problema belajar dapat digambarkan sebagai berikut :
a) tidak dapat mengikuti pelajaran seperti yang lain,
b) sering terlambat atau tidak mau menyelesaikan tugas,
c) menghindari tugas-tugas yang agak berat,
d) ceroboh atau kurang teliti dalam banyak hal,
e) acuh tak acuh atau masa bodoh,
f) menampakkan semangat belajar yang rendah,
g) tidak mampu berkonsentrasi, mudah berubah-ubah,
h) perhatian terhadap suatu objek sing kat,
i) suka menyendiri, sulit menyesuikan diri,
j) murung,
k) suka memberontak, agresif, dan meledak-Iedak dalam merespon ketidakcocokan,
hasil belajar rendah

H. Faktor Penyebab Anak Mengalami Problema Belajar
Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab anak mengalami problema belajar. Secara umum dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Perbedaan Tingkat Kecerdasan
Setiap anak sekalipun ia lahir kembar, tidak ada yang sama. Perbedaan individual ini menyebabkan tidak mudah memberikan pelayanan yang sesuai dengan masing-masing anak. Jika perbedaan itu tidak cukup signifikan, maka pelayanan secara massal atau kolektif dapat dilakukan. Jika perbedaan itu sangat mencolok, misalnya tingkat kecerdasan, kreativitas, kecacatan, dan motivasi, maka pada kondisi anak-anak seperti ini, maka diperlukan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan khususnya.
Menurut Mulyasa (2003) setidaknya ada lima aspek perbedaan individual yang harus diperhatikan agar anak tidak mengalami problema dalam belajar. Kelima aspek tersebut adalah perbedaan tingkat kecerdasan, perbedaan kreaivitas, perbedaan cacat fisik, perbedaan kebutuhan khusus, dan perbedaan perkembangan kognisi.
Penggolongan terhadap tingkat kecerdasan (IQ) seseorang dihitung dengan membagi usia mental dengan usia kronologis serta mengalikannya dengan 100 (Till, 1971). Model pengukuran ini antara lain dikembangkan oleh Alfred Binet (1905), Lewis M. Terman (1916), Thurstone (1938). Tokoh lain yang juga dikenal sebagai pengembang tes IQ adalah Wechsler yang pertama kali mempublikasikan karyanya pada tahun 1949 dan direvisi tahun 1973 dengan nama WISE (Wechsler Intelligence Scale for Children) untuk anak usia 5 - 16 tahun. Sedangkan untuk anak usia 16 tahun ke atas diterbitkan tahun 1955 dengan nama tes WAIS (Wechsler Adult Intelligence Scale). Untuk anak usia 4 - 6,5 tahun Wechsler mengembangkan tes dengan WPPSI pada tahun 1967 (Wechsler Preschool and Primary Scale of Intelligence)
Salah satu jenis tes kecerdasan adalah yang dikembangkan oleh Thurstone yang dikenal dengan Primary Mental Abilities Test atau tes kemampuan mental dasar, yang meliputi kemampuan-kemampuan sebagai berikut :
1) Verbal comprehention : kemampuan untuk memahami ide-ide yang diekspresikan dengan kata-kata.
2) Number: kemampuan untuk menalar dan memanipulasi secara matematis.
3) Spatial: kemampuan untuk menvisualisasikan obyek¬obyek dalam bentuk ruang.
4) Reasoning: kemampuan untuk memecahkan masalah
5) Perceptual speed : kemampuan menemukan persamaan-persamaan dana ketidaksamaan di antara obyek-obyek secara tepat.
Berdasarkan hasil tes kecerdasan, Till (1971) menggolongkan tingkat IQ seseorang menjadi sebagai berikut :
a) Golongan anak dengan keterbelakangan mental yang berat, lemah pikiran atau cacat mentalltunagrahita sedang Mereka memiliki 1Q 50 ke bawah. Mereka tidak mung kin dapat mengikuti pendidikan biasa, mereka lebih banyak memerlukan latihan untuk mengurusi diri sendiri
b) Golongan anak dengan keterbatasan mental yang lebih ringan dengan IQ antara 50 - 70. Mereka sering juga disebut sebagai anak moron atau tunagrahita ringan. Mereka dapat dididik dan belajar membaca, menulis, berhitung sederhana serta dapat mengembangkan kecakapan bekerja secara terbatas. Untuk melayani mereka diperlukan latihan khusus.
c) Golongan anak dengan lamban belajar (slow learner) atau sebutan kasarnya anak 'bodoh' (istilah ini tidak tepat dan tidak perlu digunakan). Mereka memiliki tingkat IQ antara 70 - 90. Golongan ini dapat dibantu dengan pemanfaatan metode dan strategi serta membutuhkan waktu yang khusus, di samping kesabaran guru, untuk mencapai hasil yang optimal.
d) Golongan anak rata-rata atau menengah dengan IQ 90¬-110, merupakan bagian yang paling besar jumlahnya, sekitar 45 - 60 persen. Mereka bisa belajar secara normal dan wajar dalam kelas reguler tanpa pelayanan khusus.
e) Golongan anak di atas rata-rata dengan IQ 110 - 130 sering disebut sebagai anak cerdas, superior atau anak berbakat. Anak dengan kategori ini memerlukan leyanan individual untuk mengembangkan dan mewujudkan potensinya secara opimal.

f) Golongan anak 'genius' yaitu mereka yang memiliki 10 140 ke atas. Mereka mampu belajar jauh lebih cepat dari golongan lainnya. Jika mereka tidak mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan potensinya, akan menimbulkan masalah pad a dirinya, bahkan juga Iingkungannya, dan di sekolah mereka dapat menjadi anak yang 'under achiever'.
Dari gambaran tersebut diketahui bahwa, perbedaan kecerdasan menjadi salah satu faktor penyebab anak akan mengalami problema belajar atau tidak jika mereka dimasukkan ke dalam kelas-kelas biasa atau regular

2. Perbedaan Kreatifitas
Seperti halnya kecerdasan (IQ), kreativitas juga dapat diukur dengan menggunakan tes tertentu, seperti tes kreativitas figural dan tes kreativitas verbal (Utami Munandar, 1995). Perbedaan tingkat kreativitas juga dapat menjadi sumber penyebab anak mengalami problema dalam belajar. Untuk mata pelajaran tertentu yang membutuhkan tingkat imajinasi dan kreativitas tinggi terutama yang menyangkut pemecahan masalah yang sulit, seperti matematika, fisika, kimia, potensi kreativitas ini sangat diperlukan. Untuk itu diperlukan guru yang mengerti bagaimana memupuk dan mengelola potensi kreativitas ini sehingga tidak menjadi sumber kesulitan dalam belajar.

3. Perbedaan Kelainan Cacat Fisik
Perbedaan individu dalam hal kelainanlcacat fisik antara lain kelainan penglihatan (tunanetra), kelainan pendengaran (tunarungu), kelainan wicara (tunawicara), kelainan anggota tubuh dan gangguan motorik lainnya karena kerusakan otak (tunadaksa). Terhadap anak-anak yang mengalami hambatan-hambatan di atas, diperkirakan akan mengalami kesulitan dalam mengikuti pendidikan reguler, dan karenanya diperlukan sikap dan layanan yang berbeda dalam rangka membantu perkembangan pribadi mereka.
Anak-anak seperti ini tidak harus dipisahkan dari sekolah reguler. Mereka bisa dilayani pendidikannya di sekolah regular, tetapi denga n penanganan khusus atau penanganan individual. Mengasingkan mereka dari sekolah-sekolah umum, akan menghilangkan hak mereka untuk mendapatkan kehidupan yang layak, dan hanya akan mengasingkan anak dari dunia yang sesungguhnya.
Sehubungan dengan anak-anak yang mengalami hambatan fisik ini, Ornstein dan Levine (1966) dalam Mulyasa (2003) menegaskan sebagai berikut :
1) Orang yang mengalami hambatan, bagaimanapun hebatnya ketidak mampuan mereka, harus diberi kebebasan dan pendidikan yang sesuai.
2) Penilaian terhadap mereka harus adil dan menyeluruh.
3) Orangtua atau wali mereka harus adil, dan boleh memprotes keputusan yang dibuat oleh pimpinan sekolah (jika merugikan anak-pen).
4) Rencana pendidikan individual yang meliputi pendidikan jangka panjang dan jangka apendek harus diberikan. Harus pula diadakan tinjauan ulang terhadap tujuan dan metode yang di[pilih.
5) Layanan pendidikan diberikan dalam lingkungan yang akan terbatas, anak-anak dapat ditempatkan di kelas khusus atau terpisah pada saat tertentu untuk memberikan layanan yang sesuai bagi mereka.
4. Perbedaan kebutuhan khusus
Secara umum, manusia termasuk anak-anak memiliki kebutuhan dalam kehidupannya. Menurut Maslow (1970) percaya bahwa setiap manusia memiliki lima kategori kebutuhan yang membentuk suatu hirarki dari yang paling Pokok atau dasar hingga yang paling tinggi, ialah kebutuhan fisiologis, seperti oksigen, makan dan minum, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan untuk diakui, kebutuhan untuk dihargai, dan kebutuhan untuk aktualisasi diri
Sementara itu Hurlocks (1962) mengemukakan bahwa ada duabelas kategori kebutuhan manusia khususnya dari aspek psikologis, ialah kebutuhan

1) Penerimaan : kebutuhan untuk merasakan bahwa orang lain bersikap baik atau positif, hormat, mendukung atau menyetujui, tidak menolak dirinya.
2) Prestasi kebutuhan untuk memperoleh, mencapai, menerima, menang, dan sebagainya.
3) Kasih sayang : kebutuhan untuk dicintai, dihargai.
4) Persetujuan atau rstu : kebutuhan untuk melihat orang lain menyenangkan, menghindari kritik, kesalahan dan hukuman.
5) Menjadi bagian : kebutuhan untuk merasa sebagai bagian dari suatu kelompok atau lingkungan.
6) Kesesuaian : kebutuhan untuk menjadi sebagaimana orang lain, menghindari perbedaan.
7) Ketergantungan : kebutuhan untuk mendapatkan dukungan emosional, perlindungan, perhatian, dorongan dan bantuan dari orang lain.
8) Ketidak tergantungan :kebutuhan untuk bebas, mandiri, keputusan sendiri, kepercayaan.
9) Penguasaan - kekuasaan (menguasai - berkuasa) : kebutuhan untuk mengendalikan, berkuasa, memimpin, mengelola, memerintah, mengatasi masalah, mengatasi hambatan, mempengaruhi orang lain.
10) Pengenalan atau pengakuan : kebutuhan untuk diketahui, dikenal, dianggap sebagai pribadi yang unik, dibedakan dari yang lain, tidak dianggap sama.
11) Pernyataan diri : kebutuhan untuk berfungsi, belajar mengerti, berformasi
12) Dimengerti : kebutuhan untuk merasa dalam hubungan yang simpatik dengan orangtua, saudara, teman, merasa bebas bergaul dan mengemukakan ikiran tanpa kehilangan kasih sayang.

Dengan memperhatikan kebutuhan individual setiap anak, maka kesulitan individu dapat dikurangi, dan dengan mengabaikan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut, maka akan menjadi sumber utama timbulnya problema dalam belajar pada diri anak.

5. Perbedaan pertumbuhan dan perkembangan kognisi
Seperti diuraikan sebelumnya, prkembangan kognitif seseorang sesuai teori Piaget melaju dalam empat tahap, ialah tahap sensorimotor (0-2 tahun), tahap preoperasional (2-7 tahun), tahap operasional kongkrit (7-11 tahun), dan tahap operasi formal (11 tahun ke atas). Menurut teori trsebut, proses kematangan merupakan kontinuitas berdasarkan pertumbuhan sebelumnya. Walaupun tahap-tahap tersebut dibatasi dalam suatu periode, sebenarnya semuanya dapat tumpang tindih (overlap) dan sesekali tidak terikat persis oleh usia tertentu.
Jika pada anak usia tertentu belum mencapai taraf perkembangan yang diharapkan, sesungguhnya anak dalam kondisi tingkat kematangan yang berbeda dengan rata-rata anak pada umumnya. Atau sebaliknya, pada usia tertentu anak telah mencapai tingkat perkembangan yang melampaui batas kelompok usianya, mungkin ia memiliki tingkat kematangan yang jauh lebih cepat dari rata-rata anak usia sebayanya.
Dalam kondisi seperti inilah kemungkinan problema belajar pada diri anak akan muncul jika idak mendapatkan perhatian dan pelayanan yang sesuai dari guru maupun orangtua.
Ada anak-anak yang karena faktor ekonomi dan kemiskinan, ia tidak mampu mengikuti pendidikan secara wajar, sehingga berprestasi belajar yang rendah. Ada pula anak-anak yang lahir dan dibesarkan dalam lingkungan budaya terasing, ad at terpencil Karena kondisi latar belakang budaya terse but mereka tidak mampu mengikuti pendidikana reguler seperti yang lain sehingga prestasi belajarnya rendah. Baik karena faktor ekonomi maupun budaya atau faktor keterpencilan, keduanya dapat menjadi sumber penyebab hasil belajar anak. Jika anak tersebut sebenarnya memiliki IQ normal bahkan di atas normal, tetapi karena faktor ekonomi dan kultural terse but sehingga prestasinya rendah, mereka disebut anak yang mengalami hambata(l belajar

6. Prevalensi Anak dengan Problema Belajar
Memang belum ada studi secara khusus tentang angka prevalensi anak dengan problema belajar. Namun, jika kita menggunakan prevalensi anak dengan berkesulitan belajar, menurut beberapa literatur berkisar antara 1 %-3% (Lovit, 1989). Oi beberapa negara industri seperti Amerika dan Eropa Barat, jumlah anak berkesulitan belajar diperkirakan mencapai 15% dari populasi anak sekolah tingkat dasar (Gaddes, 1985). Oi negara-negara berkembang seperti Indonesia, prevalensi anak berkesulitan belajar diperkirakan lebih besar. Penyebabnya adalah masih cukup tinggi angka kurang gizi pada ibu hamil, bayi dan anak, angka sakit diare, angka penyakit persalinan serta infeksi susunan saraf pusat pada bayi. Gangguan atau kondisi di atas sering kali mengakibatkan terjadinya kesulitan belajar pada anak.
Dengan menggunakan instrumen khusus, Balitbang Dikbud dalam penelitian di empat propinsi pada tahun 1996 dan dilaporkan pad a tahun 1997, menemukan bahwa sekitar 10% anak mengalami kesulitan belajar menulis, 9% mengalami kesulitan belajar membaca, dan lebih dari 8% mengalami kesulitan berhitung. Oi samping itu, diketahui pula bahwa 22% anak berkesulitan belajar mempunyai inteligensi taraf tinggi, 25% taraf sedang dan 52% taraf kurang.
Sejalan dengan temuan di atas, dari hasil diagnosis terhadap 659 pasien berkesulitan belajar di RS dr. Karyadi Semarang dalam kurun waktu tahun 1991, ditemukan 26,3% mengalami gangguan pemusatan perhatian plus Disfungsi Minimal Otak (OMO) lain, 18,6% mengalami disfasia (gangguan bahasa), disleksia (gangguan membaca) dan diskalkulia (gangguan berhitung), 11 % gangguan tunggal disfasia, 10,9% disfasia dan dispraksia (gangguan gerak), 9,4% ganggunan memori (ingatan) dan OMO lain, 8,7% gangguan pemusatan perhatian, ' 6,5% hiperaktif, 3,2% gangguan memori auditorik, dan sisanya (4,6%) gangguan lain-lain (Bambang Hartono, 1991).

7. Layanan Yang Diperlukan
Untuk membantu anak yang mengalami problema dalam belajar, maka diperlukan program layanan secara terpadu, baik dari guru di sekolah, maupun orangtua di rumah. Beberapa bentuk layanan yang dapat dilakukan oleh masing-masing pihak, dapat disebutkan antara lain sebagai berikut :
a. Peran Guru di Sekolah :
1) Guru harus memahami perbedaan individual anak
2) Guru perlu melakukan identifikasi atas kekuatan dan kekurangan atau kelemahan dari masing-masing anak didiknya.
3) Guru mencoba mengelompokkan anak didik di kelas dalam beberapa kelompok sesuai dengan tingkat permasalahan yang perlu diatasi.
4) Guru bekerjasama dengan orangtua dan profesi lain untuk mendapatkan hasH pembelajaran yang optimal.
5) Guru harus menyiapkan materi, strategi dan media pembelajaran yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan peserta didik.
6) Pada anak-anak yang memiliki kecepatan belajar yang tinggi, guru dapat mengembangkan model pembelajaran pengayaan danlatau akselerasi. Pada anak yang memiliki kecepatan belajar yang rendah, guru dapat memberikan layanan remedial dan atau porsi waktu yang lebih dibandingkan dengan yang lain.
7) Dalam sistem evaluasi, guru sebaiknya tidak cukup hanya mengukur aspek akademik dari yang dicapai oleh anak. Aspek-aspek lain di bidang kemampuan non akademik juga perlu diperhatikan.
8) Umpan balik atas keberhasilan atau kegagalan anak dalam perkembangannya di sekolah, harus selalu disampaikan kepada orangtua. Catatan kualitatif kemajuan-kemajuan anak dalam belajar perlu dicatat untuk bahan laporan guru dengan kepala sekolah dan orangtua.
8. Peran Orang Tua
Orangtua memiliki peranan yang penting bagi upaya membantu anak yang mengalami problema dalam belajar.
Beberapa tindakan orangtua yang diperlukan antara lain:
1) Menerima adanya perbedaan pad a diri anak
2) Memberikan perhatian yang proporsional dan tidak membeda¬bedakan dalam memberikan perlakuan kepada anaknya sesuai dengan karakteristik khususnya.
3) Menyampaikan data dan informasi tentang perkembangan anak secara terbuka kepada sekolah dan guru.
4) Menjalin kerjasama secara ikhlas dan jujur dengan guru untuk membantu anaknya yang mengalami problema dalam belajar.
5) Tidak memaksakan kehendak kepada anak untuk pencapaian suatu keinginan dan harapan dari orangtua.

I. Peran Guru dalam Pengembangan Rancangan Pembelajaran
1. Hakikat Proses Pembelajaran
Proses pembelajaran sebagai proses implementasi kurikulum, menuntut peran guru untuk mengartikulasikan kurikulum/bahan ajar serta mengembangkan dan mengimplementasikan program-Program pembelajaran dalam suatu tindakan yang akurat dan adekuat. Peran ini hanya mungkin dilakukan jika guru memahami betul tujuan dan isi kurikulurm serta segala perangkatnya untuk mewujudkan proses pembelajaran yang optimal.
lstiláh pembelajaran bukanlah hal yang baru dikenal bahkan mungkin kita tidak hanya mengenal istilah itu melainkan pernah melakukannya. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan proses pembelajararan? Apakah pcmbelajaran itu proses menyampaikan pengetahuan kepada siswa? Proses melatih siswa sehingga dia terampil melakukan sesuatu? Atau proses membantu siswa belajar?
2. Pembelajaran sebagai Inkuiri Refleks
Cara kita memandang esensi pembelajaran akan bergantung kepada bagaimana kita memandang pendidikan. Apakah kita memandang pendidikan sebagai suatu hasil atau sebagai proses. Dengan kata lain apakah kita memandang pendidikan sebagai kualitas kata benda atau kualitas kata kerja. Cara kita membedakan kedua hal ini akan mempengaruhi cara mempelajari pendidikan dan perilaku kita sebagai guru. Jika pendidikan dipandang sebagai kata benda, berarti bahwa pendidikan itu adalah sesuatu yang telah diperoleh. Sedangkan jika dipandang sebagai kata kerja, pendidikan adalah proses inkuiri yang berkelanjutan.
Pandangan terakhir adalah pandangan yang memungkinkan. tejadinya proses pembelajaran yang lebih efektif dan mengarah kepada pengembangan profesi guru dan perkembangan siswa secara optimal. Di dalarn kajian ini, proses pembelajaran dipandang sebagai proses membantu peserta didik belajar, membantu peserta didik mengembangkan dan mengubah perilaku (pengetahuan, afektif, dan psikomotor), proses membantu peserta didik merangkai gagasan, sikap, pengetahuan, apresiasi, dan keterampilan.
Di dalam pembelajaran, guru terlibat secara mendalam di dalam berbagai kegiatan seperti menjelaskan, merumuskan, membuktikan, menyimpulkan, dan mengklasifikasi-kan. Guru tidak sekédar bertugas mentransfer pengetahuan, sikap, dan keterainpilan, mereka membantu peserta didik rncnerjemahkan semua aspek itu ke dalain perilaku-perilaku yang berguna dan bermakna.
Sebagai proses inkuiri refloktif pembelajaran mengandung makna sebagai proses sintesis dan analisis. Inkuiri di dalam pembelajaran mengandung makna mempertanyakan, menjelajahi lebih jauh, dan memperluas pemahaman lentang situasi. Sedangkan refleksi mengimplikasikan adanya dugaan, penilaian, dan pertirnbangan faktor-faktor yang signifikan terhadap pencapaian tujuan. Dengan. kata lain proses pembelajaran sebagai inkuiri refleksi sangat menekankan unsur aktivitas dan dinamika proses yang harus dipahami dan dihayati guru. Proses pembelajaran tidak sekedar menjadi wahana belajar bagi peserta didik tetapi juga wahana belajar bagi guru. Di dalain proses pembelajaran terjadi proses menjawab pertanyaan, mempertasiyakan jawaban, dan menipertanyakan pertanyaan. Jelasnya proses peinbelajaran adalah proses yang dinamis, proses yang berkembang terus, dan di dalam proses itu akan tejadi proses belajar. Dalam proses pembelajaran terkandung proses mengajar dan belajar, sebagai dua proses yang saling bergantung; mengajar hanya akan ada jika terjadi proses
Proses pembelajaran sebagai inkuiri reflektif akan menempatkan guru sebagai:
a. individu yang sec.ara terus-menerus aktif belajar, Anda juga berperan sebagai siswa;
b. seorang guru yang menantang siswanya untuk menjadi pelajar yang reflektif
c. seorang profesional yang secara terus-menerus merefleksikan keefektifannya sebagai guru; serta
d. seorang profesional yang selalu meningkatkan kemampuan profesionalnya.

3. Perkembangan sebagai Tujuan Pembelajaran
Tatkala seorang guru ditanya tentang tujuan apa yang ingin dicapai dengan pengajaran Bahasa, IPA, 1PS dan juga bidang studi atau pelajaran lain, mungkin dia menjawab bahwa dia bertujuan mengembangkan manusia terdidik, dan untuk mencapai itu dia mcngajarkan Bahasa, IPA, IPS atau bidang studi lain karena bidang Studi itu merupakan bidang esensial untuk berlangsungnya pendidikan secara mulus.
Bukan hal mustahil bahwa pembelajaran yang ekselen (unggul) dikerjakan oleh guru-guru artistik yang tidak memiliki konsep yang jelas tentang tujuan tetapi mereka secara intuitif niemuliki pemahaman tentang apa proses pembelajaran yang baik, materi. sajian apa yang ;ianggap penting/betinakna, topik apa yang relevan dongan pengembangan peserta didik, bagaimana menyajikan bahan secara efektif, serta lagaimana menilai keberhasilan siswa. Akan tetapi . jika suatu program pendidikan atau pembelajaran dirancang dan diupayakan untuk dilakukan perbaikan secara berkesinambungan, bagaimanapun juga pemahaman akan konsep-konsep tujuan yang hendak dicapai adalah suatu keharusan bagi guru. Tujuan pembelajaran menjadi tolak ukur untuk memilih baban ajar. Merancang isi pembelajaran, mengembangkan prosedur pembelajaran, dan mempersiapkan tes dan ujian. Semua aspek program pembelajaran secara nyata merupakan instrumen untuk mencapai tujuan. Artinya jika mentaati program pembelajaran secara sistematis dan cermat, maka pertama-tama yang harus diyakini adalah tujuan yang hendak dicapai.
Persoalan yang muncul ialah apa yang menjadi tujuan pembelajaran itu? Salah satu hal yang dirisaukan atas praktek pendidikan adalah ketidakseimbangan pengembangan aspek intelektual dan nonintelektual. Sering kali terjadi bahwa proses pembelajaran lebih menekankan pengembangan aspek intelektual sedangkan aspek nonintelektlual kurang tersentuh. Bahkan dalam aspek intekktual pun sering kali hanya menyentuh satu sisi, yaitu kemampuan berpikir logis (corvergent thinking) dan kurang mengembangkan kemampuan kreativitas siswa (divergent thinking).
Kecenderungan proses pembelajaran seperti ini akaii menimbulkan kekurang bermaknaan karena proses pembelajaran hanya merupakan proses intelektualisasi dan bukan proses peronalisasi. Kecenderungan ini juga akan mendorong tumbuhnya kompetensi intelektual yang tajam, sementara kepekaan sosial dan lingkungan menjadi pudar. Titik lemah proses pembelajaran tersebut perlu diperbaiki dengan menekankan kepada konsep perkembangan sebagai tujuan pembelajaran.
Esensi perkembangan secara khusus akan dibahas pada kegiatan belajar lain dan pokok bahasan ini. Pada umumnya diakui bahwa dalam diri manusia ada suatu instrumn penting untuk mengembangkan din yaitu akal pikiran. Hanya saja pengembangan kemotekaran (akal pikirari) melalui proses pembelajaran harus dibarengi dengan pengembangan nilai-nilai dan keterampilan hidup dan menempatkan nilai-nilai dan keterampilan hidup itu sebagai objek dan juga sekaligus sebagai landasan pengembangari akal pikiran. Hal ini diharapkan terjadi di dalam proses pembelajaran sebagai wahana pengembangan pribadi peserta didik.
Dalam kaitan dengan perkembangan peserta didik, proses pembelajaran memiliki fungsi:
a. pengembangan, yakni membantu peserta didik mengembangkan diri sesuai dengan potensi dan keunikannya;
b. peragaman, yaitu membantu peserta didik memilih arah perkembangan yang tepat sesuai dengan potensi dan peluang yang diperolehnva;
c. integrasi, yaitu membawa keragaman perkembangan ke arah dan tujuan yang sesuai dengan eksistensi kehidupan manusia.
J. Hakekat Hasil Belajar dan Aktivitas Siswa dalam Pembelajaran
Menurut Nana Sudjana hasil belajar adalah suatu akibat dari proses belajar dengan menggunakan alat pengukuran yaitu berupa tes yang disusun secara terencana, baik tes tertulis, tes lisan maupun tes perbuatan. Sedangkan S.Nasution berpendapat bahwa hasil belajar adalah suatu perubahan pada individu yang belajar, tidak hanya mengenai pengetahuan tetapi juga membentuk kecakapan dan penghayatan dalam diri pribadi individu yang belajar. Hasil belajar adalah hasil yang diperoleh siswa setelah mengikuti suatu materi tertentu dari mata pelajaran yang berupa data kuantitatif maupun kualitatif.
Untuk melihat hasil belajar dilakukan suatu penilaian terhadap siswa yang bertujuan untuk mengetahui apakah siswa telah menguasai suatu materi atau belum. Penilaian merupakan upaya sistematis yang dikembangkan oleh suatu institusi pendidikan yang ditujukan untuk menjamin tercapainya kualitas proses pendidikan serta kualitas kemampuan peserta didik sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan (Cullen, 2003 dalam Fathul Himam, 2004). Hasil belajar dapat dilihat dari hasil nilai ulangan harian (formatif), nilai ulangan tengah semester (Sub sumatif), dan nilai ulangan semester ( sumatif ).
Aktivitas siswa adalah keterlibatan siswa dalam bentuk sikap, pikiran, perhatian, dan aktivitas dalam kegiatan pembelajaran guna menunjang keberhasilan proses belajar mengajar dan memperoleh manfaat dari kegiatan tersebut. Peningkatan aktivitas siswa yaitu meningkatnya jumlah siswa yang terlibat aktif belajar, meningkatnya jumlah siswa yang bertanya dan menjawab, meningkatnya jumlah siswa yang saling berinteraksi membahas materi pembelajaran. Metode belajar mengajar yang bersifat partisipatoris yang dilakukan guru akan mampu membawa siswa dalam situasi yang lebih kondusif, karena siswa lebih berperan dan lebih terbuka serta sensitif dalam kegiatan belajar mengajar. .
Indikator aktivitas siswa dapat dilihat dari: pertama, mayoritas siswa beraktivitas dalam pembelajaran ; kedua, aktivitas pembelajaran didominasi oleh kegiatan siswa; ketiga, mayoritas siswa mampu mengerjakan tugas yang diberikan guru melalui pembelajaran
K. Materi yang disampaikan dalam Proses Pembelajaran
1. Materi Iman
Pendidikan keimanan adalah “ mengingat anak dengan dasar-dasar iman, rukun islam dan dasar-dasar syariah sejak anak mulai mengerti dan memahami sesuatu. Iman merupakan dasar pemikiran seseorang muslim dalam mengisi kehidupannya, sehingga seseorang yang memiliki keimanan yang benar berarti ia sudah mendapatkan hakikat kehidupan. Keimanan sesorang terhadap sesuatu adalah “ bahwa dalam hati orang tersebut telah tertanam kepercayaan dan keyakinan tentang sesuatu, dan sejak saat itu ia tidak khawatir lagi terhadap menyelusupnya kepercayaan lain yang bertentangan dengan kepercayaannya.”8
Berkenaan dengan hal ini Allah, Berfirman.
فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لَا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
”Karena itu barang siapa yang ingkar kepada thagut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali Allah yang amat kuat yang tidak akan putus dan Allah maha mendengar lagi maha mengetahui”. (QS. Al-Baqarah :256)
Sehingga orang kuat imannya, akan dapat membangun sepak terjang hidupnya di atas asas yang kokoh dan kuat yang betul – betul bisa dijadikan pegangan serta memberikan jaminan ketentraman bahwa amal-amal yang akan di lakukan dapat disesuaikan dengan keyakinan itu.
Di dalam Al-Qur’an banyak sekali ayat yang menjelaskan tentang masalah-masalah yang berhubungan dengan keimanan.
Di antaranya surat An-Nisa ayat 136 :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ءَامِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَى رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا
”Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barang siapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rosul-rosul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jaunya” (QS. An-Nisa :136)
Dalam ayat lain Qur’an surat At-Taubah ayat 51
"Katakanlah :”Sekali-kali tidak akan menimpah kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami. Dialah pelindung kami, dan hanylah kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal “(QS. At-Taubah :51 )
Tujuan dari adanya pendidikan keimanan yaitu upaya menumbuhkembangkan kondisi kepercayaan (I’tikad) hamba untuk meyakini Allah adalah ujud yang esa, tidak didahului oleh ujud yang lain, yang keberadaanya bersifat baqa, kemudian percaya bahwa malaikat Allah termasuk hamba yang mulia, karena tidak pernah menyalahi perintah-Nya, tidak pernah melebihi dan menguranginya sedikitpun. Karena itu mereka di sebut mukromun dan Sodikun.
Hendaknya para pendidik haruslah dapat menanamkan kepada anak didiknya dasar pemahaman dan dasar-dasar pendidikan iman dan islam dalam masa pertumbuhannya. Sehingga seorang anak bisa terikat dengan Islam berupa akidah dan ibadah serta akhlak dengan petunjuk dan pendidikan yang benar, ia akan mengenal Islam sebagai agamanya, Al-Qur’an sebagai imannya dan Rasulullah sebagai pemimpin dan teladannya.
Kewajiban pendidik didalam membina anak didik yang diharapkan adalah menumbuhkan anak atas dasar pemahaman dan dasar-dasar pendidikan iman dan ajaran Islam sejak masa pertumbuhannaya. Sehingga, anak akan terikat dengan Islam, baik akidah maupun iabadah, di samping penerapan metode maupun peraturan.
Rasulullah Saw memperhatikan pendidikan bagi anak sejak masa pertumbuhannya berupa dasar-dasar Iman dengan mencintai Allah, Al-Qur’an dan Nabi Muhammad Saw, keluarganya dan para sahabatnya. Sebagaimana hadist Nabi Muhammad Saw :
“Didiklah anak-anak kamu pada tiga perkara: Mencintai Nabi kamu, mencintai ahli baitnya dan Membaca Al-Qur’an. Sebab, orang-orang yang memelihara Al-Qur’an itu berada dalam lindungan singga sana Allah pada hari tidak ada perlindungan selain dari perlindungan-Nya beserta para Nabi-Nya dan orang-orang yang suci”. (Ath-Thabrani)9
Dengan demikian, jika para pendidik memberikan pembinaan keimanan kepada anak didiknya dengan dasar dan metode di atas, niscaya dapat menjamin keselamatan akidahnya dari penyimpangan dan kemurtadan. Baik atau buruknya perjalanan hidup seorang muslim, amatlah tergantung pada kebenaran dan kualitas konsepsinya yang tertanam di dalam hatinya. Kalau konsepsinya itu benar dan keimanan yang dimilikinya kuat, niscaya perjalanan hidupnya pun akan benar pula, begitu pula sebaliknya. Untuk itu kehidupan anak didik haruslah ditegakkan pada sistem yang benar, kuat dan berkualitas tinggi, yang di tegakkan di atas keimanan yang benar dan kuat pula.
Materi pendidikan keimanan harus disampaikan pendidik dan orang tua kepada anak remaja. Sehingga remaja sudah memiliki ikatan dengan rukun-rukun iman yang pokok, dengan hakikat alam dan sesuatu yang gaib, termasuk dengan segala sesuatu dari keyakinan yang dapat dibuktikan dengan berita yang benar. Berdasarkan ini, pendidik harus menawarkan hakikat iman kepada Allah, iman kepada malaikat, iman kepada kitab, iman kepada Rasul, iman kepada qadha dan qadar, iman kepada dua pertanyaan malaikat dan azab kubur, iman kepada kejadian akhir, seperti kebangkitan manusia dari kubur, hisab, surga, neraka, dan hal-hal gaib lainnya.
Suatu hal yang tidak diragukan, bahwa jika kita menanamkan secara dalam kalimat iman kepada Allah pada anak didik, dan berusaha terus menjalin ikatan antara anak didik dan aqidah ketuhanan, maka Insya Allah rasa bahwa Allah senantiasa mengawasinya, dan takut kepada-Nya, menyerahkan diri kepada-Nya, mentaati segala perintah dan larangan-Nya, akan tertanam pada diri anak didik bahkan di dalam dirinya terdapat pencegahan sensitif yang keluar dari jiwa yang penuh keimanan. Sehingga jiwanya itu mencegah melakukan sesuatu yang sekiranya tidak diridhoi Tuhan-Nya baik menyangkut dirinya sendiri atau menyagkut diri orang lain dan sekitarnya. Jika keadaannya demikian, anak didik akan baik jasmani dan rohaninya, akal pikiran, tingkah dan lakunya, maka ia akan menjadi orang yang terhormat yang tidak dibuat-buat karena ia berjalan dalam petunjuk agama, kebenaran dan jalan yang lurus.
2. Materi Akhlak.
Akhlak adalah merupakan sifat yang tumbuh dan menyatu didalam diri seseorang. Dari sifat yang ada itulah terpancar sikap dan tingkah laku perbuatan seseorang, seperti sifat sabar, kasih sayang atau sebaliknya pemarah, benci karena dendam, iri hati dan dengki, sehingga memutuskan hubungan silaturrahmi.
Akhlak mempunyai posisi yang sangat penting dalam Islam. Ia dengan taqwa, merupakan buah pohon. Islam yang berakar akidah, bercabang dan berdaun syariah.
Akhlak yang baik dan mulia akan mengantarkan kedudukan seseorang pada posisi yang terhormat dan tinggi. Oleh karena itu Allah SWT dalam firman-Nya memuji Akhlak Rasulullah Saw sebagai berikut :
وَانَّكََََ لَعَلاَ خُلُقٍ عَضِِِِِيْمٍ
”Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) mempunyai akhlak yang agung”.(QS. Al-Qalam :4)

Suri tauladan yang di berikan Rasulullah selama hidup beliau merupakan contoh akhlak yang tercantum dalam Al-Qur’an. Butir – butir akhlak yang baik di sebut dalam berbagai ayat yang tersebar di dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadists. Bahkan Aisyah, yang banyak sekali meriwayatkan sunnah Rasulullah, mengatakan bahwa akhlak Nabi Muhammad adalah seluruh isi Al-Qur’an.
Apabila akhlak dan tingkah laku perbuatan yang baik di dalam kehidupan anak didik, maka ia akan memperoleh hasil yang baik pula. Semua persoalan dan segala urusan yang di cita-citakan anak didik akan mudah, masyarakat sekitarnya akan menghormati dan membantu apa yang di cita-citakan pada anak didik. Dia akan berwibawa, sehingga semua yang di ucapkan dan disampaikan akan di terima dan di ikuti oleh masyarakat sekitarnya.
Akhlak remaja akan tercipta dan terbentuk dengan baik, apabila para remaja meniru Al-Qur’an dan Sunah Nabi Muhammad Saw, sebagai sumber hidup dan pedoman kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat.10
Ajaran Islam membimbing remaja dimulai dengan memperbaiki akhlaknya. Apabila akhlak remaja baik, maka keluarga masyarakat dan bangsanya pun akan baik pula.
Puncak dari semua akhlak yang mulia itu, kelak di kemudian hari akan dinikmati oleh setiap umat yang bertingkah laku dengan akhlak yang baik di dunia ini. Nikmat yang akan diperolehnya adalah surga, serta dia akan berada di sekitar Allah.
3. Materi Syariah
Perkataan syariah dalam bahasa arab itu berasal dari kata syar’i, secara harfiah berarti jalan yang harus dilalui oleh setiap muslim. Menurut ajaran Islam, syariah ditetapkan Allah menjadi patokan hidup setiap muslim. Syariah menurut ulama fiqih adalah peraturan-peraturan yang lahir yang bersumber dari wahyu dan kesimpulan –kesimpulan yang berasal dari wahyu mengenai tingkah laku manusia. Oleh karena itu dalam prakteknya adalah ketetapan Allah baik berupa larangan maupun dalam bentuk seruan.
Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat luqman ayat 17 :
يَابُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ
“Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).”(QS. Al-Luqman : 17)
Dari keterangan ayat diatas bahwa kita hendaklah sebagai pendidik memberikan pengertian pada anak didik bahwa ibadah dalam Islam tidaklah sempit pengertiannya, tidak terbatas pada ibadah yang termasuk rukun yang lima. Tetapi ia mencakup setiap amal soleh yang di kerjakan berdasarkan metode Allah dan mengharapkan keridhoan-Nya. Dengan pengertian yang luas ini, misalnya berbuat baik terhadap masyarakat sekitarnya dan bersikap sabar dalam menhadapi musibah semua itu hanya mengharap keridhoan Allah, maka anak didik semacam itu dapat kita golongkan kepada hamba-hamba Allah yang muslim.
Oleh karena itu, hendaklah kita membukakan mata para anak didik untuk mengetahui prinsip-prinsip baik buruk masalah-masalah hal haram, ciri-ciri yang baik dan yang batil. Sehingga anak didik akan mengerjakan yang halal dan membiasakan perbuatan yang baik.
L. Metode dalam Proses Pembelajaran
Metode merupakan salah satu komponen penting yang menghubungkan tindangan dengan tujuan, sebab tidak mungkin materi dapat diterima dengan baik kecuali dengan menggunakan metode yang baik. Sebagai salah satu komponen operasional ilmu pendidikan mengarahkan materi kepada tujuan pendidikan yang hendak di capai melalui proses tahap demi tahap, baik dalam kelembagaan formal ataupun yang informal. Dengan demikian menurut ilmu pendidikan Islam, suatu metode yang baik adalah bila memiliki watak dan relevansi yang senada atau sejiwa dengan tujuan pendidikan Islam itu. Di antara metode yang dapat di gunakan oleh pendidik adalah sebagai berikut :
1. Metode Hikmah.
Dalam memberikan materi seorang pendidik harus mampu bersikap bijaksana, sehingga pendidik dapat memahami kemampuan anak didiknya dalam menerima materi yang di sampaikannya. Prinsip terpenting dalam pendidikan Islam, hal ini seperti apa yang di ucapkan imam Al-Ghozali bahwa : “Seorang pendidik hendaklah menerangkan bidang studi, menurut tenaga pemahan murid. Jangan diajarkan bidang studi yang belum sampai kesana. Nanti ia lari atau otaknya tumpul”.11
Al-Ghazali berkata pula : “ hendaknya guru meperhatikan murid yang lemah dengan memberinya pelajaran yang mudah dan jelas, serta tidak menghantuinya dengan hal-hal yang serba sulit dan dapat membuatnya kehilangan kecintaan terhadap pelajaran “.12
2. Metode Mauizhah
Mauizhah adalah sebagai sesuatu yang dapat mengingatkan seseorang akan apa yang dapat melembutkan kalbu, yang disajikan dalam bentuk nasihat yang menyentuh sehingga menimbulkan kesadaran pada orang yang mendengarnay.
Dari definisi diatas, dapat dipahami bahwa metode Mauizhah adalah suatu metode penyampaian materi melalui tutur kata yang berisi nasihat-nasihat dan peringatan tentang baik dan buruknya sesuatu.
Dengan metode nasihat ini, diharapkan anak didik dapat memahami eksistensinya dan tanggung jawabnya sebagai anak didik. Sehingga anak didik menyadari bahwa mereka adalah generasi muda harapan bangsa dan di tangan merekalah maju atau mundurnya suatu bangsa.





BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pendidikan berintikan interaksi antar manusia, terutama antara pendidik dan terdidik demi mencapai tujuan pendidikan. Dalam interaksi tersebut terlibat isi yang diinteraksikan serta proses bagaimana interaksi tersebut berlangsung. Apakah yang menjadi tujuan pendidikan, siapakah pendidik dan terdidik, apa isi pendidikan dan bagaimana proses interaksi pendidikan tersebut, merupakan pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan jawaban yang mendasar, yang esensial, yakni jawaban-jawaban filosofis.
Kurikulum sebagai rancangan pendidikan memiliki kedudukan yang cukup sentral dalm seluruh kegiatan pendidikan, menentukan proses pelaksanaan dan hasil pendidikan. Mengingat kurikulum memiliki peran penting dalam pendidikan dan perkembangan kehidupan manusia, maka penyusunan kurikulum membutuhkan landasan-landasan yang kuat, yang didasarkan atas hasil-hasil pemikiran dan penelitian yang mendalam. Salah satu dari sekian aspek penting yang melandasi pengembangan kurikulum adalah landasan filosofis.
Filsafat secara harfiah berarti cinta yang mendalam akan kearifan. Secara populer filsafat sering diartikan sebagai pandangan hidup suatu masyarakat atau pendirian hidup bagi individu. Dengan demikian setiap individu atau setiap kelompok masyarakat secara filosofis akan memiliki pandangan hidup yang mungkin berbeda sesuai dengan nilai-nilai yang dianggapnya baik.
Filsafat sebagai sistem nilai harus menjadi landasan dalam menentukan tujuan pendidikan. Dengan kata lain, pandangan hidup atau sistem nilai yang dianggap baik oleh suatu masyarakat akan tercermin dalam tujuan pendidikan yang harus dicapai. Manusia macam apa yang kita harapkan sebagai akhir dari proses pendidikan? Akan dibawa ke mana anak didik itu? Apa yang harus dikuasai oleh mereka? Merupakan pertanyaan-pertanyaan yang erat kaitannya dengan filsafat sebagai sistem nilai.
Kurikulum pada hakikatnya berfungsi untuk mempersiapkan anggota masyarakat yang dapat mempertahan, mengembangkan dan dapat hidup dalam sistem nilai masyarakatnya itu sendiri, oleh sebab itu proses pengembangan kurikulum harus mencerminkan sistem nilai masyarakat.
Filsafat memegang peran yang esensial dalam pengembangan kurikulum. Sama halnya dengan filsafat pendidikan, kita mengenal beberapa aliran dalam filsafat. Dalam pengembangan pun senantiasa berpijak pada aliran-aliran filsafat tersebut yang nantinya akan mewarnai konsep dan implementasi kurikulum yang dikembangkan. Terdapat beberapa perbedaan mengenai filsafat, Wina Sanjaya (2008) mengungkapkan bahwa ada empat aliran utama dalam filsafat, yaitu idealisme, realisme, pragmatisme, dan eksistensialisme. Aliran tersebut mengkaji tentang cabang filsafat, seperti metafisika (hakikat dunia kenyataan), epistemologi (hakikat pengetahuan), dan aksiologi (nilai-nilai). Setiap aliran memiliki pandangan yang berbeda-beda mengenai cabang-cabang filsafat itu.
Berdasarkan uraian di atas bisa dipahami bahwa dalam pengembangan kurikulum tidak dapat terlepas dari azas atau landasan filosofis, yang didalamnya terdapat sumber nilai, makna kehidupan, aturan hidup, tujuan pendidikan serta pandangan terhadap peserta didik sehingga dengan memahami filosofu fulsafat dalam kurikulum maka kita akan memahami hakikat guru dan murid dalam proses pembelajaran..
B. SARAN
Filsafat sangat penting dipertimbangkan dalam mengambil keputusan tentang setiap aspek kurikulum. Maka sudah selayaknya seorang pendidik dalam berperilaku di dalam kelas atau di luar kelas harus didasarkan apa yang dipercayai, yang diyakini sebagai baik dan benar. Pendidik yang baik patut memahami apa itu hakikat manusia, khususnya hakikat siswa beserta sifat-sifatnya; apa itu sumber kebenaran dan nilai-nilai yang dijadikan pegangan hidup; tentang apa yang baik; tentang apa itu hidup yang baik; apakah peranan sekolah dalam masyarakat; apa peran guru dalam proses belajar; dan sebagainya. Untuk dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, tentu saja seorang pendidik disarankan untuk memahami dan mendalami filsafat.
Dari sekian banyaknya aliran filsafat beserta turunannya, hendaknya hal tersebut tidak memojokkan kita untuk fanatik terhadap salah satu aliran saja. Masing-masing aliran filsafat pasti memiliki kelemahan dan keunggulan tersendiri, dan hal tersebut perlu disikapi dengan bijak oleh para pendidik atau juga pengembang kurikulum, yakni bahwa masing-masing aliran filsafat bisa saling melengkapi satu sama lain. Oleh karena itu, dalam praktek pengembangan kurikulum ataupun dalam pembelajaran, alangkah lebih baik jika penerapan aliran filsafat cenderung dilakukan secara eklektif untuk lebih mengkompromikan dan mengakomodasikan berbagai kepentingan yang terkait dengan pendidikan.
Dalam mengambil keputusan tentang setiap aspek kurikulum haruslah memiliki dasar yang kuat. Filsafat adalah cara berpikir sedalam-dalamnya sampai pada akarnya tentang hakekat sesuatu. Maka dari itu, sebagai suatu landasan fundamental, filsafat memiliki peran yang sangat penting dalam pengembangan kurikulum. Para pengembang kurikulum harus mempunyai filsafat yang jelas tentang apa yang mereka junjung tinggi.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Baghdadi, Abdurrahman.(1996). Sistem Pendidikan di Masa Khilafah Islam. Bangil-Jatim: Al-Izzah
Al-Bana, Hasan, Terjemah Ghadhban, dkk Frofil Wanita Muslimah, Solo : CV. Pustaka Matiq.
Al-Ghalayani, Musthafa, Menggapai Keluhuran Akhlak, Jakarta : Pustaka Amani 1996, Cet ke I.
Al-Ghzali, Muhammad, Akhlak Seorang Muslim, Bandung : Al-Ma’arif, 1995, Cet ke1
Depag RI, Metodelogi Pendidikan agama Islam, Buku ke 2, Jakarta : 2002.
Daradjat, Zakiyah, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi aksara dan Dirjen Bimbaga Depag RI, 1922, Cet 11.
…………, Al-Qur’an dan terjemahnya, Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an, Jakarta 1971.
Fatimah, Khair Muhammad, Dr. Etika Muslim Sehari-hari, Pustaka Al-Kautsar.
Fachrudin, HS, Membentuk Moral Bimbingan Al-Qur’an, Jakarta : Bina Aksara, 1985, Cet ke-1
Kneller, F. George. (1971). Introduction to the Philosophy of Education, New York: John Wiley & Sons, Inc
Marimba, Akhmad D. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung : Al-Ma’arif, 1980
Nasution, S. (2006). Asas-asas Kurikulum, Jakarta: PT Bumi Aksara.
Purwanto, Ngalim, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, Bandung : Remaja Rosda Karya, 1992
Rusn, Ibnu Abiddin, Drs, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan, Pustaka Pelajar (Anggota IKAPI), Yogyakarta, Cet 1, 1998
Sadulloh, Uyoh. 2006. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Sanjaya, Wina, Dr., M.Pd. (2008). Kurikulum dan Pembelajaran, Jakarta: Kencana.
Sudrajat, Akhmad. (2008). Aliran Filsafat Pendidikan. [online]. Tersedia: http:// akhmadsudrajat.wordpress.com/kumpulan-makalah-2/2008/05/01 /aliranfilsafatpendidikan/. [20 Oktober 2008]
Sudrajat, Akhmad. (2008). Pengertian Filsafat. [online]. Tersedia: http:// akhmadsudrajat.wordpress.com//kumpulan-makalah-2/2008/02/08/pengertian-filsafat/. [20 Oktober 2008]
Sudrajat, Akhmad. (2008). Teori Pendidikan dan Kurikulum. [online]. Tersedia: http:// akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/31/teori-pendidikan-dan-kurikulum/. [20 Oktober 2008]
Sukmadinata, Nana Syaodih, Prof. Dr., (2006). Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Syamsuddin Makmun, Abin. (2005). Psikologi Kependidikan. Bandung: Rosda Karya.
Yusuf, Syamsu. (2000). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: Rosda Karya.
Wakhudin dan Trisnahada. Filsafat Naturalisme. (Makalah) Bandung: PPS-UPI Bandung
Zuhairimi Dra. DKK, Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Bekerja Sama dengan Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Depag.